Hans baru keluar dari kamar mandi dan menggunakan pakaian rumah, celana pendek dan kaos putih nya sedang berusaha mengeringkan rambut nya yang basah. Saat keluar, ia melihat Vee, istrinya itu sedang setengah duduk di atas kasur sambil memainkan ponsel nya. Hans teringat kejadian semalam, saat ia berada di jarak yang sangat dekat dengan gadis itu dan dia mematung karena paras nya yang begitu indah seperti pahatan dewa-dewi Yunani.
Hans menarik nafas panjang lalu berjalan ke arah gadis itu berniat mengantungkan handuk nya.
"Kapan kita akan kembali?" tanya Vee tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangan nya dari layar ponsel.
"Besok atau lusa," balas Hans. "Sampai Tony mengirimkan mobil ku kemari."
Vee berdecak malas. Melihat hal itu, Hans mengerutkan kening nya kecil lalu duduk di kursi tempat Vee menata rias wajah nya. Vee menoleh saat merasa pria itu duduk di kursi tempat ia bersolek.
"Kenapa kau sangat membenci Ayah mu?"
"Karena menikahkan ku dengan mu."
Hans mengeraskan rahang nya, setiap kali ia menanyakan hal itu jawaban nya selalu sama. Gadis sialan ini, tidak tahukah dia bahwa suami nya ini idaman para wanita?
"Apa seburuk itu diri ku di pandangan mu?"
Vee kembali menoleh menatap pria itu lalu kembali menatap ponsel nya, "Lebih buruk dari yang kau bayangkan."
"Kalau begitu," Hans menegakkan tubuh nya dan tersenyum miring, "Berikan aku alasan nya."
Vee mengerutkan kening nya lalu menatap pria itu, "Are you on drugs?"
"No."
"Kau masih bertanya alasan nya?" Vee tersenyum tak percaya sambil menegakkan duduk nya. "Pertama, kau jauh lebih tua dari ku. Kedua, kau tak berperasaan. Ketiga, kau sama seperti Ayah ku, pembunuh, perampok, dan sama-sama menyedihkan. Keempat," Vee diam, ia terlihat terkejut hendak menyuarakan poin ke empat. Itu mengundang tanda tanya besar di kepala Hans yang kini menaikkan satu alis nya heran.
"Dan yang ke empat?"
Vee menelan ludah nya kasar lalu menggelengkan kamar nya, "Tidak, tidak ada."
Vee kembali menyandarkan tubuh nya dan bermain ponsel nya namun dapat di lihat ia gugup. Hans menatap nya serius.
"Kau menutupi sesuatu, Vee?"
"Tidak," balas Vee cepat, "Nothing."
Saat Hans hendak bicara, pintu terketuk hingga menarik perhatian kedua nya. "Sarapan nya sudah siap, Tuan dan Nona!"
"Kami akan segera datang."
Vee menarik nafas panjang lalu berdiri dan hendak keluar bersamaan dengan Hans yang tiba-tiba berdiri dan menghadang gadis itu.
"Apa yang membuat mu menutupi point empat, hm?"
Vee memutar bola mata nya malas, "Tidak ada point empat!"
"Tapi kau menyebutkan nya."
"Dengar," Vee menatap nya, lagi-lagi dengan tatapan dingin nya. "Kalau pun ada, aku tidak ingin memberitahu kan nya pada mu."
"Kau tidak perlu tahu tentang kehidupan ku, Mister Gruber."
Setelah mengatakan hal itu Vee langsung melangkahkan kaki nya keluar meninggalkan Hans yang masih berdiam lalu tertawa renyah. Dia merasa harga diri nya jatuh, dia masih tak percaya ada gadis yang tidak bertekuk lutut di hadapan nya. "Gadis itu benar-benar."
Vee muncul di meja makan yang sudah di isi oleh Ayah nya dan Bibi nya lalu di susul Hans di belakang. Vee duduk di samping sang Bibi dan Hans di sisi kanan Arkan. Hans masih memandangi wajah gadis itu dalam beberapa saat sebelum akhirnya menarik tatapan nya.
Mereka membuka piring nya bersamaan dan mengambil lauk sendiri.
"Nah, Vee," pemilik nama meringis mendengar suara bibi nya. "Bagaimana tadi malam?"
"Berjalan baik." balas Vee bohong, tentu ia tahu kemana arah pembicaraan wanita paruh baya ini.
"Aku tidak mendengar suara apapun tadi malam." ucap nya lagi.
Vee menelan ludah nya kasar, tentu saja dia tidak dengar, mereka tidak melakukan apa-apa.
"Ah, aku mengerti." Bibi menoleh menatap Hans yang sedang mengunyah makanan nya. "Ini memang sering terjadi pada pria tiga puluhan ke atas. Ejakulasi mu sangat cepat, bukan?"
"Uhuk!" Hans langsung menutup mulut nya dengan jari nya seperti menahan batuk setelah mendengar pertanyaan wanita di depan nya.
"Aku punya ramuan nya, itu benar-benar ampuh. Aku akan memberikan nya pada mu."
Hans tersenyum kecil lalu menatap Vee tajam meminta penjelasan itu tapi Vee hanya mengangkat kedua bahu nya tidak tahu.
Arkan mendekatkan tubuh nya, "Dia memang seperti itu, maafkan aku."
"Tidak, tuan. Tidak apa-apa." balas Hans dengan berbisik pula.
"Owh, aku akan pergi sebentar, mencari Tas baru ku untuk minggu ini."Wanita itu berdiri lalu mencium kening Vee. "Sampai jumpa, Sweetheart."
Vee hanya membalas nya dengan senyuman terpaksa lalu bernafas lega melihat bibi nya itu pergi.
"Omong-omong, apa kau bisa bermain golf, Hans?"
"Dia hanya bisa merampok dan membunuh." timpal Vee sambil memasukkan makanan nya ke dalam mulut.
Keadaan sempat canggung karena omongan gadis tersebut.
"Golf adalah favorit ku saat SMA, tuan."
"Bagus, kita bisa bermain bersama siang nanti."
Vee menelan makanan nya, "Omong-omong, kapan kita bisa kembali?"
Arkan tersenyum pedih mendengar ucapan putri nya, terlihat jelas ia ingin cepat-cepat pergi dari rumah yang ia tempati dulu.
Hans yang melihat hal itu jadi tidak enak hati lalu menatap Vee tajam, "Bukankah kita sudah bahas ini sebelum nya?"
Vee kembali mengangkat kedua bahu nya, "Terlalu banyak absen juga tidak bagus untuk nilai ku."
Arkan tersenyum kecil, "Kau sangat rajin, sama seperti ibu mu."
"Aku rajin supaya tidak menjadi Mafia seperti mu."
Setelah mengatakan hal itu, Vee langsung berdiri dan berjalan meninggalkan meja makan dan sang Ayah yang terdiam di tempat nya dengan wajah menyedihkan, tentu saja sakit melihat putri kesayangan mu berbicara seperti itu.
Hans mengulum bibir nya sejenak, "Aku akan berbicara dengan nya."
Hans lalu berdiri dan berjalan menyusul Vee yang sudah naik ke lantai atas. Dengan kaki panjang nya ia manfaatkan hingga saat gadis itu hendak meraih pintu kamar, Hans cekal tangan nya lalu ia dorong ke dinding.
"Apa maksud atas ucapan mu tadi?"
Vee menatap nya tenang, "Seharusnya kau tahu jelas maksud ku."
"Kau membuat nya sedih memiliki putri seperti mu!"
"Aku lah yang seharusnya sedih karena memiliki Ayah seperti nya!"
Ucapan Vee membuat Hans terdiam, ia memandangi manik kecokelatan itu mencoba menyelam dan mencari sesuatu di sana namun yang ia temukan hanyalah amarah.
"Jika kau sangat menyayangi nya, kau saja yang menjadi anak nya. Lagipula, apa yang di banggakan dari seorang Ayah yang suka merampok dan membunuh, huh?"
"Veela—"
"Bahkan sampai saat ini," Vee mengeraskan rahang nya. "Aku masih tidak percaya Ayah dan Suami ku adalah seorang pembunuh, Hans."
T B C
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Her
FanfictionHans merasa harga diri nya hancur saat istri nya tidak mau di sentuh sebagaimana perempuan lain nya saat melihat diri nya. Tapi ada satu yang membuat Hans selalu saja terdiam ketika berhadapan dengan gadis yang masih anak kuliahan itu. Mata nya, ma...