O6. A Charlatan

4.2K 561 20
                                    

Berita mengenai kematian Yeji menyebar seperti virus mematikan ke setiap penjuru sekolah. Setiap orang pasti akan terkejut dengan kabar mendadak seperti ini. Karena kasus bunuh diri sangat jarang terjadi, khususnya di kota kecil seperti ini.

Sebagai belasungkawa terhadap kematian Yeji, bunga mawar dan beberapa bunga lainnya diletakkan disisi locker Yeji. Beberapa lilin juga ikut dinyalakan. Suasana suram yang menyelimuti sekolah itu semakin didukung dengan hujan deras yang turun sejak pagi.

"Lucu banget," pikir Jaemin.

Jaemin berpikir, Yeji tidak pernah terlihat mempunyai banyak teman selama dia hidup, jika dibandingkan dengan banyaknya orang-orang yang meletakkan bunga-bunga itu di lokernya.

"Kayanya, lo cuma bakal punya banyak teman saat lo mati. What's a beautiful tragedy," pikir Jaemin selagi tersenyum merendahkan pada orang-orang di depannya saat ini.

Ditengah suasana duka yang menyelimuti warga sekolah saat ini, Jaemin berjalan seperti hari normal biasanya. Jaemin tidak bisa memahami kesedihan orang-orang tersebut atas sebuah kematian. Jaemin tidak bisa seperti mereka. Dia tidak merasakan apapun di dalam sana. Tapi tentunya, di saat-saat tertentu, Jaemin harus bersikap seolah dia bisa merasakan sesuatu. Merasakan apa yang orang lain rasakan. Tapi sebenarnya, dia tidak merasakan apapun.

Jaemin berjalan melewati Jeno yang berjalan menuju kelas lain. Jeno satu-satunya yang dapat Jaemin mengerti saat ini, begitupun sebaliknya. Mereka tidak peduli pada kematian Yeji. Tentu, mereka penyebab kematian gadis tersebut sebagai informasi jika kalian lupa. Mereka saling bertukar pandangan satu sama lain dan beberapa detik kemudian, senyuman dari wajah Jeno membuat jantung Jaemin kembali berpacu. Dan dia dapat mendengar suara Jeno di dalam kepalanya, berbisik pelan, "tubuh kamu terasa sangat nikmat tadi malam." Kedua pipi Jaemin bersemu ketika dia mendengarkan ucapan Jeno tersebut di dalam kepalanya.

"Terkutuklah kedua mata dan senyuman menawan iblis terkutuk itu," serapah Jaemin pelan.

Beberapa menit kemudian, Jaemin melihat Julia berdiri di sisi samping loker Yeji dan terus menangis tanpa henti. Ya, Yeji adalah sahabatnya. Jaemin mencoba berpikir keras dalam kepalanya kenapa Julia sangat merasa kehilangan atas kematian Yeji.

"Bukannya dia punya banyak teman lainnya?"

Kehidupan Julia akan terasa sepi setelah ini, mungkin. Tapi Jaemin tidak bisa merasakannya. Jaemin tidak mungkin bersikap acuh atas apa yang terjadi dan pemuda tersebut berpikir, setidaknya dia harus bersikap seolah-olah peduli pada apa yang tengah terjadi saat ini.

Jaemin berjalan lurus ke Julia dan memeluk gadis tersebut. Dan Julia langsung menangis pada lengan Jaemin.

"Gue ga ngerti. Kenapa dia harus bunuh diri sih. Kenapa??" gumam Julia di lengan Jaemin, sesekali diiringi senggukan disana. Jaemin tidak memberikan reaksi pada gumaman Julia tersebut selain terus mengusap pelan kepala Julia beberapa kali. Mencoba meniru seseorang yang tengah menenangkan temannya. Tetapi di sudut bibirnya, Jaemin tidak bisa menahan untuk tidak menyunggingkan sebuah senyuman licik disana.

✴️✴️✴️

Waktunya makan siang.

Waktunya semua pintu neraka terbuka lebar dan semua akan keluar mengerumuni dosa-dosa demi memuaskan rasa rakus mereka. Ketika dia berjalan memasuki kafetaria, Jaemin memperhatikan semua orang di dalam sana. Dan hampir semua orang disana, Jaemin dapat mengenalinya. Semua teman sekelasnya yang sekarang telah berada di tahun ketiga memperhatikan Jaemin yang berjalan melewati mereka. Saling berbisik satu sama lain, melontarkan kata-kata yang diacuhkan Jaemin begitu saja. Pemuda tersebut duduk sebuah meja kosong sendirian. Dari posisinya sekarang, Jaemin bisa merasakan ketakutan dari mereka. Jaemin mengulum pelan senyumnya, menyembunyikan rasa puas atas rasa takut yang mereka keluarkan.

Jaemin melihat Hyunjin dan gengnya, berjarak beberapa meja dari mejanya saat ini. Mereka buru-buru mengalihkan wajah mereka begitu menyadari Jaemin membalas tatapan mereka.

"Look who's afraid now," batin Jaemin.

Tiba-tiba saja, Jaemin merasakan kehadiran seseorang di dekat mejanya. Jaemin mengangkat kepalanya, melihat pada seseorang tersebut, dan tentunya Jaemin mengenali wajah tersebut. Itu Sanha. Pemuda yang cukup baik dan tentunya dia merupakan seseorang yang dulu juga merupakan bagian dari siswa tahun pertamanya dulu.

"Selamat, Jaemin! Lo akhirnya bisa nunjukin ke Hyunjin siapa lo sebenernya!" ujar Sanha semangat memberikan selamat pada Jaemin. Dan Jaemin merasa tidak nyaman atas ucapan Sanha tersebut. Sanha membahas insiden kemarin, dimana Jaemin melawan balik Hyunjin.

Jaemin melihat kedalam hati Sanha. Hatinya telah ternodai.

Jaemin tersenyum pada Sanha dan bertanya, "Beneran?". Sanha tidak bisa melihat kebencian dibalik matanya.

"Beneranlah! Lo tau kan gimana gue selalu ada buat lo? Gimana kabar lo sekarang? Gue denger lo kehilangan sebagian ingatan lo? Itu bener?" tanyanya, terdengar seperti Sanha khawatir pada Jaemin. Nyatanya tidak, dia penipu. Seorang yang munafik.

Jaemin meletakan sendoknya dan memperhatikan Sanha. Dia melihat tajam ke dalam mata Sanha.

"Sanha," panggilnya sambil menyunggingkan senyum jahatnya. "Lo yang selanjutnya," lanjutnya dengan nada suara yang terdengar sangat jahat, diiringi dengan kebencian di matanya. Ucapannya seperti sebuah kutukan. Terdengar seperti Jaemin tengah menyumpahi Sanha akan menemui ajalnya. Sanha terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Jaemin. Sanha bertanya-tanya atas apa yang diucapkan Jaemin. Ucapanya tidak selaras dengan senyumannya sebelumnya. Dan kini, kedua mata Jaemin terlihat sangat menakutkan, bahkan Sanha mulai merasakan sendi-sendi pada tubuhnya melemas.

Sanha perlahan bangkit dari kursi disebelah Jaemin dan keluar dari kafetaria dengan wajah yang sedikit ketakutan. Melewati Jeno yang berada di pintu masuk.

Jeno masuk ke dalam pintu masuk dan berjalan lurus ke tempat dimana Jaemin berada. "Hey," sapa Jeno pada Jaemin.

"Iya kenapa?" balas Jaemin.

"Udah ketemu seseorang buat hari ini?" tanya Jeno santai, seolah bertanya mengenai seseorang yang akan diajak kencan, padahal yang dimaksud Jeno adalah korban mereka selanjutnya.

Jaemin hanya tersenyum dan menjawab, "Ya," dengan kedua alis yang sedikit naik.

Jeno ikut tersenyum. "Well, I'm anticipating the payment," ucap Jeno pada Jaemin melalui pikirannya.

Pipi Jaemin bersemu ketika dia terkekeh pelan mendengar ucapan Jeno. "Apa lo selalu sange kaya gini?"

"Setiap waktu."

"Kenapa gitu?"

"Karena Jaemin, kamu favoritku sejauh ini."

"Sejauh ini?"

"Ya, sejak kehidupan manusia dimulai, kamu yang paling menarik."

"Well, Gue tersanjung kalau begitu."

✴️✴️✴️ To Be Continued ✴️✴️✴️

The Demon Lovers ( Jeno + Jaemin )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang