14 - Harapan Kesembuhan

40 16 0
                                    


            Soni menyeruput kopi susunya yang sudah agak dingin. Setelah menandaskan minuman itu, dia kembali bicara seraya menaruh cangkir kembali ke meja di hadapannya, "Hampir dua tahun Ajeng berobat jalan di rumah sakit. Banyak hal yang dia lakuin. Terapi inilah, itulah, dan lain sebagainya, Ton. Karena gak juga sembuh, dan keluarga gue dapat banyak masukan dari tetangga, akhirnya Ajeng dibawa ke pengobatan alternatif." Dia diam sejenak. Dilihatnya Anton yang mematikan puntung rokok di asbak. "Orang yang nanganin Ajeng di pengobatan alternatif itu ngerasa kalo dia gak bisa nyembuhin Ajeng. Dia ngejelasin kalo Ajeng bukan sakit biasa. Dari situlah dia ngarahin Ajeng buat nemuin Mbah Suryo."

"Gue tahu warung bakso yang dimaksud itu. Seingat gue, warung makan itu emang udah hampir dua tahun gak buka lagi. Kalo emang pemilik warung yang guna-guna ade kita, apa gak sebaiknya kita juga nyari keberadaan mereka?" Anton menatap dengan saksama. Dia begitu marah. Dalam dadanya ingin sekali melampiaskan kejengkelan itu kepada si pemilik warung bakso.

"Sebaiknya lekas bawa Mbah Suryo ke rumah lu biar dia bisa lihat kondisi Mala. Perkara nyari si pemilik warung, biarlah itu kewenangan Mbak Suryo aja. Toh, saat ngobatin Ajeng, dia gak nyuruh gue buat nyari keberadaan si pemilik warung bakso. Kalo nanti dia minta lu nyari keberadaan mereka, pasti gue bantu. Kalo dia gak nyuruh begitu, sebaiknya jangan. Gue khawatir kita malah kena imbasnya kalo nunjukin perlawanan secara terang-terangan."

"Bener juga apa kata lu, Son." Anton mengangguk pelan. Sementara emosinya perlahan-lahan mereda.

"Iya, lebih baik lu fokus dulu gimana caranya Mala bisa sembuh. Seenggaknya, Mala bisa kayak Ajeng."

"Ajeng udah bisa jalan normal?"

"Belum, sih, dia masih lemas gitu," sahut Soni cepat, "tapi dia udah gak pernah kesakitan, kepanasan, dan kedinginan lagi," sambungnya menjelaskan.

"Mungkin sekarang Ajeng lagi pemulihan."

"Ya, gue harap juga begitu, dan semoga kondisinya berangsur-angsur pulih."

Anton mengangguk-angguk pelan. Dia tentu ingin Mala segera bisa seperti Ajeng. "Tapi, gue harus ngomong dulu sama orang tua gue. Gimana kalo sekarang elu ikut ke rumah gue?"

"Ayo." Soni mengangguk tegas.

***

Setelah melihat Ajeng yang sedang tidur, Soni kembali ke ruang tengah. Karena Pak Hendra sedang bekerja, dia hanya bisa bertemu dengan Bu Wati. Dia menjelaskan secara singkat perihal yang sudah dituturkan kepada Anton di warung Mbak Jum tadi. Kendati berharap Mala ditangani oleh Mbah Suryo, Soni tetap menyerahkan keputusan itu kepada keluarga Mala.

"Ibu harus ngomong dulu sama bapak," kata Bu Wati setelah mendengar cerita yang dipaparkan oleh Soni.

"Tentu, Bu." Soni mengangguk paham. "Kalo begitu saya pamit, Bu."

"Makasih, ya."

"Biar gue anterin lu sampe rumah, deh, sekalian gue jenguk Ajeng," kata Anton yang penasaran akan kondisi Ajeng.

"Oke, Ton."

***

Malamnya, Anton duduk bersama Adit, Pak Hendra, dan Bu Wati di ruang tengah. Sementara Mala berada di kamar dan sedang beristirahat setelah makan bubur buatan Bu Wati. Anton baru saja selesai menceritakan apa yang dikisahkan oleh Soni tadi siang kepada Pak Hendra. Anton berharap Pak Hendra menyetujui niatannya mengajak Mbah Suryo ke rumah untuk mengobati Mala.

"Terus kondisi si Ajeng gimana waktu tadi kamu jenguk?"

"Masih lemas, Pak," kata Anton menjawab pertanyaan Pak Hendra, "tapi keadaannya udah jauh lebih baik. Dia udah gak ngerasain sakit, panas, dingin, dan gak lagi teriak-teriak kayak orang kerusupan setan. Intinya, Ajeng udah sembuh. Dia tinggal istirahat dan makan yang teratur, lama-lama bisa kembali sehat," lanjutnya menerangkan dengan nada bersemangat. Dia merasa kedatangan Soni adalah petunjuk atau jalan menuju kesembuhan Mala.

"Udahlah, Pak, jangan banyak mikir. Kalo Mbah Suryo bisa nyembuhin Ajeng, itu artinya dia juga bisa nyembuhin Mala," imbuh Bu Wati dengan nada bicara meminta pengertian Pak Hendra.

"Bapak juga mikir begitu," sahut Pak Hendra cepat.

Adit ikut bicara, "Ya udah, kalo gitu Kak Mala diobatin sama Mbah Suryo aja."

"Masalahnya pasti gak gratis," cetus Pak Hendra. Dia menatap Adit, Anton, dan Bu Wati dengan tatapan serius dan gelisah. "Apa si Soni ngasih tahu soal biaya pengobatan sama Mbah Suryo, Ton?" tanyanya kemudian.

"Tadi pas nganter dia pulang saya sempat tanya, Pak, katanya biaya pengobatan Ajeng sekitar dua juta," jawab Anton yang mendadak resah perihal biaya itu. Dia jadi teringat bahwa keluarganya tak punya uang sebanyak itu.

"Banyak juga segitu." Pak Hendra mengusap wajahnya dengan resah.

"Soni juga bilang, kemungkinan biaya pengobatan setiap orang itu berbeda, tergantung tingkat kesulitannya."

"Artinya, biaya pengobatan Mala bisa lebih kecil atau malah lebih besar dari dua juta." Pak Hendra kembali mengusap wajahnya yang kian menampilkan keruwetan.

"Betul, Pak." Anton mengangguk pelan. "Kata Soni, dua juta itu terbilang murah," katanya lagi berupaya menggugah pikiran Pak Hendra menyoal biaya tersebut yang pasti dirasa berat.

"Murah kalo ada duitnya, Ton," sahut Pak Hendra. "Kalo gak ada duitnya, ya mahal." Dia terkekeh masam.

Anton tersenyum kecut.

Bu Wati terdiam karena tak tahu harus bicara apa.

Adit malah beranjak dari ruang tengah. Merasa tak bisa memberikan solusi terkait dana pengobatan Mala, dia memilih bungkam dan melangkah ke kamarnya. Dia sedih dengan kondisi keluarganya. Dia pula kesal pada dirinya sendiri karena merasa tak bisa banyak membantu, bahkan terkadang dia berpikir malah menjadi beban keluarga karena menuntut ilmu di sekolah swasta yang terbilang tak murah.

"Kalo nunggu bapak gajian, itu dua minggu lagi. Kelamaan, ya." Pak Hendra mengusap kumis tipisnya, sementara dia berpikir agar lekas menemukan solusi terbaik.

"Kalo nunggu ngumpulin uang dari hasil ngojek juga kelamaan, Pak." Anton menggaruk tengkuknya, sementara batinnya didera kebingungan.

"Kalo Bapak ngebon dulu bisa gak, Pak?"

Pak Hendra mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia sempat berpikir hal itu, tapi merasa tak enak karena baru bekerja. Dia khawatir mengecewakan Pak Mahmud kalau belum apa-apa sudah meminjam uang dengan membayar dari gajinya nanti.

"Pak Mahmud dan Pak Haji pasti ngerti, Pak. Bilang aja buat berobat Mala," rengek Bu Wati.

"Ya udah. Gini aja." Pak Hendra mengembuskan napas melalui mulut. Dia menatap Anton lebih serius. "Kamu ajak Mbah Suryo ke sini untuk memeriksa Mala. Dia 'kan perlu tahu kondisi Mala dulu sebelum melakukan pengobatan sekaligus memberi tahu biayanya, 'kan?"

"Iya, Pak." Anton mengangguk, sementara perasaannya lega karena telah mendapat jalan keluar perihal biaya pengobatan Mala.

"Pokoknya, kalau nanti Mbah Suryo udah nyebut biaya pengobatan, bapak akan ngomong sama Pak Mahmud dan Pak Haji," tegas Pak Hendra yang merasa bahwa dia harus menenangkan Bu Wati. Dia sadar dia adalah kepala rumah tangga, dan karenanya dia harus mampu mengendalikan segala kondisi terburuk keluarga.

"Baik, Pak."

Perbincangan itu pun selesai. Besoknya, Anton berniat langsung ke rumah Soni untuk kemudian minta diantar ke kediaman Mbah Suryo. Dia berharap betul biaya pengobatan Mala tidak berlampau mahal. Dia juga berdoa kiranya Mbah Suryo bisa menyembuhkan Mala seperti memulihkan Ajeng.

***

Jiwa NelangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang