Beberapa tahun silam, kisaran 8 tahun yang lalu. Di sudut ruang belajar di SDI 135 selalu tampak seorang anak laki-laki yang merasa sendiri. Ia tak pernah sekalipun bergaul dengan teman kelasnya. Bahkan bicarapun ia hanya sesekali. Entah di punya masalah pribadi, Entahlah itu masalah yang ada sangkut pautnya dengan keluarga.
Ada 1 orang yang tampak tertarik mendekati si anak pendiam yang selalu berada di sudut ruangan itu. Kemudian, ia mendekati anak pendiam tersebut.
"Hai," ucapnya sambil menjulurkan tangan kepada anak pendiam itu.
Anak itu hanya menoleh sedikit kemudian ia kembali menundukkan kepalanya. Lalu, si anak pendiam itu membuka tasnya lalu mengeluarkan 1 buku untuk dibaca. Buku tentang dongeng keluarga yang bahagia. Si Anak pendiam itu mulai melebur dalam dunia fiksi. Ia, fiksi. Semua orang tahu hanya dalam fiksi kita bisa mewujudkan sesuatu yang tidak pernah kita raih dalam kehidupan nyata.
Sudah nampak jelas, anak yang penasaran tadi mulai paham. Bahwasanya anak pendiam yang satu ini beda. Ia juga paham, anak itu punya masalah kekeluargaan.
Suatu hari, ketika semua anak-anak tingkat Sekolah Dasar balik ke tempat pulang masing-masing. Kemudian, anak yang penasaran ini mengikuti anak pendiam yang sedang berjalan menuju rumahnya.
Di tengah perjalanan, dengan semak-semak di sepanjang jalan tanpa rumah dan hanya barisan pohon besar nan tinggi yang membuat jalanan itu menjadi sangat dingin.
Dari kejauhan terlihat seseorang pria dewasa memakai topeng berjalan ke arah anak pendiam itu. Dengan membawa sebuah pisau tajam di tangan kanannya.
Anak yang penasaran itu seketika terkejut dan bersembunyi di balik semak-semak. Apalah daya seorang anak SD yang belum terlalu bisa bertahan melawan sebuah ancaman. Apalagi mereka masih berusia 7 tahunan.
"Serahkan yang kau punya sekarang!!" teriak sang penjahat bertopeng itu dengan menodongkan senjata tajam kepada anak pendiam itu.
Anak itu kemudian hanya bisa menangis pasrah, ia tidak bisa bertindak. Ia juga tak punya barang yang berharga pada dirinya. Hanya ada beberapa kemungkinan. Si penjahat bertopeng itu menculik si anak pendiam atau membunuh lalu merampas serta menjual beberapa anggota tubuh dari anak itu.
Keringat dingin mengalir di sekujur tubuh seorang anak yang sedang bersembunyi di balik semak-semak. Ia juga bingung ingin melawan dengan cara apa.
"Bagaimana caraku melawan, kalau tidak melawan, bisa-bisa anak pendiam itu akan kena celaka," ucapnya dalam kondisi ketakutan. Kemudian ia melihat sebuah batu berukuran sedang namun punya ujung yang runcing. Terbesitlah ide pada sang anak yang sedang bersembunyi di balik semak-semak itu.
"Aku harus mengenai kepalanya, aku harus bisa," dengan percaya ia keluar dari tempat persembunyian.
"Hei kau penjahat sialan," teriak anak itu. Penjahat itu menoleh padanya dengan tatapan yang tajam. Penjahat itu berganti sasaran menjadi dirinya. Penjahat itu lalu lari ke arahnya. Dengan percaya diri anak itu berteriak.
"Bismillah, headshot." Bantu itu terlontarkan dengan kerasnya. Melayang menuju kepala si penjahat itu dan akhirnya benar mengenai pas di bagian kepalanya. Anak itu lalu merangkul si anak pendiam.
"Ayo lari," cetus sang anak penyelamat. Mereka berdua lari sekencang-kencangnya.
Mustahil bagi penjahat yang terkena lemparan batu itu akan pulih dengan cepat. Ia mungkin akan ditemukan orang, tapi sebagai seorang penjahat. Karena ia masih memegang sebuah pisau tajam di tangannya.
Mereka berdua akhirnya sampai di rumah si anak penyelamat itu.
"Assalamualaikum, ma, pa," cetus anak penyelamat itu.
'KRIKKKK'
Pintu terbuka lebar, tampak seorang pria dewasa berbadan kekar berkumis lebat.
"Pa, aku bawa teman. Kami tadi habis melawan penjahat, Pa." Dengan bangganya ia mengucapkan kalimat itu.
"Ha? Di mana? Kalian terluka? Cepat masuk ke dalam! Papa mau telfon polisi dulu," ucap ayah dari anak penyelamat itu.
'TUTTT TUTTT TUTTT'
"Halo, Pak. Ada kasus yang menimpa putra saya. Mereka baru saja dihadang oleh seorang penjahat," ucapnya.
"Di mana kalian bertemu penjahat itu?" Ia bertanya pada kedua anak itu.
"Di tengah perjalanan yang tidak ada rumah satupun, Pa. Sudah aku lempari batu kepalanya," ucap anak penyelamat itu. Kemudian sang ayah bergegas untuk menindak lanjuti kasi ini dan kenitip kedua anak tersebut pada seorang pembantu rumah tangga.
"Nama kamu siapa?" tanyanya kepada anak pendiam itu.
"A...a...a... Adit. Aditya Baskara," jawabnya.
"Hai, Adit. Namaku Revan," ucapnya.
Awal perkenalan yang berkesan. Siapa sangka mereka bisa berteman karena peristiwa tadi? Siapa sangka mereka menjadi teman yang sangat akrab.
Revan merupakan anak bungsu dari seorang mantan Guru di SDI 135. Ibunya adalah seorang dokter. Revan mewarisi keberanian dari sang ayah. Mata sipit dari sang ibu. Sayangnya, ia bukan anak yang begitu pandai. Beberapa kali ia diikutkan dalam kelas-kelas pembelajaran khusus. Tidak ada hasil dari semua itu. Ia lebih banyak bermain dalam kelas itu. Sedap kecil ia cuman minat di satu bidang. Bidang olahraga.
Hal yang membuat ia menjadi seseorang yang eksis adalah ia memiliki paras rupawan yang tampan. Ia juga dari keluarga yang terpandang. Maklumlah banyak wanita yang tengila-gila padanya.
Ketika ia sedang dalam pertandingan sepak bola. Sesering mungkin para wanita datang bergerombol untuk menyaksikan sang pangeran bermata sipit itu. Sekali saja Revan menoleh pada kumpulan wanita itu. Seketika juga para wanita hampir kehilangan nyawa.
Meski ia tidak terlalu pandai. Dia satu-satunya teman yang bisa mengerti apa adanya Adit.
Hal ini juga yang menjadikan Adit tidak bisa menolak permintaan temannya Revan. Semenjak peristiwa tadi.
___________________________________
Jarum jam menunjukkan jarum pendek berada pada posisi pas di angka 2 dan jarum panjang pada posisi pasa pada angka 12. Mengartikan semua siswa untuk segera bergegas untuk pulang.
"Dit, thanks yah bro," Ucap Revan.
"Iya iya. Adit bukan orang yang mudah lupa, kok. Pada hal baik yang orang lakukan," cetus Adit.
"Dit, itu apaan yah?" sambil menunjuk pada sebuah poster.
"Pemilihan ketua Osis SMAN 10," Ucap mereka bersamaan.
"Dit, kamu nggak punya minat nggak sih masuk osis? Tahun depan nanti kamu mencalonkan juga kayak di poster ini. Nanti aku bantu," cetus Revan.
(ketika ingin menjadi calon ketua osis harus menjadi anggota osis di periode sebelumnya)
"Hmmm, nggak tahu sih. Aku pernah baca buku tentang pemimpin dan itu keren," jawab Adit.
"Kamu daftar aja, Dit," ucap Revan dengan meyakinkan Adit.
"Tapi, kata orang jadi pemimpin itu nggak enak, apalagi mau jadi osis, katanya bakalan pusing," gumam Adit yang ragu dengan tawa Revan.
"Coba aja dulu, Dit. Tentang capek atau tidaknya. Jalanin aja dulu. Modal pertama yang harus dimiliki jika ingin menjadi orang besa, orang sukses adalah Berani. Kamu pegang modal itu aja. Aku bantu kamu sebisa mungkin. Tenang! Kalau ada teman tampanmu ini," ucap Revan dengan penuh kebanggaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH
Teen FictionBukan tanpa sebab, masa remaja adalah masa peralihan. Mungkin, dahulu kita masih mencari air mengalir untuk membasuh tubuh ataukah saling kejar mengejar dengan angin. Masa kecil adalah masa tentang menerbangkan layangan. Tapi, masa remaja adalah mas...