BAB 7

32 11 12
                                    

♡⃝ Ԋαρρყ ɾҽαԃιɳɠ◡̈ ☽⋆

Sebenarnya pagi tadi Rafa melihat ada sesuatu di atas meja belajarnya. Namun, ia tidak berniat melihat atau memeriksanya. Menghampiri meja belajar hanya untuk mengambil buku PR lalu memasukkan ke dalam tas. Itu saja sebab Rafa bangun sedikit kesiangan jadi ia terburu-buru.

Hari ini Rafa pulang sekolah langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah tidak ada siapapun. Pakde Bima dan Bude Tira bekerja di sebuah restoran milik teman mereka yang tak jauh dari rumah. Mereka akan pulang sekitar pukul empat sore setelah restoran ditutup.

Rafa melempar tasnya asal lalu mendudukkan diri di kursi belajar. Sejenak ia memejamkan mata, menikmati rasa lelah pada otaknya yang hari ini terkuras habis. Tak lama kemudian ia membuka mata kembali dan tatapannya langsung tertuju ke arah kantong kresek warna hitam yang mencetak kotak persegi. Tidak ingin merasa penasaran Rafa segera membuka isi dari benda tersebut.

Matanya membulat saat melihat sepatu yang diinginkannya beberapa hari lalu berada di atas meja belajarnya. Ia tahu siapa yang membelikan ini. Namun, untuk sekedar mengucapkan kata 'terimakasih' sedikit sulit untuk Rafa ucapkan pada Kakaknya itu. Rafa akui selama ini Arzan sangat baik padanya, tetapi hati Rafa sendiri sudah tertutupi oleh kebencian.

Rafa tahu ia bukanlah adik yang baik. Ia sadar di sini posisinya adalah orang yang sangat jahat bagi Kakaknya sendiri, tapi ia berusaha tidak peduli. Ia masih belum bisa menerima semuanya.

□■□■□

"Eh, ada Dek Ayra yang cantik jelita mempesona. Ke sini mau ngapelin Bang Kapri, ya?" tanya Bang Kapri genit pada Ayra yang baru saja turun dari motor Arzan. Untuk ke sekian kalinya Ayra mengekori Arzan ke tempat kerja dengan berbagai macam alasan.

Ayra bergidik melihat Bang Kapri mengedipkan sebelah matanya. Seketika bulu kuduknya meremang semua. Sudah seperti saat ia melihat pocong di siang bolong.

"Arzan!" teriak Ayra kencang, mengabaikan Bang Kapri yang masih nyerocos dengan gombalannya. Gadis itu juga tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang tertuju ke arahnya.

Setelah memarkirkan vespa kesayangannya Arzan segera menghampiri Ayra dan mengajak sahabatnya itu duduk. Jika Ayra dibiarkan berdiri di sana lama-lama Arzan sendiri yang susah. Ia akan banyak menanggung rasa malu.

"Duduk. Diem di sini nggak usah bawel. Kalau bawel silakan angkat kaki dari sini," ucap Arzan. Sedikit memberi peringatan pada Ayra agar dirinya tidak terus menerus menanggung malu.

Ayra berdecak. "Nggak asyik lo, Ar," kesalnya.

"Gue emang di sini mau kerja bukan mau asyik-asyikan." Arzan menampilkan raut muka yang membuat Ayra ingin menampolnya detik itu juga.

"Sekali-kali lo libur dong. Temenin gue jalan-jalan. Bosen, nih pengin keluar, tapi nggak ada temen," curhat Ayra dengan kakinya yang menendang-nendang udara di depannya.

Arzan tertawa. "Salah siapa nggak punya temen."

"Dih lo juga. Ngaca woy!"

Arzan menghentikan tawanya. Ia menatap Ayra sejenak lalu berkata," Udah, ah gue tinggal dulu. Biar cepet kelar kerjaan gue."

"Ngoghey," balas Ayra.

Setelah itu Arzan mengganti pakaiannya dengan pakaian santai yang biasa dikenakannya di rumah. Tak ingin membuat yang lain menunggu Arzan segera bergabung dengan dua seniornya dalam cuci mencuci motor.

Always There For You (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang