Dalam ruangan kelas-tempat menimba ilmu khusus hanya untuk beberapa orang. Kelas yang terpampang tulisan X IPA 1. Yah, mereka anak IPA. Sebuah nama kelws yang hanya sebuah formalitas. Kenapa demikian? Mau IPA ataupun IPS tujuannya sama. Hanya ingin memperoleh satu lembar kertas.
Tiba waktunya jam istirahat. Adit dan Revan terus memperhatikan Ana Sastra Wirdoyo. Sang wanita yang misterius itu. Mereka berdua memperhatikan Ana yang sama sekali tak mendekati remaja perempuan lain dalam kelas itu.
Seperti biasa, beberapa orang punya kesibukan masing-masing. Ada yang sibuk membicarakan kehidupan orang lain, sibuk belajar, sibuk membucin dengan teman lainnya.
"Kamu tahu nggak perbedaannya kamu dengan narkoba?" tanya seorang remaja laki-laki di kelas itu kepada wanita di hadapannya.
"Nggak tuh," jawab wanita yang diteropongi oleh seorang buaya.
"Kalau narkoba, candu yang bikin jatuh sakit. Kalau kamu candu yang bikin jatuh hati," ucap pria itu dengan sedikit memberikan senyuman reptilnya.
"Huuuuuuuu.........." Semuanya berteriak kepada reptil berwujud manusia itu. Kecuali satu orang. Dia adalah Ana.
Entah mengapa Ana tak pernah sama sekali memperlihatkan senyuman di wajahnya. Tak juga ingin bergabung dengan teman lainnya. Ia hanya sibuk memainkan sebuah telepon genggam di tangannya. Apakah ia tak punya rasa? Ataukah pernah punya rasa tapi tak kunjung dihargai?.
Revan dan Aditpun berencana untuk menanyai wanita sinis itu.
"Sttttt.....," lirih Revan berbisik.
Wanita itu menoleh dengan pandangan sinisnya. Hanya menoleh tanpa membalas sapaan Revan.
"Kamu suka buku?" tanya Adi sambil menyodorkan buku yang karya Fiersa Besari.
"Milik Fiersa Besari?" jawab Ana dengan suara lembut.
Anapun membunyikan suaranya. Revan yang terheran-heran dengan yang Adit lakukan. Sekali ia bertindak Ana merespon.
Ana lalu mengubah arah kursinya kebelakang. Menghadapkannya pada Revan dan Adit.
"Hai, salam kenal," cetus Ana sambil mengulurkan tangannya sebagai tanda bawha ia siap berkenalan.
"Maaf kita buka Mahram," jawab Adit dan Revan bersamaan. Ia mereka mungkin bisa akrab, tapi tidak dengan melanggar syariat Islam. Sungguh luar biasa. Dua orang sahabat yang saling melengkapi.
"Oh yya maaf," ucap Ana kemudian menarik kembali uluran tangannya.
"Kalian berdua adalah orang yang berani berbicara denganku di kelas ini," kata Ana sambil memberikan senyumnya yang ia tidak ingin berikan pada semua orang. Hanya orang-orang tertentu sahaja.
"Kamu wanita pertama yang punya pandangan sinis di kelas ini," ucap Revan. Ana tersipu malu.
Sungguh luar biasa, seseorang yang punya tatapan sinis yang bisa membunuh kalimat seseorang. Ternyata memiliki senyuman manis dan suara lembut.
"Ngomong-ngomong nama kalian siapa?" tanya Ana.
"Namaku Revan, si tampan di sekolah ini," jawab Revan dengan bangganya tanpa rasa berdosa.
"Kalau kamu?" tanya Ana kepada Adit.
"Na..," ucap Adit dengan Revan memotong pembicaraannya. "Namanya Adit, Aditya Baskara. Pria berkacamata. Gemar membaca dan ia juga idaman banyak wanita. Dengan segala apa yang dimilikinya. Dia sahabatku," jawab Revan agak panjang.
Sepertinya Revan punya sedikit rasa pada Ana.
"Aditya Baskara. Nama yang begitu indah," ucap Ana memuji Adit.
"Syukron. Katanya kamu pindahan dari SMAN 1 Surabaya, yah?" tanya Revan pada Ana yang tidak begitu jelas alasannya pindah ke sekolahnya.
"Oh yya, jadi gini." Ana sepertinya sudah siap bicara panjang lebar tentang dirinya.
"Semenjak tinggal di Surabaya. Awalnya biasa-biasa saja. Seperti remaja lain pada umumnya. Tapi, tiba-tiba pada suatu hari ada seorang lelaki tampan di sekolahku dulu. Ia suka denganku. Ia menembakku dan aku......" kata Ana yang dipotong pembicaraannya oleh Adit.
"Terima?" tanya Adit dengan ekspresi yang begitu penasaran.
"Iyah, aku terima. Tapi, tidak semudah mengatakan ia pada cintanya. Lelaki itu adalah buruan wanita di SMAN 1 Surabaya. Semenjak kami menjalin ikatan cinta. Banyak wanita di sana yang ingin mencelakaiku," ucap ana.
"Lalu gimana?" tanya Revan.
"Suatu hari, ketika aku hendak menuju kelas dengan menaiki tangga. Tiga orang wanita dengan wajah antagonis menghadangku. Mereka sudah siap untuk menerkam mangsa didepannya. Kemudian, mereka menahanku. Lalu, ketua geng dari mereka bertiga menampar diriku," ucap Ana panjang lebar.
"Astagfirullah," ucap Revan dan Adit bersamaan.
"Kemudian terakhir. Mereka mendorongku. Akupun jatuh dari tangga tersebut. Beberapa hari aku dirawat di rumah sakit. Pada akhirnya. Ayahku Wirdoyo mengambil surat pindah. Sampailah aku di sini. Sejak saat itu, aku tak ingin memberikan senyum pada orang lain. Lebih baik kuberikan saja pandangan sinisku ini," jawab Ana panjang lebar.
Adit dan Revanpun akhirnya tahu sebagian cerita hidup dari Ana Sastra Wirdoyo.
"Katanya ayahmu punya bisnis di kota ini?" tanya Revan pada Ana yang masih belum puas dengan penjelasannya.
"Itu bagian kecil dari tujuan ayahku. Cuman sekedar memenuhi kebetuhan kami di kota ini," jawab Ana.
"Lantas," tanya Revan yang begitu penasaran.
"Orang tua mana yang ingin anak gadisnya disakiti berkali-kali oleh orang lain? Apalagi seorang ayah, cinta pertama setiap wanita di dunia ini," kata Ana.
Adit dan Revanpun paham.
Kini mereka berdua paham. Apa dibalik tatapan sinis wanita itu. Ternyata, ia adalah seorang gadis yang begitu murah hati. Suara lembut peluluh hati. Senyuman manis pemikat hati.
"Namamu Ana Sastra Wirdoyo, kan?" tanya Adit yang hanya penasaran dengan namaja saja.
"Yah," jawab Ana santai.
"Kamu suka sastra." Adit berusaha menyamakan hobinya.
"Nggak," jawab Ana. Padahal Adit berharap wanita yang namanya sama dengan pemeran wanita di novel konspirasi alam semesta karya Fiersa Besari. Adit sedikit murung dengan jawaban singkat Ana.
"Pasti kamu mengira aku suka dengan sastra?" tanya Ana menebak.
Adit mengangguk.....
"Namaku memang terselib kata sastra. Tapi, itu hanya sekedar nama pemberian yang diberikan oleh ayahku. Sang pecinta sastra." Ana sedikit tertarik dengan pertanyaan Adit.
"Lalu, kamu suka?" tanya Adit.
"Kamu," jawab Ana tertawa.
Ternyata Ana juga seorang yang nyaman diajak ngobrol. Mereka berdua tak salah orang.
"Nggak, lebih dominan suka olahraga," jawab Ana.
"Kita sama dong?" ucap Revan.
"Beneran? Kamu suka olahraga juga? Olahraga apa......." Percakapan Ana dan Revan mulai panjang. Semakin asik dan semakin lama.
Mereka sedang bertiga, tapi seperti hanya berdua. Adit sepertinya tercampakkan. Sejak Ana mengatakan ia suka olahraga.
Merasa sepi? Pastinya Adit merasakan itu. Human mana yang tidak sakit, tercampakkan, sedih, gunda dengan perlakuan seperti ini? Tapi, bukan alasan Adit untuk membenci mereka. Ia orang yang sabar.
'DING DONG DING DONG'
Bel berbunyi lagi. Menandakan waktu pelajaran dilanjut kembali. Mereka seperti biasa, kembali belajar.
Malam harinya, Adi masih dalam keadaan terdayuh. Ia masih membayangkan. Bagaimana jika kisahnya akan seperti Ana Tidae dan Juang Astrajingga. Tak ada yang bisa menebak. Adit dan Revan mencintai wanita yang sama.
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH
Ficção AdolescenteBukan tanpa sebab, masa remaja adalah masa peralihan. Mungkin, dahulu kita masih mencari air mengalir untuk membasuh tubuh ataukah saling kejar mengejar dengan angin. Masa kecil adalah masa tentang menerbangkan layangan. Tapi, masa remaja adalah mas...