Terdengar suara langkah kaki arah 5 meter dari pintu. Mendekap untuk membangunkan seorang remaja berusia 16 tahun. Remaja berkacamata beralis tebal berkumis tipis.
'TOK TOK TOK'
Suara ketukan pintu dari tangan manusia berhati malaikat. Sedang membawa segelas air untuk sang remaja di balik pintu.
"Dit, udah waktunya tahajjud," ucap seorang wanita bersuara lembut.
Segera si remaja itu menyalakan penerang ruangan lalu membuka pintu pembuka rezeki. Ia rezeki, jangan buka pintu, jangan keluar kamar. Rasakan sengsaramu.
"Udah bangun ternyata anaknya mama. Ini minum dulu." Seorang Ibunda yang setiap hari memberikan senyuman pada anak-anaknya di awal hari.
Segera sang remaja itu mengambil air wudhu kemudian menuniakan shalat lail. Seusai shalat tahajjud. Ia bereskan kamarnya, menyalakan penerang khusus, memakai kacamatanya, meraih sebuah buku bertuliskan MATEMATIKA. Sangat langka pada zaman teknologi canggih ada anak yang bagunnya secepat, serajin, sesoleh remaja ini.
"X + 5 = 10 hasilnya mmm... Oh yya, x sama dengan 10, lima berpindah ruas ke kanan menjadi min. Jadi, x = 10 - 5. X = 5. Sip, gini aja kali yah untuk hari ini," ucap remaja berkacamata itu.
Pagi hari, matahari begitu cerah. Merasuk ke dalam rumah keluarga bahagia ini. Masuk ke fentilasi jendela, memberikan kehangatan pada tubuh.
"Dit, kamu sarapan dulu yah. Mama mau panggil kakakmu dulu di kamarnya," cetus wanita itu kepada remaja berkacamata yang sedang menuju ke meja makan. Pakaiannya sudah rapi, mungkin dia terlalu rajin atau mungkin teman sebayanya yang merasa bodoh amat dengan pendidikan.
Iapun menaruh tasnya pada kursi makan kemudian menyantap makanan buatan sang ibunda. Memang fakta, seenak apapun makanan chef, seenak apapun makanan restoran, seenak apapun makanan cafe. Lebih enak masakan seorang Ibu. Bukan tanpa sebab, melainkan seorang ibu punya bumbu rahasia. Bukan micin bukan garam tapi sebuah bumbu langka bernama cinta.
"Temani adikmu makan, jangan tunda-tunda waktu makan. Nanti mama tunda jajanmu hari ini." Terdengar ancaman seorang Ibu kepada kedua anaknya yang sedang melahap masakannya. Dengan lahap mereka makan sampai menghabiskannya tak bersisa. Kemudian mereka berdua bergegas dan berangkat ketempat menimba ilmu masing-masing.
"Kak, ayok berangkat," seruan sang remaja berkacamata kepada seorang kakak yang mengeluarkan motor dari sarangnya.
"Pake helmnya, kena tilang tahu rasa kita," cetus kakak si remaja itu.
"Ok, kak sudah."
"Berangkat?" tanya kakanya dengan nada tinggi dan sedikit bercanda.
"Berangkat......"
Merekapun bersama menaiki motor yang sama setiap hari. Di tengah perjalan sekitar 500 meter dari rumah, kakak si remaja ini tiba-tiba ngerem mendadak. Kemudian bertanya pada remaja berkacamata itu.
"Dit, udah salaman nggak sih sama Mama? Seingat kakak belum," ucapnya..
"Waduh, kak. Ia beneran belum salaman. Balik lagi, kak. Ayok!!!" Seru si remaja berkacamata itu.
"Nggak usah mungkin, Dit. Udah jam segini." Dengan melirik jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kiri yang menunjukkan pukul 07:00.
"Balik lagi, Kak. Harusnya kita dapat restu dulu dari orang tua untuk aktivitas kita hari ini. Ingat, kak! Ridho orang tua adalah ridho ilahi. Murka orang tua adalah murka ilahi. Bagaimana kalau Mama belum ngerestuin kita, bagaimana kalau......," ucapnya kemudian dipotong kalimatnya oleh sang kakak.
"Siap paham, Dit. Ayok balik dulu salaman sama Mama."
Merekapun memutar arah kendaraan beroda duanya. Kemudian kembali ke rumah untuk bersua denga sang ibunda.
"Kenapa kalian balik lagi? Bukannya udah pergi tadi? Kenapa emangnya? Ada yang ketinggalan? Atau apa?" tanya sang Ibuna dengan penuh khawatir.
"Nggak ada yang kelupaan kok, Ma. Cuman kelupaan salaman sama, Mama. Jadi kami balik lagi ke sini," ucap remaja berkacamata itu.
"Ohh, kira apaan. Oke salaman, baru kalian bergegas. Mama kira ada yang kelupaan."
Mereka berdua kembali menaiki kuda besi sambil berboncengan. Mereka berbincang-bincang dan menikmati perjalanan. Sesampainya di sekolah menengah atas bertuliskan SMAN 10. Mereka berhenti lalu sang pria berkacamata itu pamit pada kakaknya.
Ia kemudian berjalan, menarik sebuah himpunan kertas yang berisikan tulisan indah karya Fiersa Besari berjudul Konspirasi Alam Semesta. Buku yang baru saja ia beli di Gramedia minggu lalu. Langkah demi langkah, ia disodorkan oleh mata teman-temannya. Sesekali ia melihat jalan untuk menghindari cedera. Dari depan tiba-tiba ia terpanggil oleh seorang remaja pria sebayanya. Bermata sipit dan tak kalah keren dari si pria berkacamata itu. Tapi, ia bukan tipe orang yang suka membaca buku dan tak pandai dalam hal matematika. Ia lincah dalam bidang olahraga. Semua ia bisa mainkan. Mulai dari tenis meja hingga bola basket.
"Adit, cepetan sini!!" seru lelaki bermata sipit itu.
Ia, Aditya Baskara. Nama akhirannya diambil dari nama sang ayah. Sering disapa Adit. Baskara sinonim kata dari matahari. Sifat Adit tidak jauh berbeda dari matahari. Matahari menyinari bumi. Ia menyinari hidup orang-orang di sekitarnya. Hanya dengan memegang buku. Semua orang bisa menoleh pada dirinya sendiri dan mengevaluasi dirinya kenapa ia tak bisa menjadi bak seorang Aditya Baskara.
"Kenapa?" tanya Adit.
"Apa iya hari ini ada ulangan matematika?" balas bertanya.
"Iya. Jangan bilang kamu lupa? Betul kan?" Jawab Adit dengan menebak ke remaja bermata sipit itu.
"Adit, kamu memang teman terbaik. Kita sudah bersama dari TK sampai sekarang. Kaulah orang tercerdas yang pernah kutemui," rayu si remaja bermata sipit itu.
"Hehehe, saya tahu nih. Mau minta jawaban, kan? Untung kita dekatan tempat di kelas. Kalau nggak, bisa-bisa remedial terus nilaimu di mata pelajaran matematika. Kamu juga rayu-rayu dan muji gini pasti supaya gua ngasih jawaban, kan?" ucap Adit yang sudah menebak dari awal apa yang temannya inginkan.
"Wah, mantap." Dengan menaikkan kedua jempolnya sebagai bentuk kesenangan dan terima kasih.
"Yya, nanti saya bagi jawabannya," ucap Adit dengan senang hati kepada temannya. Bisa dibilang sahabat.
Adit tidak bisa lupa dengan insiden yang ia alami dahulu kala sejak ia kecil bersama remaja bermat sipit itu. Ia harus bisa membalas semua itu. Kalau tidak, mungkin Adit akan merasa bersalah seumur hidup. Si pria bermata sipit itu bukan orang yang buruk. Remaja itu salah satu teman yang sangat akrab dengan Adit. Mungkin banyak teman di sekitarnya. Tapi, susah menemukan jenis yang satu ini. Meskipun remaja bermata sipit itu adalah seorang siswa yang eksis di sekolah. Dengan ketampanan yang ia miliki. Wajar ia eksis. Ditambah ia adalah Olahragawan. Idaman para wanita ketika memakai kaos olahraga. Sekali saja ia menoleh pada wanita. Wania itu akan langsung terpanah oleh wajahnya.
.
.
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH
Teen FictionBukan tanpa sebab, masa remaja adalah masa peralihan. Mungkin, dahulu kita masih mencari air mengalir untuk membasuh tubuh ataukah saling kejar mengejar dengan angin. Masa kecil adalah masa tentang menerbangkan layangan. Tapi, masa remaja adalah mas...