BAB 2

74 15 36
                                    

"Lo beruntung masih punya orang tua yang bisa nasihatin lo, marahin lo, ingetin lo tentang hal-hal kecil, dan lain sebagainya yang gue nggak bisa rasain." — Arzan Ravindra



♡⃝ Ԋαρρყ ɾҽαԃιɳɠ ◡̈ ☽⋆

Tiada hari tanpa perdebatan antara Arzan dan Rafa. Sebenarnya Arzan lebih suka mengalah terhadap adiknya itu. Namun, terkadang sifat buruk Rafa akan semakin menjadi jika Arzan biarkan. Seperti tadi pagi selepas sarapan. Anak bandel yang sayangnya adik dari seorang Arzan Ravindra itu dengan sengaja menggebrak meja makan hingga menyebabkan dua piring pecah menjadi beberapa kepingan.

Bukan tidak ada sebab Rafa bertindak seperti itu. Rafa memanglah remaja yang masih labil. Dinasihati sedikit saja kemarahannya langsung memuncak padahal tujuan Arzan itu baik, agar Rafa berhenti bermain-main di warnet setelah pulang sekolah.

Arzan ingat. Sangat ingat wajah memerah yang penuh emosi dan menatapnya benci. Namun, Arzan sampai kapanpun tidak akan pernah balik membenci Rafa sebab almarhum orang tuanya pasti akan kecewa jika ia tidak bisa mendidik dan merawat Rafa dengan baik.

"Ayah, Bunda maafin Arzan belum bisa jadi Kakak yang baik buat Rafa," lirih Arzan sembari menatap lama bolpoin yang dipegangnya.

Saat ini kelas masih sepi. Arzan adalah orang pertama yang tiba di kelas XI-IPA 2. Ia memang sengaja berangkat pagi karena buku biologinya tertinggal di kolong meja. Hari ini ada ulangan biologi dan Arzan belum belajar sedikitpun. Alasannya karena rasa kantuk dan lelah yang menyerangnya.

Bagaimana Arzan tidak lelah jika setiap hari aktivitasnya berangkat sekolah, belajar, lalu bekerja hingga petang kemudian jika ada pekerjaan rumah ia masih harus mengerjakannya terlebih dahulu sebelum tidur. Belum lagi jika pekerjaan rumahnya itu sulit pasti akan membuat Arzan begadang dan kurang tidur.

"Pagi," sapa Ayra lesu. Gadis itu terlihat seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup. Berjalan saja terlihat seperti dipaksakan.

Arzan mengalihkan atensinya dari pulpen ke Ayra. "Pagi," balasnya.

Ayra mendudukkan dirinya di kursi samping Arzan lalu menelungkupkan wajah di antara lipatan tangannya. Semua hal yang dilakukan gadis itu tidak luput sedikit pun dari penglihatan Arzan.

"Kenapa?" tanya Arzan lembut.

Jika di antara teman-temannya yang lain Arzan dikenal sebagai anak pintar yang sedikit pemalu dan sedikit bicara, maka jika bersama Ayra akan sangat berbeda. Ayra itu bagi Arzan istimewa. Dia satu-satunya orang yang mau berteman dengan Arzan tanpa melihat latar belakangnya seperti apa. Semakin lama mengenal Ayra semakin besar pula rasa sayang dan cintanya terhadap gadis itu.

Ayra memberengut kesal. "Lagi males sama Mama. Masa gue disuruh belajar terus, sih dari kemarin. Padahal gue, kan juga pengin nyantai gitu main HP sama nonton drakor," curhatnya.

"Lo tau, kan, Ar gue orangnya gimana? Gue tuh nggak bisa kalau belajar dipaksain. Pasti jadinya sia-sia, nggak ada yang masuk ke otak." Ayra membuang napas kasar.

"Lo beruntung," kata Arzan yang tidak dimengerti oleh Ayra.

Beruntung? Beruntung dari mana coba? Ayra kesal dan ingin pergi dari rumah rasanya saat Mamanya itu terus menyuruh belajar.

Always There For You (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang