Malam ini lumayan cerah. Dan Momo mensyukuri keadaan karena biasanya kala malam mendekat. Kedua anaknya akan bertingkah macam-macam. Seperti sekarang ini. Dan kalau sudah begitu dia akan dengan senang hati meninggalkan pekerjaan demi menjaga mereka.
"Pahlawan Shougo sudah datang!"
Kedua bocah yang bahkan belum bisa mengambil sendok sendiri di konter dapur sudah berulah dengan mengacak-acak kain-kain gorden yang baru saja ia setrika.
"Shouyo juga mau Ma! Pinjam yang warna biru!"
Sang adik terburu menyambar kain yang akan ia lipat, meninggalkan tangan sang ibu yang menggantung di udara. Apalagi ini?
Suaminya belum pulang, karena ada pertemuan sebentar.
"Hati-hati Shougo, jangan naik begitu, nanti Shouyo ikut-ikut."
Beranjak, samar dia menangkap cekikikan dari keduanya di teras depan rumah. Tak lagi berteriak siapa yang akan membasmi siapa, maupun julukan keren pada diri sendiri sebagai pahlawan.
"Ada apa?"
"Mama! Lihat! Kaji terbang lagi."
Lantas dia mendongak, melihat anak dari sahabatnya terbang dengan artian yang sesungguhnya. Melayang-layang sambil memetik buah mangga milik tetangga depan rumah mereka."Midoriya Kajisuke! Tunggu Bibi disana!" Momo panik, malah berujar meneriaki heboh pada pemandangan anak berusia enam tahun yang sibuk memetik buah mangga sambil melayang. Kenapa tetangganya tak ada yang normal si?
"Kaji-kun! Apa yang Kaji-kun lakukan disana?"
Momo berlari keluar pintu, sigap membuat kait ke arah dahan kayu juga mulai memanjat.Dua anaknya mengikuti dari belakang. Shougo dan Shouyo saling bertatapan dengan teman sepermainannya ini.
"Kaji? Kamu lagi makan mangga ya?"
Diangguki oleh si surai lumut. Yang kini aman dalam gendongan Momo. Dari jauh ada Ochako yang berteriak histeris menghampiri mereka."Kaji-kun! Astaga kau tak apa sayang?!"
Heboh, teman sang ibu buru-buru memeluk anaknya yang anteng saja sambil mengupas mangga. Ini kenapa Momo heran sekali rasanya, anak Izuku kok berbeda dengan kedua orang tuanya yang terkenal panikan itu."Ibu tau aku baik." Bocah itu tersenyum sedikit, menyodorkan mangga dari kantung yang ia bawa.
"Ini, hasil panenku."
Momo melirik dua anaknya yang berbinar mengambil pemberian dari bocah bernama Kaji.
Ochako dan Momo sontak memasang wajah memaklumi, memang namanya anak-anak ajaib. Dikata hasil panennya, kenyataannya, pohon mangga itu milik nenek tua diseberang rumah si kembar.
"Mohon sampaikan maaf pada tetanggamu ya Momo-chan, Kaji-kun pintar sekali melayang keluar kamarnya akhir-akhir ini."
"Tenang saja Ochako-chan, aku akan menyampaikannya." Momo mengusap pundak Ochako menenangkan.
Baru saja ingin mengobrol, Kaji keburu melayang lagi setelah mengatakan goodbye pada Shougo dan Shouyo.
"Selamat malam Bibi Momo."
"Kaji-kun jangan tinggalkan Mama begitu! Momo-chan, Shougo-kun dan Shouyo-kun, Bibi pamit dulu ya!"
Lalu keduanya menghilang di belokan gang, meninggalkan mereka bertiga yang saling berpandangan.
"Mama mau mangga?"
Shougo menyodorkan, sementara tangan yang satu mengusap pipi belepotannya sendiri. Momo jadi gemas sendiri, cepat-cepat dia cium pipi gembil itu."Duh Mama, Shougo kan menawari mangga, bukan pipi!" Gembungan di kedua pipi, membuat Momo makin gemas sendiri.
"Iya-iya maaf, nah sekarang- Loh Shouyo? Shouyo-chan?!"
Momo kehilangan satu bocah lainnya, sementara Shougo juga sibuk mengedarkan pandangan mencari keberadaan sang adik. Hingga suara kekaguman terdengar dari balik pagar rumah.
Keduanya saling berpandangan, mengangguk kompak, Momo dan Shougo kembali ke arah rumah, menemukan sosok mungil berambut putih tengah mendongak mengagumi sinar kemerlip bintang yang bertabur massal.
Menutupi kain tipis awan membungkus langit yang terang. Seketika keduanya mendongak.
"Bintangnya kemerlip, tapi jauh." Itu gumaman Shouyo. Momo beringsut mendekap pundak kecilnya, sama halnya dengan si sulung.
"Kalau begitu, aku bisa buat yang kemerlip dari dekat Shouyo. Mau lihat?"
Momo menelengkan kepala, membiarkan dua anak manisnya saling berinteraksi.
"Benar loh ya?"
"Iya benar, ini akan bagus!"Shougo memundurkan tubuh, hingga tiba-tiba tangannya menyatu dan diarahkan ke atas, belum sempat bibirnya bertanya pada sang anak. Bocah itu sudah menyemburkan api dari tangan, yang melecut tinggi ke atas. Dan jilatan api diujungnya sontak hilang dan berubah menjadi gemerlap dengan percikan mengkilat terang.
"Kembang api buatan ..." Shouyo maupun Momo tak berkedip, terlalu takjub dengan sihir yang Shougo lakukan, sebelum suara duk keras menghantam pagar mengalihkan ketiganya, melongok keluar.
Ada sang Ayah, yang masih lengkap dengan stelan kemeja juga jas. Terduduk mengelus kening. Sepertinya terbentur.
"Papa!"
"Papa oke?"
"Shouto?"
Koor ketiganya menanyai si kepala keluarga. Jadi dengan hembus nafas lelah, Shouto berdiri, menepuk jas dan celana bahan yang kotor, dia menyungging senyum tipis yang terlihat malu-malu.
"Iya, Papa baik. Hanya terbentur. Siapa yang menyalakan api unggun dirumah? Papa panik jadi asal lari saja, dan menabrak pagar." Shouyo mengelus kepalanya, memperlihatkan raut bertanya yang khas, tapi kenapa lucu sekali?
Mereka bertiga saling berpandangan cukup lama. Sebelum dengan tiba-tiba sama-sama tertawa kecil ke arah Shouto. Tentu saja tanpa mengatakan apapun soal trik kecil yang penuh daya magis dari tangan si sulung.
"Oke, kenapa kalian menertawakanku?"
"Ahaha Papa lucu."
"Aduh Shouto kau ini."
"Ahaha Papa, maaf Shouyo suka sekali wajah Papa yang kebingungan."
Sontak perkataan si bungsu membuat dua orang lain tertawa lagi.
"Seseorang tolong jawab aku." Lirihnya masih dilanda bingung mendadak.
To be continue ...
Shougo berbakat seperti ayahnya ya, aduh jadi pengin ngarungin hwhw
KAMU SEDANG MEMBACA
Todoroki Family
FanfictionShouto saja sudah merepotkan, ditambah dua bocah unyu-unyu yang cerewet, rasanya banyak sekali yang harus dia hadapi setiap hari. "Astaga itu apa Shouto?!" "Susu untuk mereka?" "Itu tepung terigu, demi apapun!" short stories after 'Wildest Dream' st...