BAB 12

21 7 8
                                    

"Gue tau lo orangnya pekerja keras, tapi kesehatan lo jauh lebih penting." — Ayra Kaesa



♡⃝ Ԋαρρყ ɾҽαԃιɳɠ◡̈ ☽⋆

Tak biasanya Arzan melamun saat jam pelajaran seperti ini. Apalagi sekarang jam pelajaran terakhir yang biasanya membuat laki-laki itu bersemangat karena bisa segera keluar dari gedung sekolah. Ayra yang duduk di samping laki-laki itu sedari tadi menatap Arzan bingung.

"Ar," bisik Ayra lirih pada Arzan. Matanya melirik sekilas ke depan untuk memastikan guru yang sedang mengajar tidak memergokinya mengobrol saat sang guru tengah menjelaskan materi.

Merasa tidak ada respon dari Arzan, Ayra pun mencubit kecil lengan laki-laki itu.

Arzan yang mendapat cubitan kecil dari Ayra langsung meringis dan tersadar dari lamunannya. Sedari tadi Arzan memikirkan tentang Malik yang sebenarnya memiliki perasaan terhadap Ayra. Dari situ Arzan berpikir bahwa perasaan Malik tidak akan pernah terbalas sedikitpun, sama seperti dirinya sebab Arzan tahu betul siapa laki-laki yang disukai sahabatnya itu.

Dari cara menatap Ayra, Arzan mengetahui bahwa hanya Gandy-lah yang mendapat tatapan berbeda. Istilah lainnya laki-laki itu spesial bagi Ayra. Terbukti Ayra selalu mengembangkan senyumnya saat menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan Gandy.

"Lo kenapa, sih?" tanya Ayra berbisik. Suaranya pelan sekali. Namun, Arzan masih dapat mendengarnya.

"Nggak papa," balas Arzan.

Ayra memutar bola matanya malas dan hal itu tidak luput dari penglihatan Arzan.

Pantes aja banyak yang suka sama lo. Ternyata lo cantik banget, Ay, kata Arzan dalam hati.

Ingin rasanya Arzan mengungkapkan isi hatinya pada gadis itu. Namun, ia tahu bahwa semuanya pasti akan sia-sia. Sudah jelas Ayra telah menyukai laki-laki lain. Jadi Arzan sudah tidak memiliki harapan lagi bukan? Menyedihkan? Ya, nasib Arzan memang selalu begitu.

□■□■□

"Makasih, Raf. Burger-nya enak banget. Aku jarang makan makanan kaya gitu." Rion tersenyum senang hingga membuat Rafa ikut menarik sudut bibirnya ke atas.

"Iya, Raf makasih," ujar ketiga temannya yang lain bersamaan.

Rafa mengangguk. "Sama-sama. Ya udah yuk ke warnet. Aku bayarin, deh," katanya semangat.

"Raf kamu lagi berlimpah uang, ya, kok hari ini bisa traktir kita semua?" tanya Jeje sambil menatap Rafa.

Rafa yang ditatap seperti itu hanya bisa menampilkan senyum paksa. Ada hal yang ia sembunyikan, tetapi teman-temannya tidak boleh ada yang tahu.

"Iya aku lagi kejatuhan uang." Rafa melangkah mendahului teman-temannya.

Tak lama kemudian keempat teman Rafa mengikutiinya dari belakang. Mereka saling tatap satu sama lain, tapi setelahnya mereka kembali berjalan dengan menatap ke depan.

Tidak butuh waktu lama dengan berjalan mereka telah sampai di warnet, tempat biasa mereka bermain game. Rafa tersenyum pada keempat temannya lalu menyuruh mereka untuk masuk terlebih dahulu kemudian barulah ia menyusul masuk ke dalam tempat yang sedikit ramai itu.

Bagi kelima anak SMP itu bermain game di warnet adalah hal yang menyenangkan. Mereka bisa bermain sambil tertawa meskipun terkadang akan mendapat teguran dari pengunjung lain.

Mereka memang anak-anak yang hidup dalam lingkungan sederhana tanpa ada ponsel ataupun komputer di rumah. Mereka masih seperti anak pedesaan yang suka berkumpul bersama untuk sekedar bermain. Tidak seperti anak kota pada umumnya yang setiap kegiatannya tidak bisa terlepas dari ponsel.

Always There For You (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang