"Kaka, sini keluar dulu ada, A Iyo." Mika baru saja selesai mandi ketika Mama memanggilnya dari lantai bawah.
"Nanti, aja Ma." Mika malas bertemu Mario.
Mika memilih tidur-tiduran di atas karpet yang digelar di balkon. Lebih baik dia membaca wattpad sambil nyemil Chitato. Biarin lah, si Mario itu. Kalau butuh juga nanti dia nyamperin sendiri.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Mika memang diketuk juga. Seperti yang sudah dia duga. Tapi dalam hati Mika saja terus mendumal.
Ngapain kesini sih?
Ya udah kalau mau nganter ceweknya, ya sok aja.
Pintu di ketuk lagi.
"Gak dikunci!" Teriak Mika masih geletakan di balkon.
Mario pun masuk, lalu giliran dia yang mulai mengomel.
"Kenapa sih Lo, gak angkat telfon gue?"
Noh kan, yang marah siapa, yang ngomel siapa. Gerutu Mika dalam hati.
Udah gak baca chat gue, main pergi aja nganter ceweknya. Bilang dulu ke.
Mika masih teriak dalam hati. Tapi terlalu malas untuk menyuarakannya. Diemin aja.
"Kirain Lo masih di kelas, ternyata gak ada. Gue telfon gak diangkat, pas telfon Ate, katanya baru nyampe rumah. Nyebelin banget sih Lo."
Mario emang pendiam dan jarang banyak bicara. Tapi kalau sudah mengomel, dan sasaran omelannya Mika, panjang bener omongannya. Tiba-tiba dia bisa jadi manusia paling bawel sejagad raya. Heran.
"Lo yang nyebelin!" Mika sekarang gak mau kalah dong. Ko jadi dia yang nyebelin? Yang duluan menyebalkan kan Mario. Enak saja.
“Gue nyebelin apaan sih?”
Mika bangkit dan mendudukkan tubuhnya. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum menyemburkan isi kepalanya.
“Gue tadi mau balik, Lo malah nganterin cewek Lo. Iya itu memang motor Lo, suka-suka lo mau nganter siapa juga. Tapi kan Lo berangkat sama gue, A. Bilang dulu ke Lo gak bisa anter gue balik. Malah udah janji mau jajan lagi. Untung aja gue gak nungguin Lo. Mati gaya gue kaya orang bego di parkiran sekolah. Gue chat malah gak bales lagi. Jahat banget Lo emang!”
Mario masih belum menanggapi. Sementara Mika menatapnya kesal dengan nafas naik turun. Matanya mulai berair. Gadis itu memang tipikal mudah sekali tertawa, mudah juga menangis.
“Udah?” tanya Mario setelah diam yang agak panjang.
“Udah.” Jawab Mika sambil membuang muka. Dia kembali mengambil cemilannya. Melampiaskan kekesalan pada keripik kentang yang dia kunyah sampai remuk di mulutnya.
“Mau nangis dulu gak Lo?” Mario sekali lagi bertanya.
“Gak. Males.” Mika masih buang muka dan masih mengunyah dengan brutal.
“Sorry, gue gak buka hape. Lagian lo bukannya nungguin, orang gue gak lama juga. Nganter beli bahan buat karate ke tukang beton doang ege.”
“Ya mana gue tahu? Siapa tahu lo mau lanjut pacaran kan, lupa deh sama adeknya.”
Mario tertegun dengan kalimat terakhir Mika. Untuk sebuah alasan yang sejak dulu ingin dia sampaikan.
“Kenapa lo? Bete gak jadi jalan sama cewek lo?”
Mario melempar boneka unicorn kecil dari atas kasur Mika, tepat mengenai muka gadis itu.
“Yang jalan sama cewek siapa? Sotoy banget sih lo. Kebanyakan gibah kan lo di Sekolah, bukannya belajar.”
“Ya, itu, Ka Revina! Elo kan soal gituan gak pernah cerita ke gue. Gue dapetnya dari orang deh. Cukup tahu aja gue mah. Adek gak dianggap.”
Mario lagi-lagi merasa tidak nyaman dengan sebutan itu ketika keluar langsung dari mulut Mika. Dan sesungguhnya Mika berulang kali menyebutkan hal itu juga untuk menegaskan kepada dirinya sendiri. Antara dia dan Mario.
“Ngaco!” Mario berseru dengan muka galaknya. “Udahan belom ngambeknya Lo. Jadi ini mau jadi jajan apa enggak? Kalau enggak, gue ngajak Ziel nih.”
“Yah jadi lah enak aja!”
Mika pun langsung bangkit berdiri dan menyambar jaket di sandaran kursi belajarnya. Dengan Segera dia mengintil Mario yang sudah lebih dulu meninggal kamar tidurnya.
Dari jaman bocah emang nyogok pakai jajan selalu ampuh digunakan Mario.
To be continued...
Pendek2 gapapa lah ya. Pemanasan. 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate
Teen FictionTerjebak dalam kisah cinta bertepuk sebelah tangan saja sudah miris. Lebih miris lagi kalau terjebak cinta bertepuk sebelah tangan pada sepupumu sendiri. Ada yang lebih mengenaskan dari Mika? "Hah, andai saja Mario bukan sepupu gue." Lalu semesta m...