J-Six

503 59 2
                                    

Mumuthe!

Halo semuanya, namaku Muthe. Sekali lagi MUTHE. Bukan Mute apalagi Marmut!

Aku gak mengerti kenapa kalian menulis seperti itu tentang Ariel dan Eve? Mereka memang terlihatnya saja menyebalkan. Terlihat arogan apalagi dengan tampang sangar mereka. Tapi kalian tidak boleh menilai mereka seperti itu. Seharusnya kalian kenalan lebih baik dengan keduanya terlebih dahulu. Mereka asik kok.

Kalau disuruh pilih, aku lebih baik bersama mereka dibanding anak-anak lain. Seperti anak-anak cowok yang duduk di belakang. Mereka sangat berisik dan tidak pernah berhenti menggangguku terutama Aldo. Kapan sih kamu bisa diam? Aku jadi gak bisa konsen belajar tahu!

Sholeh juga, aku pikir dia akan seperti Ariel yang punya wibawa tapi nyatanya malah ikut-ikutan Aldo menggodaku. Katanya ngawasin kalau Aldo keterlaluan tapi malah ikut ngeledekin dan manggil aku marmut. Nyebelin!!!

"Marmut kan lucu, Muthe."

Apanya yang lucu? Kecil dan jelek seperti tikus.

Untungnya Jaya tidak terlalu buruk. Dia jauh lebih baik dibanding kalian. (Tapi Ariel tetap terbaik!)

Oh, iya. Pagi ini kita dibuat kaget saat datang ke kelas. Siapa sih yang gak kaget sewaktu masuk ke kelas ternyata susunan kursi dan meja sudah berubah? Seluruh meja ditumpuk di belakang kelas dan ke 27 kursi disusun membentuk lingkaran. Pak Fano berdiri di tengah formasi itu. Dan semua anak telah duduk di kursinya masing-masing, terkecuali Christy yang datang terlambat.

"Seperti biasa, paling terlambat, nomor 24 akhirnya kau datang juga."

Christy langsung misuh-misuh saat duduk di sebelahku. Sambil berbisik dengan wajah manyunnya dia bilang. "Si drakula itu, darimana dia tahu aku selalu paling terakhir masuk kelas? Apa ada di antara kalian yang melapor? Dasar pengadu!"

Loh? Mana aku tahu.

Kulanjutkan yah, Pak Fano menyuruh kita memilih kursi sesuai yang kita inginkan. Setelah kita semua duduk dia memerintahkan menghapal urutan siapa duduk dimana dan siapa duduk di sebelah siapa.

Tiba-tiba lampu dipadamkan, ruangan menjadi gelap total. Ada dua anak yang berteriak, sementara Atin berteriak kaget dan histeris, Indah malah berteriak genit. Anak itu selalu saja berusaha menarik perhatian orang lain.

"Diam!" Perintah Pak Fano. Uh, siapa juga yang mau ngobrol dalam gelap. "Nomor 9." Panggilnya.

"Eh, ya... pak."

Haha, Eli kukira bakal dimarahi, tapi ternyata Pak Fano malah berkata, "Siapa yang dijepit nomor 2 dan 6?"

"Mmm..." Eli pasti bingung sekali. Dia menjawab, "Floren?"

Pak Fano langsung mendecak kesal, "Jawab dengan nomor urut, bukannya nama!" Bentaknya.

Pasti Eli jadi keder, dia minta ma'af berulang-ulang dan menyebut suatu nomor. "Nomor 19, Pak Fano."

"Bagus, selanjutnya nomor 11." (Kalian juga mendengar Zahran menelan ludah, kan?). "Siapa yang duduk lima kursi dari sebelah kananmu?" Tanya Pak Fano.

Kayaknya kita (apalagi Pak Fano) sudah kelamaan nunggu jawaban Zahran sewaktu dia menjawab lemah, "Saya tidak tahu." Ruangan sejenak jadi hening.

"Gagal." Seru Pak Fano pendek.

Pertanyaan terus bergulir, semakin lama semakin susah, anak yang tidak berhasil menjawab tidak diberi pertanyaan lagi. Aku curiga ini semacam tes untuk nunjukin siapa yang paling pintar atau punya ingatan paling kuat di kelas kita.

Saat aku sedang berusaha konsentrasi, Aldo yang duduk di sebelahku tiba-tiba merangkul bahuku.

"Aldo, apa-apaan sih!" Pekikku kaget sambil menyingkirkan tangannya.

"Gak apa-apa lah, Marmut. Mumpung gelap."

"Apanya yang gak apa-apa?! Lo pikir gue cewek apaan?" Bentakku.

"Ssst. Diem Marmut, entar ketawa Pak Fano loh."

"Biarin aja kalau perlu biar lo dihukum."

"Kok gitu sih, Marmut?"

"Stop. Stop panggil gue 'Marmut'!" Aku berteriak kesal. "Lo pikir gue hewan?"

"Yaudah, kalau gue panggil 'Sayang' gimana?" Dalam gelap aku bisa melihat Aldo tersenyum mesem. "Cieee, mukanya merah. Akuin aja, deh. Lo juga suka sama gue."

"Bisa diem gak, Do!"

"Kalau gak mau, gimana?" Bukannya berhenti Aldo malah mengeratkan rangkulannya.

"Aldooo. Lepasin, ahh!" Aku merengek.

"Nomer 14!" Pak Fano tiba-tiba memanggilku. Untungnya aku bisa berkonsentrasi dan menjawab pertanyaannya dengan benar. Aku kan murid yang pintar.

"Jadi, gimana? Apa kau mau jadi pacarku?"

Hah? Apa-apaan sih, Aldo. Oke-oke. Aku akuin kamu memang murid yang tampan. Tapi, hih! Sifat kamu tuh gak banget. Apalagi dengan gaya kamu yang sok keren itu. Aku pasti gila kalau menyukaimu.

Kembali ke ujian (?) yang tidak jelas ini, akhirnya sesi pertanyaan dari Pak Fano selesai. Inilah urutan teman sekelasku yang tersingkir sampai putaran terakhir : Zahran - Eve -  Lulu - Deo - Indah - Sholeh - Marsha - Olla - Christy - Flo - Jesslyn - Atin - Aldo - Anin - Jaya - Jessi - Frans - Oniel - Eli - Zee - Gito - Fiony - Aku yang terakhir tersingkir

Yup, tersisa empat orang yaitu Chika, Ariel, Mirza dan si pendiam nomor 27. Seandainya Aldo tak mengganggu, aku pasti lolos juga.

Lampu dinyalakan. Bel berbunyi tanda bergantinya jam pelanjaran. Aldo kembali berbisik padaku sebelum bangkit. "Aku tunggu jawabanmu sepulang sekolah, Muthe." Ujarnya.

Hih! Maaf saja Aldo, sampai mati aku tak akan membalas cintamu.

(Mutiara Azzahra)

J DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang