5 - Remuk Redam

42 18 0
                                    


Beberapa hari belakangan ini Anton sesekali memikirkan apa yang dia khawatirkan, bahwa mimpi yang masih dingatnya itu adalah pertanda kalau Mala memang sedang diguna-guna. Dia ingin menyampaikan perihal itu kepada Pak Hendra dan Bu Wati, tapi masih waswas kalau kedua orang tuanya itu malah makin stres. Dia yakin dan tahu betul kondisi pikiran Pak Hendra dan Bu Wati yang dari hari ke hari kian ruwet. Karena tak mau menambah beban kepusingan kedua orang tuanya itu, dia ingin mencari tahu perihal sakit Mala seorang diri.

Anton mula-mula memberi banyak pertanyaan pada dirinya sendiri. Karena dengan begitu, dia jadi bisa bergerak untuk mendapatkan jawabannya. Setelah dipikir matang-matang, dia memutuskan untuk bertanya langsung kepada Mala. Dia berharap Mala mau jujur menjawab pertanyaan-pertanyaan darinya.

Malam belum terbilang larut. Anton baru saja turun dari kamarnya dan langsung menuju kamar Mala. Sebelumnya, dia mendapati Pak Hendra dan Bu Wati yang duduk di tikar di ruang tengah sedang menyaksikan tayangan di televisi. Anton masuk ke kamar Mala tepat jam sembilan malam. Karena melihat Mala masih terjaga, dia lantas menghampiri adiknya itu.

"La, butuh sesuatu?" Anton duduk di tepi ranjang.

"Enggak, Bang," sahut Mala pelan.

"Kenapa belum tidur?"

"Bentar lagi. Bang."

Anton terdiam beberapa detik sambil berpikir, mungkin ini saat yang tepat untuk mengorek apa yang terjadi dua tahun lalu sebelum Mala sakit. "La, ada yang mau gue tanyain," katanya, lalu diam sesaat untuk memantapkan niatnya. "Lu harus jawab dengan jujur." Dia tersenyum tipis agar Mala tidak tersinggung.

"Kenapa, Bang?" Mala penasaran.

"Waktu itu gue 'kan udah pernah tanya, 'Apa mungkin ada yang lu lakuin sebelum lu sakit?', lalu lu jawab, 'Gak tahu'." Anton berhenti sebentar untuk menelan ludah. "Maksud gue, apa mungkin lu udah ingat, ada yang lu curigain dari yang lu lakuin sampe akhirnya lu sakit kayak gini?"

Mala tidak langsung menjawab. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dengan pelan. Wajahnya tampak berpikir. "Maksudnya, gue ngelakuin sesuatu yang bikin gue sakit kayak gini?"

"Iya, La." Anton mengangguk. Dia merasa Mala semakin berbeda dalam hal mengingat sesuatu, seolah adiknya itu tak lagi cakap dalam kesadaran akan memori pengalaman di waktu yang lalu.

"Sumpah, Bang. Gue gak ingat apa pun," jawab Mala dengan mimik serius.

Apa jangan-jangan penyakitnya bikin dia lupa apa yang dia lakuin sebelum dia sakit? Aneh banget, ucap Anton dalam hati yang bingung.

"Gue ngerasa sakit gue ini mendadak gitu, Bang," sambung Mala disudahi dengan terbatuk dua kali.

"Oke ... oke." Anton mengangguk-angguk paham. Dia tak mau Mala berpikir lebih keras untuk mengingat kejadian di waktu lampau. Dia tak ingin dengan berupaya mengembalikan ingatan itu kondisi Mala malah tak stabil. "Ya udah, lu istirahat aja." Belum sempat Anton berdiri untuk menuju sofa, dia melihat Mala yang kembali terbatuk-batuk dengan wajah menahan kesakitan.

"Uhukkk ... uhukkk ... uhuukkk ...."

Anton sampai meringis mendengar suara batuk Mala yang kering. Dia seakan-akan bisa merasakan sakitnya tenggorokan Mala. "La, minum dulu ya, La," katanya seraya mengambil gelas berisi air putih di nakas.

Sambil terbatuk-batuk, Mala meraih gelas yang disodorkan Anton. Dia menggenggam gelas beling itu dengan tangan agak gemetar. Saat batuknya berjeda, Mala langsung meminum air putih itu. Alih-alih menelan air tawar itu, dia justu memuntahkan darah ke dalam gelas, sehingga air putih tersebut berubah warna menjadi merah.

Anton langsung menarik gelas itu dan menaruhnya kembali ke nakas. Air putih yang sudah bercampur darah itu tertumpah-tumpah di lantai dan di atas meja kecil dengan dua laci tersebut. Dia tidak memedulikan tumpahan itu karena segera terfokus pada Mala yang kembali terbatuk-batuk mengeluarkan darah yang amis dan berbau tidak sedap.

"To-tolong ... tolong, Bang," kata Mala dengan kedua mata memerah dan berair, sementara bibirnya dinodai darah yang kini lebih terlihat merah kehitaman. Dia merasa sangat pening dengan pandangan yang berkunang-kunang. Seketika keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Dia merasa jantungnya ada yang meremas-remas dengan keras, sehingga bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah itu memompa tak terkendali. Lantaran hal itu, aliran darah begitu cepat dan membuat dinding pembuluh darah mengalami kebocoran di beberapa tempat, sehingga darah sampai naik ketenggorokan dan ke luar melalui mulutnya.

Anton yang panik refleks berdiri, apalagi dia melihat Mala semakin banyak memuntahkan darah sampai menodai pakaian dan seprei.

"Bang, bunuh gue aja, Bang," pinta Mala mengiba sambil mencengkeram pelan lengan Anton.

Anton menoleh ke arah pintu kamar. "Pak! Bu!" teriaknya dengan gugup.

"Uhuk ... uhukkk ...." Mala kembali memuntahkan darah merah kehitaman yang berbau busuk.

"Bapakkk ...! Ibuuu ...!" seru Anton lebih keras.

Pintu kamar terkuak dengan kasar. Pak Hendra dan Bu Wati yang muncul memancarkan keterkejutan sekaligus kekhawatiran. Keduanya langsung mendekati Mala yang terus terbatuk-batuk.

"Aarrrggghhh ...." Mala melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Anton. Kini dia terlihat melemas. Posisinya kembali ke telentang dengan kedua lengan yang kurus di sisi kiri dan kanan tubuhnya, sementara pandangannya ke langit-langit kamar.

Anton yang masih bingung dengan jantung berdebar-debar langsung berdiri dan mundur dua langkah.

"Apa yang terjadi?" Bu Wati duduk di tepi ranjang menggantikan Anton.

"Eng ... enggak tahu, Bu." Anton menggeleng kaku.

"La, sadar, La." Bu Wati mengguncang-guncang pelan tubuh Mala. Air matanya berlinang karena lagi-lagi tak tahan mendapati Mala yang tersiksa seperti itu.

Mala tidak menyahut, dia batuk sekali lagi dengan darah kembali muncrat dari mulutnya. Setelah itu dia diam dengan tubuh yang masih gemetar.

Pak Hendra membungkuk. "Mala," sapanya sambil menyentuh kening Mala yang terasa dingin seperti es, sampai-sampai barisan gigi atas dan bawah anak gadisnya itu berbunyi karena saling beradu. "Kamu kedinginan, La?" tanyanya kemudian.

Mala tetap memandang lurus ke langit-langit ruangan, seakan-akan di atas sana ada sesuatu yang patut terus dilihat.

"Ambilkan handuk kecil di lemari." Bu Wati melihat Anton dengan sorot mata khawatir.

Tanpa menyahut atau mengangguk, Anton lantas mendekati lemari pakaian Mala. Dia mengambil handuk kecil berwarna biru yang langsung disodorkan kepada Bu Wati. "Ini, Bu." Sementara itu, diam-diam dia jadi merasa bersalah. Dia beranggapan kondisi Mala barusan bisa jadi karena semua pertanyaannya.

Bu Wati menyeka darah di bibir Mala menggunakan handuk kecil itu. Dia juga membersihkan darah di seprei dan di atas nakas. Sementara Pak Hendra mengambil selimut yang sengaja ditaruh di ujung ranjang, lalu menyelimuti tubuh Mala dengan kain tersebut.

Beberapa saat kemudian tubuh Mala berangsur-angsur membaik. Dia tidak lagi menggigil dan terbatuk-batuk. Suhu tubuhnya pun kembali normal. Dengan perlahan dia menoleh ke arah Pak Hendra, Bu Wati, dan Anton yang berada di sebelah kiri.

"Ada apa, La?" tanya Bu Wati yang tak sabar. Dia yakin ada sesuatu yang hendak disampaikan oleh Mala, tapi masih tertahan dan tak mudah diutarakan.

"Tubuhmu sakit?" Pak Hendra melihat Mala dengan tatapan meneliti, kiranya dia bisa mendapati kesakitan di wajah Mala.

"Saya ... saya ... uhuk ... uhuk." Mala mengerjap-ngerjapkan kedua matanya demi menahan sakit di tenggorokan dan kedalaman dadanya. "Saya udah gak kuat lagi," lanjutnya dengan sorot mata yang begitu sayu dan lemah. "Saya bener-bener udah capek hidup kayak gini. Tolonglah saya disuntik mati aja." Air matanya merembas dari sudut-sudut matanya. "Tolonggg ...," tandasnya dengan paras mengiba.

Pak Hendra, Bu Wati, dan Anton tidak menyahut. Mereka jadi semakin ikut merasakan ketersiksaan Mala. Mereka jadi kian bingung, apakah kenginan Mala mati adalah jalan keluar terbaik, ataukah membiarkan Mala hidup dalam kenelangsaan justru yang paling baik? Ketiganya terdiam dengan hati remuk redam.

***

Jiwa NelangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang