Rumah

147 17 4
                                    

Kalau ditanya rumah, Mario sudah kehilangannya sejak lama. Kalau misalnya dipaksa harus jawab, ya nenek lah rumahnya sekarang. Makanya Mario kadang bingung kalau Ayahnya memerintahkan 'pulang.' Pulang kemana? Jakarta bukan rumahnya, setidaknya bukan lagi rumahnya.

...

Mika merasakan aura gelap pada Mario. Dia jadi segan untuk bicara. Dan menahan segala cerocosan yang tadi sempat mengalir deras.

Tapi kalau didiamkan ya Mario akan terus diam begitu. Jadi Mika memberanikan diri untuk mencairkan suasana.

"A.. Om Iwan nyuruh ke Jakarta ya?"

"Iya."

"Oh." Mika sudah menebak-nebak sih, yang tadi nelfon pasti dari Jakarta, Om Iwan, papahnya A Io. Siapa lagi yang bisa membuat Mario langsung hilang mood begitu.

"Mau ditemenin gak?"

Mario ogah sekali ke Jakarta.

"Gue temenin ya. Naik travel kaya biasa kan? Atau naik kereta?"

Sebenarnya Mario tidak ingin merepotkan siapa pun termasuk Mika. Hanya saja membayangkan dia datang ke Jakarta sendiri bertemu keluarga Ayahnya, membuat Mario mulas seketika.

"Gue minta ijin Om Aska deh. "

Tapi setidaknya kalau bersama Mika, berisiknya bocah ini akan mengusir berisik dalam kepalanya.

-

Om Aska sebenarnya menawarkan untuk mereka diantar sopir ke Jakarta. Tapi Mika ya tetap Mika.

"Papa aku udah gede ya, bisa pesen grab sendiri juga kalau emang perlu. Mika juga pengen naik whoosh."

Om Aska menghela kalau anaknya sudah ngeyel begini.

"Yang order tapi Io ya. Nanti Papa topup ke Io." Karena Papanya ini tahu kalau anaknya suka teledor. Bisa-bisa tujuan kemana order kemana.

"Siap Om." Mario senang saja sih. Karena Om Aska kalau topup gak kira-kira. Katanya ongkos tapi bisa buat plus biaya check in hotel bintang 5 selama 2 malam mah cukup.

"A, gue udah beli tiket dufan ya, abis dari rumah om iwan, kita langsung cus." Bisik Mika pada Kaka Sepupunya itu.

Tuh kan, memang selalu ada agenda lain dari bocah ini.

Mario cuma menghela nafas.

Selain itu, agenda lain Mika adalah jajan. Jadi sepanjang perjalanan di kereta dia tidak berhenti ngunyah.

"Yah ko udah mau sampe lagi sih."

Gerutunya ketika dirinya masih ngunyah pop mie.

"Kan emang cuma setengah jam."

"Ah, gak asik nih kecepetan." Gerutu Mika.

Dari Halim mereka langsung pesan taksi online ke arah Sunter. Lebih dari setengah jam perjalanan Mario lebih banyak diam. Apalagi ketika mobil sudah membawa mereka memasuki salah satu komplek yang Mario tentu ingat betul meski ada beberapa perubahan.

Dimana dia pernah setiap akhir pekan di pagi hari dia Ibunya jalan untuk sekedar sarapan di tukang bubur depan kompleks. Dimana dia dulu dan kawan-kawan kalau sore tiba keliling naik sepeda. Lalu sampai mereka pada pintu pagar nomor 23A.

Sebuah tempat yang dulu dia sebut rumah.

DelicateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang