J-End-2

686 62 8
                                    

Jalan yang Mereka Pilih

Ruang Penyimpanan, satu jam sebelum kebakaran...

Aldo mendorong si nomor 27. Tubuh gadis malang itu jatuh tersungkur. "Katakan apa maumu!?" hardik Aldo.

Si nomor 27 bangkit, berdiri. "Apa semuanya sudah di sini?"

Anak-anak di sana saling berpandangan. "Sepertinya sudah," jawab Anin, mewakili teman-temannya.

"Baiklah." Si nomor 27 tersenyum singkat. Tangannya gemetaran mengeluarkan sebuah benda dari sakunya. Benda tadi tergelincir dari tangannya. Terbanting di lantai dan berhenti di antara kedua kaki Lulu.

Lulu menunduk berniat mengambilnya. Namun si nomor 27 duluan melompat, menyambarnya dan menekan tombol di benda tersebut.

BLARRR!!!

Sebuah ledakan mengagetkan semua anak. Flo yang berada paling dekat dengan lubang keluar, melompat mundur. Menabrak Jessi yang langsung mengomel.

"Pi-pintunya!" teriak Eve kalap.

"Apa yang kau lakukan!!!" raung Aldo pada si nomor 27. Ditariknya kerah seragam anak itu.

Si nomor 27 tertawa panjang. Sumpah serapah menyembur dari mulutnya. Aldo makin kalap dan mengguncang tubuh gadis tadi. "Per-cu-ma..." kata si nomor 27. "Apa-pun yang kau lakukan, kita tetap akan mati disini."

Aldo melepaskan cekalannya. Si nomor 27 terbatuk-batuk. "Apa arti kata-kata lu barusan!?" paksa Aldo.

Si nomor 27 memandangi wajah setiap anak satu persatu. Lalu dia menjelaskan semuanya. Kemarahannya, rencana balas dendamnya dan kematian yang menanti mereka semua.

Keheningan tidak wajar menyelimuti ruangan itu. Setiap anak tak mau kehilangan barang satu katapun dari mulut si nomor 27. Mulut-mulut mereka menganga tak percaya.

Reaksi pertama mereka adalah kepalan tangan Aldo yang menghantam pipi si nomor 27. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Aldo membabi-buta memukuli si nomor 27. Dia meraung sejadi-jadinya.

Penyiksaan itu berakhir berkat Chika dan Fiony yang menahan kedua tangan Aldo. "Hentikan..." mohon Chika.

"Ini tidak menyelesaikan masalah," lirih Fiony. Air mata keduanya membasahi lengan Aldo.

"Mereka benar, Aldo. Dalam keadaan seperti ini kita harus menghadapinya dengan kepala dingin," kata Ariel.

"Diam lu, Riel! Jangan mentang-mentang lu ketua kelas maka lu pikir bisa memerintah gue seenaknya! Jabatan lu itu formalitas belaka! Tak pernah ada yang mau lu pimpin!" bantah Aldo.

"Lo pikir gue mati rasa, ya!" teriak Ariel tidak kalah keras. "Oke, kalau kalian gak suka gue yang jadi ketua kelas. Tapi tolong untuk kali ini saja, dengarin gue!"

Anak-anak terperangah, selama ini 'tolong' adalah kata yang anti diucapkan si angkuh Ariel.

"Lo punya ide?" Tanya Frans.

Ariel mengiyakan. "Azizi, pakai ponsel lu. Hubungi siapapun juga, minta mereka segera mengeluarkan kita dari sini."

"Waaa... Gue gak terpikir ada cara seperti itu," puji Deo.

Azizi menelan ludahnya. "Maaf, semua ponsel gue, gue tinggal di tas, di kelas."

"Kalau begitu, siapapun di antara kalian yang membawa ponsel bisa melakukannya," lempar Ariel kepada yang lain.

Tak ada gerakan.

"Kenapa gak pakai punya lo sendiri?" celetuk Anin.

"Gak bisa, ponsel gue dipinjam Jaya. Katanya ponsel dia ketinggalan dan dia mau menelepon orang tuanya, penting."

J DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang