O9. JALUR KERETA API

2.3K 328 8
                                    

Chanhee meletekan kepalanya di atas sebuah rel kereta. Perlahan, indra pendengaran pemuda tersebut sayup mendengar suara kereta yang semakin mendekat kearahnya. Dia tidak ingin melakukan ini, tetapi dia hilang kendali atas tubuhnya sendiri saat seorang anak laki-laki datang menghampirinya dan menyuruhnya melakukannya. Semua tubuhnya bergerak tanpa kehendaknya, seperti seluruh tubuhnya tersebut memiliki jalan pemikirannya sendiri. Chanhee tahu, dia tengah menghadapi kematiannya sendiri saat ini dan dia tidak bisa menghindarinya sama sekali. Dia bahkan tidak dapat mengedipkan kedua matanya. Matanya hanya dapat melihat pada kereta yang semakin lama semakin membesar dipengelihatannya.

Chanhee bahkan tidak mampu untuk menutup kedua matanya ketika kereta tersebut melintas melewati kepalanya, melindas dengan mudah kepala pemuda tersebut.

Chanhee mati saat itu juga.

1 tahun dan 7 bulan sebelumnya

Jaemin didorong dengan cukup keras pada sebuah tembok di belakangnya. Chanhee memberikan pukulan lainnya ke wajah pemuda di depannya tersebut. Jaemin bahkan tidak bisa melihat pukulan tersebut datang kepadanya karena kacamatanya telah jatuh ke lantai. "Lo tau? Gue benci homo kaya lo!" ucap Chanhee dan menendang tepat dengan cukup keras pada perut Jaemin. Chanhee kemudian melihat pada kacamata Jaemin yang tergeletak pada lantai dan menginjak pada benda tersebut hingga hancur. Chanhee Kembali tertawa lalu meninggalkan Jaemin yang terbaring penuh luka disana.

Jaemin terbangun dan bangkit dari kasur perlahan. Manik matanya menangkap jam dinding yang tengah menunjukkan pukul 11 malam. Dia masih berada di rumah Jeno. Dia harus pulang. Jaemin akhir-akhir ini hampir setiap hari selalu pulang larut dan membuat orang tuanya mulai bertanya dan khawatir pada Jaemin. Jaemin tidak pernah menjawab pertanyaan orang tuanya ketika mereka bertanya darimana dan apa yang pemuda tersebut lakukan. Setiap dia tiba di rumah, Jaemin hanya berjalan begitu saja langsung menuju kamarnya, mengabaikan kedua orangtuanya yang bertanya pada pemuda tersebut. Keduanya berpikir Jaemin masih mengalami post-traumatic. Mereka tidak tahu, kalau Jaemin hanya tidak peduli. Jaemin tidak bisa peduli. Bagaimana bisa dia peduli jika dia sudah tidak memiliki jiwanya sejak awal. Sesungguhnya, Jeno yang menyimpan jiwanya merupakan ide bagus untuk Jaemin. Jaemin tidak bisa berpikir dapat mengendalikannya jika dia memiliki jiwanya. Dia pasti akan hancur dan menjadi gila.

Jaemin mengambil pakaiannya. "Sudah mau pergi?" Jaemin mendengar Jeno bertanya entah dari darimana.

"Iya," jawabnya singkat.

Jeno bangkit dan duduk di kasurnya dengan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Mereka "melakukannya" lagi setelah kematian ketiga beberapa jam yang lalu. Di sekolah, semuanya tengah mengalami ketakutan atas kasus bunuh diri yang telah terjadi beberapa waktu belakangan. Khususnya siswa kelas tiga. Karena, kasus bunuh diri tersebut terjadi di sekitar mereka. Mereka belum menyadari bahwa mereka yang telah mati merupakan teman sekelas Jaemin pada tahun pertama. Karena begitu mereka naik ke kelas yang lebih tinggi, mereka terpisah ke beberapa kelas yang berbeda hingga mereka di kelas tiga. Namun sesegera mungkin, mereka akan menyadari polanya. Oh, mereka semua bisa menyelesaikan matematika dengan baik dengan otak cerdas mereka itu.

"Come Here," Jeno memanggil Jaemin seraya meregangkan tangannya ke arah Jaemin yang bersiap untuk pergi.

Jaemin menyondongkan tubuhnya ke arah Jeno. Jeno tiba-tiba meraih tangan Jaemin, menariknya kembali ke kasur dan menjepit tubuh Jaemin ke kasur dengan tubuhnya. Jaemin bisa dengan sangat jelas melihat tubuh telanjang Jeno karena selimut sudah tidak lagi menutup tubuh atletis tersebut.

"Kenapa?" tanya Jaemin cuek.

Jeno tersenyum dan tertawa kecil. "Aku hanya ingin sedikit waktu lebih untuk memandangi wajahmu," ucap Jeno

"Lo mau nyoba jadi romantis?" tanya Jaemin.

"Apa aku jadi romantis?" Jeno menjawab dengan pertanyaan lainnya.

Jaemin hanya menghela nafasnya dan membuang muka, membiarkan Jeno melakukan apa yang ingin dilakukannya. Tidak ada gunanya berdebat dengan iblis di depannya ini. Jeno kemudian menahan wajah Jaemin, menariknya perlahan ke arah wajahnya. Jeno menatap intense tepat pada kedua matanya Jaemin. Jeno lalu secara lembut mencium bibir Jaemin. Mereka saling bertukar lumatan sejenak. Jaemin yang merasa dirinya kalah dalam ciuman tersebut menutup kedua matanya. Ketika dia membuka matanya kembali saat ciuman tersebut berakhir, dia melihat Jeno memandangnya seperti tatapan seorang predator pada mangsanya. Pada saat itu, tiba-tiba mata Jeno bola matanya berubah menjadi vertical, dengan warna merah tajam dan bersinar. Jaemin merasa takut. Dia terkejut melihat bentuk mata itu untuk pertama kalinya.

"J-Jen?" panggilnya, merasa keringat dingin mengalir deras di dahinya.

"Kamu takut padaku?" tanya Jeno pada Jaemin dengan suaranya yang berubah dan lebih terdengar seperti geraman bercampur dengan bisikan. Dia terlihat seperti gadis yang kerasukan di film Exorcist. Hanya saja, dia lebih menyeramkan. Jeno kemudian menyunggingkan senyum iblisnya dan membiarkan tubuh gemetar Jaemin diatas kasur. Berjalan dalam diam menuju kamar mandi.

"PERGI!" Jeno berteriak pada Jaemin.

"PERGI! SEKARANG!" perintahnya dengan suara yang masih terdengar mengerikan.

Jaemin tidak akan melewatkan kesempatan ini. Dia buru-buru bangkit dari kasur dan berlari kearah pintu kamar tersebut. Dia berlari terburu-buru menuruni tangga dan merasa sangat lega ketika dia berhasil melewati pintu depan rumah tersebut.

Dia membanting keras pintu tersebut dan berlari kecil ke trotoar. Jaemin kembali melihat ke rumah tersebut dan kembali terfokus pada trotoar. Dia tau, dia tidak lagi merasa takut. Tidak lagi bergemetar. Mungkin karena dia sudah berada cukup jauh dari Jeno sekarang. Berarti, dia berada cukup jauh dari jiwanya.

Lalu, Jaemin berjalan dengan tenang menuju rumahnya.


✴️✴️✴️ To Be Continued ✴️✴️✴️

The Demon Lovers ( Jeno + Jaemin )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang