"Enyah gak, dari kamar gue?!"
Muka judesnya terpampang nyata di ambang pintu. Nampak horor apalagi dengan segala setelannya yang serba hitam. Kaos lengan pendek, jeans, ransel, sampai topi semuanya hitam, bisa dipastikan sampai ke pakaian dalamnya pun hitam. Heran deh, dari segala warna yang ada di muka bumi, dia selalu memilih hitam.
Apalagi topi yang menutup kepalanya itu. Membuat dia tampak lebih mengintimidasi dengan tatapan mata bulatnya yang ternaungi.
Sementara orang yang tadi dia semprot, nampak tidak terpengaruh. Hampir seumur hidup disemprot begitu, dan melihat melihat penampakan seperti itu, jadi bukan apa-apa baginya.
"Baru pulang, A?" Dia malah balik bertanya.
Dia yang sedang rebahan dengan santai di atas ranjang abu-abu dengan selimut hitam yang mestinya selalu tertata rapi itu. Tapi tidak lagi akibat perbuatan gadis itu yang nyemil chitato di atasnya.
Mario, sang pemilik kamar. Dulunya ini adalah kamar tantenya, Lita, alias wanita yang dipanggil Mama oleh bocah perempuan itu. Kamar ini jadi kamarnya sejak beberapa tahun belakangan, sejak Mario pindah dari Jakarta ke Bandung dan tinggal berdua dengan nenek.
Mario, si laki-laki yang lebih mirip bayangan hidup itu enggan menanggapi. Dia hanya menghela nafas lalu memejamkan mata, mengumpulkan segala kesabarannya.
Dia akhirnya berjalan ke sudut lain kamarnya. Menaruh ranselnya di kursi belajar dan mengambil handuk yang digantung rapi dekat jendela.
"Gue mau mandi, keluar." Ujarnya datar.
"Oke deh. Gue angetin ayam, ya, A. Tadi nenek ninggalin makanan buat kita."
Seketika si laki-laki terpaku dalam langkahnya. Dia kira neneknya gak ada di rumah karena sedang ke pengajian.
"Nenek kemana?"
"Ke Dago." Jawab si gadis menyebut alamat rumahnya, sambil lalu. "Nengokin Ziel Zio."
Ziel dan Zio adalah kedua adik laki-laki si gadis yang masing-masing usia 9 dan 3 tahun.
"Ko Lo malah ke sini?"
"Mumet A, di recokin bocil mulu. Mendingan gue ke sini."
"Dan recokin gue?" Tanya si laki-laki itu sinis. Si gadis memasang senyum manisnya dan mengangkat ibu jarinya.
"Betoool."
-
Mario, laki-laki judes itu keluar kamar mandi dengan pakai yang sudah berganti. Celana training hitam dan kaus hitam adalah yang dia kenakan. Memang penampilannya selalu membosankan seperti itu, jangan heran.
Dia menggosok rambutnya yang masih basah dengan handuk lalu berjalan ke meja belajar untuk meraih kacamata minusnya. Dia lagi-lagi hanya bisa menghela nafas ketika remah-remah warna oranye itu akhirnya terlihat jelas di atas kasurnya. Dengan telaten tangannya mengumpulkan remah-remah itu, mencomotnya dengan tisu dan membuangnya ke tempat sampah kecil di dalam kamarnya.
"A?" Seonggok kepala muncul dari pintu yang terbuka tanpa permisi. Itulah kenapa ia terbiasa mengenakan pakaian di kamar mandi.
"Mika berapa kali gue bilang, jangan ngotorin kasur!"
"Hehe. Sorry." Gadis yang dipanggil Mika itu cuma nyengir dari celah pintu. "Ayok makan A. Gue laper." Dan tidak pernah digubris teguran Mario yang keseribu kalinya itu.
-
"Gue tuh yah A, Minggu lalu harusnya ikut camping, acara perpisahan gitu. Yang ngadain cuma anak-anak sih, di villa orang tuanya si Dava."
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate
Teen FictionTerjebak dalam kisah cinta bertepuk sebelah tangan saja sudah miris. Lebih miris lagi kalau terjebak cinta bertepuk sebelah tangan pada sepupumu sendiri. Ada yang lebih mengenaskan dari Mika? "Hah, andai saja Mario bukan sepupu gue." Lalu semesta m...