Setelah mengganti seragam sekolahnya, Adit ke ruang tengah untuk mengambil sebotol air putih di kulkas. Dibukanya lemari pendingin yang sejak lama tak lagi diaktifkan itu. Tentu saja itu perintah Pak Hendra dalam upaya menekan tagihan listrik supaya tidak terlampau mahal.
Haduhhh ... mana lagi haus banget, keluh Adit yang melihat tak ada satu pun air dalam botol yang dingin. Sebenarnya dia sudah tahu hal itu, tapi saat-saat seperti ini dia seakan-akan lupa.
Sementara itu, Pak Hendra sedang duduk di tikar menyaksikan sebuah tayangan di televisi.
"Pak, emangnya ini kulkas masih gak boleh dinyalain?" tanya Adit yang masih enggan mengambil salah satu botol. Dia membiarkan pintu lemari pendingin itu tetap terbuka.
"Gak boleh," jawab Pak Hendra tanpa menoleh ke arah Adit.
"Sayang banget ini kulkas jadi gak fungsi." Adit meraih botol berwarna biru yang telah terisi penuh air putih.
"Masih berfungsi, kok," sahut Pak Hendra yang masih fokus ke layar televisi. "Itu 'kan buat naro air minum di botol," jelasnya kemudian.
"Kalo tipi aja boleh dinyalain, kenapa kulkas enggak boleh, Pak?" Adit yang iri pada Pak Hendra jadi lebih berani untuk bertanya seperti itu.
Pak Hendra mengembuskan napas kesal karena terganggu. "Kalo tipi 'kan cuma sesekali nyala, Dit. Nah, kalo kulkas 'kan terus-terus dicolok ke listrik, jadi tagihan listrik bisa mahal. Kamu harusnya paham soal itu."
Adit terdiam.
"Udah besar, kok, ngeluh terus? Kamu harus ngerti sama keadaan kita," tegas Pak Hendra.
"Iya ... iya." Adit berlalu dari ruang tengah dengan kecewa. Kalo mau irit tagihan listrik, harusnya tuh tipi gak usah dinyalain juga, batinnya yang jengkel.
Setibanya di kamar, Adit menyampaikan kekesalannya perihal tadi kepada Anton. Dia merasa Pak Hendra curang dan tak mau mengalah untuk kepentingan bersama, yakni ketersediaan air dingin. Dia yang sejak kecil terbiasa minum air dingin memang merasa tak pernah puas jika meminum air yang tak dingin.
"Elu lagian ada-ada aja, Dit," kata Anton yang duduk di kasur. "Udah tahu sekarang lagi ujan, lu masih aja mau minum air dingin." Dia menggeleng-geleng pelan.
Adit yang duduk di sebelah Anton lantas menimpali, "Masa gue yang ngalah sama Bapak, Bang?"
"Kita harus ngertiin keadaan Bapak, Dit, biarlah kita yang ngalah. Sebagai orang tua, Bapak pasti banyak pikiran. Kalo udah banyak pikiran, nanti Bapak bisa sakit. Kalo Bapak udah sakit, kita juga yang tambah repot." Anton melihat Adit dengan serius. Dia mau adiknya itu menerima keadaan yang memang tidak menyenangkan ini.
"Harusnya Bapak yang ngalah sama anaknya, Bang," ujar Adit tak mau kalah. "Masa Bapak bisa enak-enakan nonton tipi, sementara kebutuhan gue buat air dingin gak ada," lanjutnya yang mash ingin memuntahkan kejengkelannya.
Anton lantas berupaya menggugah pikiran Adit. Diawali dengan menepuk pelan pundak Adit, dia berkata, "Mungkin dulu waktu kita masih bayi, Bapak sering ngalah buat kita, Dit. Mungkin aja ada keinginan atau kebutuhan Bapak yang gak dia beli demi buat kebutuhan kita, Dit."
Adit terdiam. Tiba-tiba saja ucapan Anton membuatnya mendapat pandangan lain. Dia menyetujui apa yang disampaikan Anton itu. Seketika pula ada sesal karena tak sampai pada pemikiran itu.
Anton tersenyum tipis melihat air muka Adit yang kini tampak berpikir. "Udah, lu minum tuh airnya," katanya sambil menunjuk botol yang diletakkan di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Nelangsa
TerrorKarena sakit yang tak kunjung sembuh, satu-satunya keinginan Mala saat ini hanya kematian. Namun, harapannya itu tak juga bisa dieksekusi, seolah-olah dia tak bisa mati. Dia yang dua tahun ini cuma bisa terbaring di ranjang, sudah melakukan berbagai...