2 - Kesulitan Keluarga

70 19 4
                                    


                Pagi yang teduh. Matahari seolah tak mampu menarik diri dari dekapan awan kelabu yang membentang sepanjang mata memandang. Sisa-sisa air hujan semalam masih mendinginkan udara sekitar. Sementara itu, kediaman Mala tampak membeku. Jendela dan pintunya masih tertutup rapat dan ada kesan yang begitu sunyi. Sedangkan jalan raya di depannya dibisingi kendaraan-kendaraan yang lalu-lalang. Kesibukan pula terlihat di rumah sebelah kiri, di mana Pak Aji yang menjual sembako beserta sayuran sedang melayani beberapa pembeli. Sementara rumah di samping kanan kediaman Mala terlihat berantakan, kusam, dan suram karena tak berpenghuni.

Di dalam rumah, Mala masih tidur di ranjangnya yang terbuat dari besi, di mana di beberapa bagian sudah karatan. Dia baru bisa tidur bakda subuh setelah ditenangkan dan didoakan oleh Bu Wati, dan tentu saja sesudah kesakitan dan rasa panas di sekujur tubuhnya berangsur-angsur menghilang.

Kini, Bu Wati yang kelelahan masih harus menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Dia baru saja selesai membuat nasi goreng. Ini adalah cara agar nasi sisa kemarin masih enak untuk dihidangkan di pagi hari. Karena keuangan keluarga sedang pailit, tentu saja nasi goreng itu tidak disertai telur, dan bumbunya pun seadanya saja. Seluruh anggota keluarga memahami itu, dan memaklumi semua masakan Bu Wati adalah makanan terbaik untuk keluarga ini. Tak perlulah makanan dimasak lezat, asal sudah matang dan masih layak dimakan, itu sudah harus benar-benar disyukuri.

Di bagian belakang ada lantai atas, di mana terdapat satu kamar yang ditempati Anton dan Adit. Beberapa tahun yang lalu Anton dan Pak Hendra menyisihkan uang gaji untuk membangun lantai atas tersebut. Anton dan Adit harus berbagi ruangan itu karena sejak awal rumah ini hanya memiliki dua kamar di bawah, yang sudah menjadi kamar Bu Wati dan Pak Hendra di bagian depan, dan kamar Mala di bagian tengah.

"Bang, bangun, Bang, udah pagi, nih." Adit yang sudah rapi mengenakan seragam putih abu-abu menyenggol kaki Anton dengan kakinya. Dilihatnya Anton yang membuka mata perlahan seraya menguap. "Buruan bangun, entar Bapak ngomel. Kalo Bapak udah ngomelin Abang, biasa-bisa gue juga kena semprot."

Anton yang telentang di kasur tanpa ranjang langsung bergerak untuk duduk. "Iya ... iya. Bawel banget lu," sahutnya sambil menggaruk-garuk tengkuknya.

Adit meraih tas punggungnya yang disandarkan di sisi lemari pakaian. Cowok berkulit sawo matang, berkacamata, dan berambut pendek rapi ini segera menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu. Dia kemudian menjejaki dapur dan langsung menuju ruang tengah.

"Mana Abangmu?" tanya Pak Hendra yang sudah duduk di tikar. Di depannya ada empat piring nasi goreng.

"Udah bangun kok, Pak," sahut Adit seraya duduk di sebelah Pak Hendra.

"Udah bangun atau baru bangun?" tanya Pak Hendra lagi. Pria berkulit sawo matang ini mengusap kumis tipisnya.

"Udah dari tadi, Pak," sahut Adit berbohong. Cowok berusia 17 tahun ini tak mau Bapaknya memarahi Anton yang kesiangan.

Bu Wati menaruh nampan berisi seteko air putih dan empat gelas plastik ke tikar. "Lekas sarapan, Dit," katanya seraya duduk di sebelah Adit.

"Iya, Bu." Adit meraih sepiring nasi goreng dan mulai memakannya.

Anton turun dari lantai atas dan segera masuk ke kamar mandi yang berada di sebelah dapur. Dia mencuci muka agar dapat mengusir kantuk yang masih menggelayutinya. Setelahnya, dia bergabung dengan Pak Hendra, Bu Wati, dan Adit untuk sarapan bersama. Sembari menikmati hidangan, mereka pun berbincang.

"Semalem pulang jam berapa jam segini baru bangun?"

"Saya udah bangun dari tadi, Pak," sahut Anton yang baru saja menelan makanannya.

Jiwa NelangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang