13. Suara hati Keenan

35 8 15
                                    

Cowok berkaos hitam itu sedang berkutat dengan tugas-tugasnya. Gadis di hadapannya pun melakukan hal serupa.

Mereka sudah duduk di cafe ini selama hampir satu jam, namun tidak ada yang membuka suara karena fokus dengan tugas yang menumpuk.

Keenan merentangkan tangannya lebar-lebar guna meregangkan badannya. Duduk sambil menatap layar laptop dengan waktu yang tidak sebentar cukup membuat leher dan punggungnya terasa sakit.

"Nggak pesen minum, Re?"

Gadis yang masih sibuk dengan bukunya menggeleng samar. Ia membolak-balik lembaran kertas dan sibuk mencatat sesuatu. Benar-benar hari yang sibuk.

Keenan bisa aja sih, menuntaskan semua tugasnya sebelum liburan, agar bisa ikut liburan dengan santai tanpa tugas menghantui.

Tapi dia tidak mau, dia sengaja menyisakan tugasnya agar ada alasan untuk tetap berada di kamar saat liburan nanti.

Ia tidak berbohong soal banyak tugas, tapi dia juga memakai itu sebagai senjata agar tidak perlu ikut. Tapi karena adik-adiknya membujuknya, Keenan akan ikut, namun tugas-tugasnya pun ikut serta.

"Re, saya boleh tanya sesuatu?"

Rea mengalihkan fokusnya sambil menaikkan alis. "Boleh. Ada apa?"

"Tapi ini agak menyinggung dan mungkin nggak sopan."

"Nggak papa. Tanya aja."

"Mama kamu meninggal sejak kapan, ya?" tanya Keenan dengan kikuk.

Rea terlihat berpikir sebentar. "Sekitar setahun lalu," jawabnya enteng tanpa beban.

Rea terlihat biasa saja, Keenan udah ketar-ketir karena takut menyinggung atau bikin mood gadis itu menjadi buruk.

Rea melirik Keenan sebentar. "Karena serangan jantung."

Cewek itu meregangkan jari-jarinya hingga menimbulkan bunyi, terlalu lama menulis, jari-jarinya pegal dan sedikit kesemutan.

"My biggest heartbreak. Aku deket banget sama Mama, udah kayak temen sendiri. Pas dia pergi, rasanya ada sebagian dari hati aku yang hilang. Kedengerannya emang lebay, tapi itu yang aku rasain."

Keenan beranjak dari duduknya dan beralih ke sebelah Rea, untuk sekedar menepuk-nepuk kecil punggungnya, bermaksud menenangkannya.

"Saya nggak maksud bikin kamu keinget lagi. Maaf."

Rea menggeleng samar. "I'm fine. Waktu itu emang hancur banget, kuliah aja udah nggak semangat. Tapi aku udah nerima semuanya."

"Mama kamu sakit udah lama?" tanya Keenan hati-hati.

Rea mengangguk. "Salah satu alasan aku ambil kedokteran, pengen sembuhin Mama. Tapi belum juga lulus, Mama udah pergi."

Keenan prihatin. Kehilangan orang tersayang memang sangat sakit. Ia jadi berpikir, jika suatu saat dia kehilangan mama, apakah akan sehancur Rea? Secara, mama sudah memberinya luka.

Kalau dipikir-pikir, orangtuanya telah memberinya banyak luka, mungkin mereka tidak menyadarinya, atau mereka hanya belum tau jika Keenan mengetahui semuanya.

Dia 'sakit' sendirian. Hendery hanya mengetahui sebagian, dia belum tau semuanya. Jika suatu saat semua adiknya tau, Keenan ingin memeluk mereka semua dan menangis, mengeluarkan segala luka di hatinya di depan adik-adiknya lewat air mata tanpa malu.

Dia jadi makin ragu untuk ikut liburan, tapi dia sudah terlanjur bilang akan ikut.

Cowok itu terdiam, sedang berpikir alasan apa yang harus dia gunakan agar bisa tidak ikut pergi.

Doesn't Feel Like HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang