17 - Barang-Barang Berharga

43 16 1
                                    


            Mala berhasil ditenangkan oleh Bu Wati yang duduk di tepi ranjang di dekatnya. Dia yang tadi menangis dengan tubuh gemetar, kini keadaannya berangsur-angsur normal. Ya, meski kenormalan Mala tidaklah seperti keadaan sehat orang-orang pada umumnya. Paling tidak, Mala sudah bisa diajak bicara.

"Saya dengar oborlan Bapak, Ibu, dan Bang Anton soal pengobatan saya." Mala tertunduk lesu. "Saya makin merasa jadi beban keluarga. Saya ini malah makin menyusahkan semua orang."

"Enggak." Bu Wati menggeleng. "Kamu bukan beban keluarga," tandasnya yang tak mau jiwa Mala makin terpuruk.

"Tapi karena saya, hidup kita semua jadi makin susah, Bu," timpal Mala seraya mengangkat wajahnya. Dilihatnya air muka Bu Wati yang menampilkan kesedihan.

"Kamu harus tetap semngat," imbuh Pak Hendra. "Masih ada cara untuk sembuh, La." Dia tersenyum tipis berupaya membesarkan hati Mala.

Anton ikut bicara, "Kita harus tetap sama-sama."

"Kalo nanti Bang Anton gak punya motor lagi, gimana Abang bisa cari duit?" Mala menatap Anton yang tampak bingung, tapi berusaha tegar di depannya. Mala tahu itu. Mala bisa membaca ekspresi Anton.

Anton tersenyum kecil. "Tenang, La, nyari duit gak selalu harus pake motor. Jadi kuli kayak Bapak juga bisa," jelasnya yang bukan hanya membesarkan hati Mala, tetapi juga hatinya.

"Kamu mau, 'kan, diobatin sama Mbah Suryo?" Bu Wati menatap penuh harap.

Mala mengangguk pelan.

Bu Wati mengusap kepala Mala. "Bagus."

"Apa barang milikmu yang menurutmu paling berharga?"

Mala tidak langsung menjawab pertanyaan Pak Hendra. Dia lebih dulu menatap Pak Hendra dengan saksama. Memang, ada sesuatu yang dia sembunyikan sejak lama, dan kali ini rasanya harus disampaikan kepada orang tuanya itu. "Sebenarnya, saya menyimpan kalung, gelang, dan cincin emas di laci lemari. Saya simpan itu untuk kebutuhan mendesak kalo saya atau kita sedang membutuhkan uang. Saya juga berpikir, mungkin saat saya mati karena sakit ini, nanti Ibu menemukan peninggalan saya itu." Dia terdiam sejenak dengan mata berkaca-kaca. "Saya gak sanggup ngomong kayak begini, atau memberi tahu soal barang-barang itu sama Ibu kalo saya masih hidup." Dia menyeka air matanya sambil terkekeh pelan dengan wajah masam.

"Kamu akan sembuh," tandas Bu Wati yang sebenarnya tahu kalau Mala menyimpan perhiasan itu saat menaruh pakaian. "Percayalah, Mbah Suryo bisa menyembuhkanmu seperti dia menyembuhkan Ajeng." Dia menyentuh kedua bahu Mala. Dia mengguncang-guncangkan tubuh Mala dengan pelan, seolah-olah dengan cara itu dia bisa memberikan kekuatan dan menyadarkan bahwa anaknya itu pasti bisa kembali sehat.

"Ah ya, saya jadi ingat Ajeng." Mala mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. "Kenapa saya jadi baru bisa ingat sama Ajeng, ya?" Dia memijat kening dengan pelan.

"Itu pengaruh santet yang dikirim seseorang, sehingga kamu bisa ngelupain sesuatu yang oleh orang itu dianggap penting," jawab Anton.

"Intinya, orang itu mau kamu ngelupain apa yang udah kamu perbuat sama Ajeng," kata Pak Hendra menambahkan.

"Emangnya apa yang udah saya perbuat?" Mala mengusap wajahnya dengan gelisah. Ingatannya belum sepenuhnya kembali.

"Gak perlu kamu berusaha mengingat-ingat, yang penting sekarang kita fokus sama pengobatanmu." Bu Wati mengusap kepala Mala lagi. Dia ingin Mala bersemangat untuk sembuh.

***

Sore ini Anton menuju rumah Mbah Suryo menggunakan sepeda motornya. Dalam perjalanan, dia diserang kesedihan. Pasalnya, dia merasa inilah terakhir dia bersama motor yang sudah memberinya penghasilan. Sebenarnya, dia masih bingung harus bekerja apa dengan ketiadaan motor. Namun, karena tekatnya sudah bulat untuk membantu Mala, dia pun patut mengikhlaskan segalanya. Bagaimanapun dia seorang kakak yang harus tetap mendukung dalam upaya kesembuhan adiknya.

Sementara itu, dia juga teringat barang-barang yang dibawanya di dalam tas. Dia tahu dan yakin kalau Mala, Adit, Bapak, dan Ibu pastilah sedih karena harus merelakan barang-barang berharga milik mereka. Namun, dia juga paham betul mereka pastilah mau merelakan itu semua demi kesembuhan Mala.

Anton langsung memarkirkan motornya di halaman depan kediaman Mbah Suryo. Biasanya, di area itu terdapat beberapa motor yang terparkir, di mana si pemilik kendaraan-kendaraan tersebut sedang mengantre di ruang depan. Di sanalah para pasien atau orang yang ingin mendapat pengobatan Mbah Suryo menunggu giliran diperiksa. Namun, kali ini Anton tidak mendapati siapa pun.

"Mari masuk." Mbah Suryo tersenyum ramah.

Anton mengikuti Mbah Suryo dan duduk di tikar di ruang tengah.

"Hari ini saya sengaja stop pengobatan lebih awal karena harus mengadakan ritual persiapan untuk penyembuhan Mala," jelas Mbah Suryo yang duduk bersila di depan Anton. "Selama saya mengadakan ritual, kamu menunggu aja di sini. Kamu bisa bikin kopi di dapur, atau kalo mau tidur ya silakan aja."

"Baik, Mbah." Anton mengangguk seraya melepaskan tas punggungnya yang kemudian dia pangku.

"Paling-paling sebelum magrib ritualnya udah beres."

"Ini barang-barang berharga milik Ibu dan Mala, Mbah." Anton mengeluarkan gelang, kalung, dan cincin emas dari dalam tas. Ditaruhnya benda-benda itu di tikar dan didekatkan ke Mbah Suryo. "Ini uang kami, Mbah." Dia menyerahkan uang itu yang langsung disambut Mbah Suryo. "Oh ya, ini barang milik Adit, adik saya." Dia menaruh sebuah buku tebal ke tikar.

"Buku ...?" Mbah Suryo tersenyum tipis.

"Adit suka membaca buku, Mbah. Gara-gara mau membeli buku itu, dia sampe menambung dan gak jajan di sekolah selama beberapa hari," jelas Anton.

"Bagus." Mbah Suryo mengangguk-angguk paham. "Penting betul buku itu baginya."

"Iya, Mbah," sahut Anton. "Oh ya, barang milik saya dan Bapak ada di luar. Televisi saya ikat di jok belakang motor."

"Kalo begitu, kamu parkirkan motor ke pekarangan belakang aja. Di sana ada ruangan untuk melakukan ritual."

"Baik, Mbah." Anton berdiri.

"Kalo kamu mau menyaksikan ritual persiapan juga boleh."

"Yang benar, Mbah?" Anton yang penasaran jadi antusias.

"Tapi, selama ritual berlangsung kamu gak boleh ngajak saya bicara atau bertanya. Paham?"

Anton mengangguk.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jiwa NelangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang