J-Twelve

380 45 1
                                    

Melelahkan, itulah yang kurasakan sebagai nomor urut 1. Kita dipaksa duduk sesuai nomor urut dari awal masuk. Padahal sepertinya Pak Fano tidak akan mengomel jika kita sedikit merubahnya. Bukan karena aku tidak suka semeja dengan Marsha, tapi duduk di posisi sebelah pintu masuk sangat menyebalkan.

Aku kira posisi dekat pintu bisa membuatkan sesekali melirik ke luar ruangan, karena aku benci berada di kelas tanpa jendela ini. Ternyata pintu malah ditutup sepanjang hari. Ditambah lagi speaker yang mengeluarkan musik miris itu tepat berada di atas pintu. Lengkaplah sudah penderitaanku.

Eh, tapi sebelumnya aku ingin bertanya, apa bener Zee juga menyukai Fiony? Kok sepertinya tidak ada tanda-tanda untuk melangkah lebih maju? Zee hanya tampan, tapi ternyata tidak se-gantle itu.

Oh iya. Seminggu yang lalu, aku diam-diam merekam musik hantu tersebut. Ketika aku memutarnya di depan bunda, beliau terkejut. Menurut bunda, musik tersebut biasanya mengiringi pemakaman raja-raja romawi jaman dulu. Beliau juga bertanya, darimana aku mendapatkannya? Kubilang itu tugas sekolah. Ah, andai beliau tau yang sebenarnya.

Seperti yang kalian ingat, hari ini kita semua diseret ke ruang musik. Di ruangan itu hanya ada 19 kursi lipat berwarna merah yang disusun menjadi 2 barisan di hadapan sebuah panggung kecil.

Pak Fano memanggil 8 anak ke belakang panggung. "Nomor 1, 12, 15, 16, 19, 24, dan 27, ikut saya. Yang lain duduk dikursi yang sudah disediakan."

Aku mengekor si robot itu. Setelah sampai di belakang, Pak Fano memberikan perintah untuk setiap anak masing-masing mengambil alat musik yang kami kuasai. Aku mengambil sebuah mic. Aku tidak perlu alat musik apapun untuk suara emasku.

"Nomor 12." Pak Fano mengumumkan dari luar. Sejak kapan dia sudah berjalan ke depan panggung?

Aldo, Jaya, dan Christy menjulurkan kepala dan menarik tirai panggung perlahan. Mirza mendapat giliran pertama. Dia duduk di depan sebuah grand piano. Dia tersenyum pada Marsha sebelum mulai menarikan jemarinya di tuts putih. Permainan piano Mirza seindah senyumannya. Aku baru sadar Mirza bisa semenawan itu. Kalian juga pasti setuju kan?

"Nomor 24!" seru Pak Fano.

Mirza menghentikan permainannya dan Christy maju menggantikan. Lantunan lembut terdengar dari flute yang ditiupnya. Christy hebat. Aku tidak menyangka anak kecil cantik yang sering melontarkan pertanyaan tidak masuk akal itu ternyata punya bakat lain juga.

"Nomor 16," panggil Pak Fano.

Jaya muncul ke atas panggung membawa sebuah gitar. "Maaf, tapi saya tidak pernah memainkan musik klasik," katanya ringan. Aku bisa mendengar Anin cekikan bersama Olla. Dasar tidak sopan! Tau apa mereka tentang musik?

Pak Fano menekuk wajahnya, lalu berkata, "Aku tau itu. Si nomor 19 pasti juga tak mengenal yang namanya musik klasik. Nomor 12 dan 24, kalian turun dulu."

Mirza dan Christy mengangguk lega.

"Nomor 19," kata Pak Fano. Flo bergegas maju, Aldo menarik tirai lain. Ada sebuah drum di sana. Flo mengambil stiknya.

"Mainkan lagu yang kalian bisa." Guru ini sepertinya biasa banget memerintah dengan nada dingin seperti itu.

Jaya membisiki Flo. Aku bisa mendengar ada kalimat ejekan. Sepertinya Jaya masih sedikit kesal karena kalah pada permainan kemarin.

"Aku tau lagu itu!" jawab Flo, "tapi aku agak ragu." Huh, kenapa anak lelaki suka sekali tidak mau saling mengalah?

Dimulailah permainan lagu modern dari keduanya. Lagunya menghentak, dinamis, dan riang. Benar-benar menyenangkan.

Aku tidak bisa menahan diri dan mulai ikut bernyanyi mengikuti iringan musik Jaya dan Flo. Kulihat anak-anak lain terpukau dan menikmati pertunjukan kami. Fiony dan Indah bahkan sampai saling berpelukan dengan tatapan haru. Anin dan Olla yang sedaritadi mengobrol nampak takjub melihat ke atas panggung.

Tapi si brengsek Pak Fano itu merusaknya. "Berhenti nomor 1! Aku belum menyuruhmu keluar. Apa kau ingin melanggar peraturan!?"

Peraturan!? Peraturan sebodoh apa yang melarang seseorang bernyanyi sebaik diriku?

"Kalian dihukum." Muka guru sialan itu mengkerut. "Nomor 27, maju!"

Lalu si gadis dekil yang sampai sekarang tak kita ketahui namanya itu maju membawa sebuah biola.

"Mainkan lagumu! Jangan berhenti sebelum kusuruh."

Si nomor 27 mulai menggesek biolanya, memainkan sebuah lagu menyayat. Lagu yang pasti kita kenal karena diputar setiap hari di kelas kita. Lagu yang bunda bilang adalah lagu pemakaman.

Gadis itu memainkannya sampai bel pulang berbunyi. Di akhir hari, setelah mendengar lagu terkutuk tersebut seharian, terus terngiang satu hal di kepalaku: 'Aku jadi ingin mati'.

(Kathrina Irene)

J DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang