Rosé's Fear

1.4K 229 71
                                    

Pernikahannya mulai terancam. Ketakutannya semakin terasa nyata. Pikirannya menjadi sangat kalut malam itu. Rosé tidak dapat berpikir jernih, pikirannya dipenuhi dengan bayang-bayang perpisahannya dengan Jennie. Sesekali, rasa sakit lama yang pernah ia rasakan ketika Jennie meninggalkannya dulu mulai terasa lagi. Ia dipaksa mengingat betapa hidupnya sangat amat menderita ketika tidak ada Jennie.

Menikahi Jennie tidak menempati Rosé di posisi yang aman. Memang, perceraian itu tidak dianjurkan. Tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Ada beberapa syarat atau alasan agar perceraian itu dapat dilakukan. Seperti jika sepasang suami-istri sudah tidak memiliki tujuan yang sama dalam pernikahan, tidak rukun, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri, dan masih banyak lagi.

Dengan ini Rosé menyadari jika dia harus terus berjuang meskipun sudah menikah. Jika dulu ia berjuang untuk mendapatkan Jennie, maka sekarang ia perlu berjuang untuk mempertahankan pernikahan mereka.

Lima menit setelah mendapati 'ancaman' secara tidak langsung dari Ayah Jennie, Rosé pergi ke meja makan dimana Jennie sudah menunggunya.

"Makanlah," kata Jennie.

Rosé menggeleng pelan. Nafsu makannya sudah menguap entah kemana. Lapar tidak lagi dirasakannya. Ia sudah merasa cukup kenyang dengan ancaman Ayah Jennie.

Sedangkan Jennie menaikkan sebelah alisnya. Merasa bingung dengan perubahan nafsu makan Rosé yang tidak biasanya. Ia juga mulai menyadari tatapan Rosé yang berbeda, seperti menyimpan begitu banyak beban di dalamnya. Terlihat kacau, menurut Jennie.

"Kau sudah tidak lapar?" Meski khawatir, Jennie mencoba untuk sedikit mengabaikannya. Mungkin Rosé lelah karena pekerjaannya.

"Aku ingin makan yang lain, boleh?"

"Yang lain? Tapi ibuku sudah-"

Belum sempat Jennie menuntaskan kalimatnya, Rosé dengan terburu-buru menarik tangan Jennie menuju kamar mereka. Menutup pintu kamar mereka dari dalam menggunakan kaki ketika dirinya mulai sibuk mencium bibir Jennie. Lembut, tapi terkesan tergesa-gesa. Jennie bahkan sampai dibuat kewalahan menghadapi serangan yang sangat tiba-tiba.

Tapi ada yang berbeda dari ciuman ini.

Rosé seperti sedang melampiaskan sesuatu, sehingga bukan kenikmatan yang Jennie rasakan melainkan sebaliknya. Dengan tenaga yang tidak seberapa dibanding Rosé, Jennie mencoba untuk mendorong bahu Rosé.

Setelah percobaan ketiga kalinya, Rosé memilih mengalah. Ia memberi sedikit jarak pada Jennie meski tangannya masih merangkul pinggang Jennie. Napasnya tidak beraturan, tatapannya penuh emosi dan terlihat kalut. Jennie yakin Rosé juga tidak menikmati ciuman mereka tadi.

"Ada apa, sayang?" Jennie menurunkan egonya kali ini. Melembutkan suaranya dan menangkup pipi Rosé sambil mengelusnya dengan harapan Rosé bisa jadi sedikit lebih tenang.

Tapi usahanya masih belum cukup berhasil. Rosé menggeleng beberapa kali sebelum kembali mempertemukan bibirnya dengan bibir Jennie. Melumatnya sedikit kasar dan membawa Jennie terjepit di antara tembok dan tubuhnya. Selang beberapa detik, ciuman itu beralih ke leher Jennie sedangkan tangannya sudah mulai meraih kancing piyama Jennie dan membukanya satu per satu.

"Honey."

"..." Tidak ada jawaban. Rosé dibutakan oleh emosinya yang kalut.

"Hubby!"

"..."

"For god shake. Roséanne STOP IT!"

Detik itu juga Rosé berhenti. Segera ia peluk Jennie dan menyandarkan dahinya pada bahu Jennie, mengatur pernapasannya yang memburu. Begitu pula dengan Jennie, bedanya adalah Jennie bisa mengatur pernapasannya lebih baik. Ketika sudah merasa jauh lebih tenang, Jennie mengelus lembut rambut Rosé dan punggungnya.

P R A G M ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang