Memiliki dua jagoan yang sama-sama keras kepala seperti dirinya dulu itu membuat Shouto pusing tujuh keliling dan delapan tanjakan. Ya begitulah pikirnya. Banyak sekali momen-momen tak terelakan dari gangguan kedua anaknya yang gemas ini.
Seperti sekarang, entah bagaimana, seharusnya dia yang mengerjakan laporan untuk hari ini harus berdiam di kursi kerjanya bersama dua anak itu yang duduk dikedua pahanya, menggelayut manja karena tak bisa tidur, sementara sang istri yang kelelahan sepertinya tidak sadar kalau kedua buntalan manis menghilang dari kamar mereka malam ini.
"Papa, Shouyo mendadak ingin sereal bintang." Ujaran dengan nada mendayu dan kantuk yang berpadu mengusik minatnya pada keyboard laptop di meja kerja.
Alis matanya terangkat, sontak kacamata bundar yang khusus ia gunakan jika bekerja didepan laptop berakhir melorot dari hidung bangirnya. Terkejut dengan permintaan sang anak bungsu, sementara Shougo, anak lainnya kini mendusal dengan nyaman di ceruk lehernya. "Shougo mau permen apel." Sambutnya dengan nada berbinar menanggapi perkataan sang kembaran.
"Tapi ini jam setengah sebelas malam, bagaimana mungkin Papa bisa mengijinkan kalian mendapatkan itu semua? Bukankah seharusnya ini hanya lima menit, kalian harus tidur kembali, oke?"
Shouto mengajak mereka mengingat perjanjian awal mereka bertiga sebelum diijinkan mencampuri jadwal malamnya kali ini. Lagipula Shouto harus cari kemana permen apel jam segini, pun permen itu hanya bisa ditemui di acara festival-festival saja, menantang maut juga kalau permintaan tadi diiyakan.
"Shouyo lapar, Mama belum rebus brokoli lagi, ingin sereal jadinya."
"Nyambungnya dimana? Dari brokoli jadi sereal?"
"Disambungin Shouyo."
Duh. Sambatnya dalam hati. Shouto geleng-geleng kepala menolak permintaan secara halus, disambut bibir mungil Shouyo yang mengerucut.
"Dan Shougo, permen tidak bagus untuk gigi, apalagi sudah malam, dan juga, lebih penting, permen apel hanya ada jika ada festival, sangat sulit ditemui, oke? Jadi tidak boleh ya?" Shougo menarik sebelah kacatama yang ia pakai, tanda protes.
"Aduh jangan ditarik dong Shougo, Papa jadi tak bisa fokus mengetik."
"Tapi Shougo belum makan permen dari tadi pagi, jatah permen Shougo jatuh saat main di lapangan." Tak tega saat melihat binar yang redup di mata kedua anaknya sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi kan? Dia tak mau membahayakan sistem pencernaan kedua anaknya, dan juga tak kalah penting, dia tak mau dibanting sang istri. No, menakutkan.
"Besok saja ya? Papa janji belikan yang lain deh, Shouyo juga berhenti menggigiti pulpen, Papa tahu Shouyo berniat mencoret-coret surat Papa lagi kan?" Tegurnya, sambil menarik kerah belakang piyama anak berambut putih yang menyengir saat aksi kejahatannya akan berlangsung.
"Papa buruk sangka, ini Shouyo sedang mengetes kalau pulpen ini masih bisa digunakan atau tidak kok." Kilahnya, mulai lagi, kini anak itu mulai aktif bicara kalau malam hari, berbanding terbalik dengan Shougo yang akan kalem kala malam hari, kecuali soal makanan sih, anak itu hiper aktifnya akan mulai lagi.
"Hm, iya deh, bilangnya begitu, besok surat Papa sudah digambari brokoli, terimakasih infonya Shouyo."
"Hehe, maaf, abisnya mau sereal."
"Dibilang gak nyambung juga Shouyo."
"Disambungin dong." Ocehan lain menanggapi ucapannya, rasanya kedua anak ini tambah menggelayut pada kedua lengannya yang masih bergerak mengetik e-mail di laptop.
"Shougo juga mau sereal kan?"
Terdengar dengkuran halus, sontak kedua lelaki Todoroki yang masih saling adu argumen menengok pada entitas mungil yang menempel pada pundak kanan sang ayah, memejam dengan imut, sesekali akan melesak makin nyaman dalam pelukan sepihaknya pada pundak lebar sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Todoroki Family
FanfictionShouto saja sudah merepotkan, ditambah dua bocah unyu-unyu yang cerewet, rasanya banyak sekali yang harus dia hadapi setiap hari. "Astaga itu apa Shouto?!" "Susu untuk mereka?" "Itu tepung terigu, demi apapun!" short stories after 'Wildest Dream' st...