05. Camer Galak

63 9 18
                                    

Hari sudah sedikit gelap, 9 orang manusia berkumpul di ruang keluarga karena ruang tamu kekurangan sofa untuk duduk.

Aneh memang, tapi ruang keluarga mereka  lebih luas dibandingkan ruang tamu karena jarang menerima tamu, jika ada pun hanya 2 atau 4 orang saja.

Cakranala siblings minus Kalia duduk di atas 1 sofa panjang, di sebelah sofa tersebut terdapat sofa single yang diisi oleh mama. Kalia dan ketiga gadis yang menjadi tamu duduk di sofa panjang yang berhadapan dengan sofa yang dihuni ketiga kakak beradik yang sedang disidang.

Papa berdiri membelakangi keempat gadis, seraya bersedekap menatap ketiga anak lelakinya, meminta penjelasan.

"Shula tadi yang dateng ke sini, nggak ada maksud apa-apa, cuma mau—" Kala menatap Shula yang sedikit terlihat disamping kaki papa, "—ketemu," lanjut Kala.

Shula melotot panik, seumur-umur dia mengenal Kala, belum pernah ia melihat orangtua Kala, ternyata calon papa mertuanya lumayan galak, pikir Shula.

"Shula yang mana?" tanya papa.

Shula sedikit mengangkat tangannya. "Saya Om," ujar Shula gugup.

"Kamu temennya Kala?" tanya papa.

"Iya Om." Shula merasa dirinya sedang disekap oleh om-om gila yang akan menjual dirinya di dark web, Shula menggeleng, memikirkannya saja sudah merinding.

"Kenapa nggak izin?" tanya papa lagi pada Kala.

Kala mengembuskan napas. "Belum sempet, Pa." Kala berusaha tenang.

Papa manggut-manggut. "Terus 2 orang lagi siapa?" Papa beralih menatap Hendery dan Keenan.

Keenan berdehem. "Itu yang duduk disebelah Lia, namanya Rea, temen kampus aku, Pa. Tadi ke sini cuma mau pinjem buku aja, belum sempet izin, baru aja dateng," ujar Keenan.

Sebenarnya mereka semua bohong perihal belum sempat izin, mereka bahkan tidak ada niat untuk izin karena menganggap itu terlalu ribet, selama ini mereka juga tidak pernah menaati peraturan itu. Toh mereka tidak akan macam-macam, lebih tepatnya, tidak berani macam-macam.

Lagian konsep izin yang papa maksud adalah, izin terlebih dahulu baru datang ke rumah, bukan malah sebaliknya.

"Satunya lagi siapa yang bawa? Kamu?" Papa menatap tajam Hendery.

Hendery menelan salivanya, lalu mengangguk.

"Temen kamu juga? Nggak sempet izin juga? Cuma mau main juga? Atau pinjem buku juga?!" desis papa.

Hendery menggeleng. "Bener sih nggak sempet izin, kan tadi nebeng mobil Abang, jadi datengnya juga bareng, tapi dia bukan temen, bukan mau main, bukan mau pinjem buku juga," ucap Hendery pelan sambil menunduk.

Ashana rasanya ingin menghilang dari dunia ini sekarang juga, ia merasa tidak enak membuat Hendery dalam masalah hanya karena menolongnya.

Ashana berkontak mata dengan Hendery, ia bicara maaf tanpa suara, Hendery tersenyum kecil sambil menggeleng.

"Kalo bukan temen, kok dia bisa disini sekarang?"

"Aku lagi nolong dia, tapi papa nggak perlu tau aku nolong apa," ucap Hendery.

Ashana lega, untung Hendery tidak menceritakan kejadian memalukan yang ia alami tadi.

Papa terlihat memijit pelipisnya lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Ya udah, udah Maghrib juga, pada makan dulu aja disini," ujar papa lalu berjalan menuju kamar.

Semua orang di ruang keluarga bernapas lega, akhirnya sesi tanya jawab terselesaikan.

Ashana dan Shula merasa sangat bersalah, Shula merasa bersalah karena tidak tau dengan peraturan keluarga Kala yang membuat dia asal datang tanpa izin terlebih dahulu.

Doesn't Feel Like HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang