Jangan lupa vote di setiap chapter kauand❤️
Berjalan sendirian pada malam hari di sekitar komplek tidak begitu menakutkan buatku. Apalagi banyak tiang panjang berlampu menyoroti jalan yang membantu mentalku agar tidak membayangkan sosok sosok menyeramkan.
Aku sedang dalam perjalanan menuju indomaret, lumayan dekat dari rumah sehingga aku memilih berjalan kaki. Lagipula masih pukul tujuh, aku meyakinkan diri.
Sesampainya di Indomaret aku langsung membeli barang yang sudah kulist sebelumnya dirumah. Ibu memintaku untuk membelikan telur karena persediaan di rumah sudah habis, aku juga membeli banyak mie untuk ku konsumsi, aku pecinta mie garis keras.
Setelah dirasa barang yang ada di list telah masuk dalam keranjang aku berjalan ke kasir membayar yang kubeli. Aku memberikan uang senilai seratus ribu rupiah, si kasir menyebutkan kembali nominal uang yang kuberikan.
Saat kembaliannya ku ambil tiba tiba seorang cowok datang dari rak makanan memandangku sambil tersenyum lebar.
“Lah, kok lo disini?” tanyaku akrab. Aku sedikit kaget dengan keberadaanya disini.
Cowok tersebut lalu menggiringku keluar sambil menunduk seperti meminta meminta izin membawaku keluar pada seniornya disini.
Aku hanya pasrah.“Sejak kapan lo kerja disini?” tanyaku lagi setelah sampai diluar halaman indomaret. Kulihat dia agak kaget kutanya seperti itu.
Dia menghela nafas menipiskan bibir, “iseng doang Van, gue pengen kerja,” katanya klise.
“Gue tanya lo kapan mulai kerja disini?” ucapku lagi karena jawabannya tak sesuai dengan konteks pertanyaan yang kuucapkan.
“Seminggu yang lalu.”
“Lah, udah seminggu aja.”
“Hmm.”
“kok, gue gak pernah liat sih?”
“Kan lo gak ke sini.”
Ah, iya juga. Aku kan memang baru lagi datang ke indomaret setelah beberapa bulan tidak mengunjungi tempat perbelanjaan ini.
“Van kalo lo mau tanya tanya nanti aja deh di sekolah, senior gue udah manggil manggil tuh,” dia menunjuk salah satu kasir yang terlihat sedang melambaikan tangan ke arah cowok yang ada dihadapanku di dalam sana.
Sebenarnya aku ingin menanyakan semuanya sekarang, tentang alasan dia memilih indomaret menjadi tempat bekerjanya, tapi terlepas dari itu.
Aku hanya menganggukan kepalaku beberapa kali lalu menyuruhnya agar segera masuk. Takut menganggu pekerjaannya. Bisa bisa gajinya dipotong, dan dia akan menyalahkanku atas kejadian ini. Setelah dia masuk kembali, aku mulai berjalan menuju rumahku.
Ditengah jalan saat hampir sampai di rumahku, kira kira 3 rumah lagi. Aku dikejutkan dengan wanita paruh baya, dia bu Reti, tetanggaku yang memiliki tubuh yang dibilang lumayan besar.
Kata ibuku dia salah satu bosgeng di komplek ini. Dia akan maju duluan kalau ada acara acara komplek yang melibatkan warga didalamnya.
“Vanya, kamu jadikan bikin KTP?” tanyanya.
Aku bingung, kenapa bu Reti tau kalau aku ingin segera membuat KTP. Padahal aku tidak pernah membicarakan ini kepada siapapun kecuali ibu, ayah dan temanku Tina. Aku sendiri mencurigai Tina. Aku memberi tahunya kalau aku mau membuat KTP tapi masih bingung harus bagaimana dulu awalnya. Aku berpikiran Tina yang melakukan itu karna kutahu dia cukup akrab dengan bu Reti.
Aku tersenyum ramah, “Iya bu.”
“Yaudah bentar ibu bawa formulirnya dulu,” katanya masuk kedalam rumah lalu datang dengan kertas yang berjudul Formulir permohonan Kartu Tanda penduduk.
Aku berterimakasih menerimanya lalu pamit pada bu Reti. Akhirnya KTP akan segera ada di deretan kartu kartu pelajar di dompet milikku.
Kata bu Reti saat nanti pergi ke kecamatan aku harus membawa kartu keluarga dan kertas formulirnya untuk di poto yang nantinya akan dipajang di kartu penduduk itu.
Saat masuk rumah aku segera menemui ibu di dapur memberikan belanjaan yang kubelikan. Ibu sedang memasak mie goreng andalannya.
Aku duduk di kursi meja makan melihat ibu yang kini sedang memasukkan beberapa macam sayuran ke dalam mienya.
“Bu, bu Reti kok tau ya aku mau bikin KTP?” ucapku sambil membaca opsi opsi di kertas formulir. Ibu menghampiriku lalu mengambil alih kertas.
“Ayahmu kali yang ngomong. Tapi kenapa harus ke bu Reti ya.”
Jika aku berspekulasi bahwa Tini memberitahu bu Reti, ibu berspekulasi bahwa ayahku yang ngomong sama bu Reti tentang KTP ku ini. Kemungkinan besar sih, soalnya satu minggu yang lalu aku pernah mengobrol serius dengan ayahku waktu perjalanan menuju rumah.
Saat itu aku baru menemui nenek di jakarta. Di jalan sempat hujan, jadinya aku berhenti sejenak menunggu hujan reda. Akhirnya saat menunggu itu ayah mengajak ku berbicara.
Jujur, aku bukan anak yang terlalu dekat dengan ayah. Rasanya canggung bila harus mengobrol seperti ini, di rumahpun aku sangat sangat jarang mengobrol walaupun hanya sekedar mengobrol ringan.
“Kerja itu cape. Lihat bibi bibimu yang kerja, dikira nggak cape apa kerja.” Ayah menyalakan pemantik lalu kepulan asap yang keluar dari rokok mulai menyebar.
Aku tidak menjawab, menunggu perkataan ayah selanjutnya sambil memandangi jalan raya didepanku yang walaupun turun hujan pengendara masih nekad menjalankan kendaraannya. Tapi setelah kulihat lebih lama wajar kendaraannya masih melaju. Toh, mereka pakai mobil. Tidak akan kehujanan.
“kamu tuh harus gunain otak kamu, cari beasiswa. Biar biayanya ringan. Lihat saudara kamu lagi S2, kerja kantoran duitnya ngalir banyak. Ayah pengen kamu kayak gitu, nggak cape capean. Tapi pas lihat ibu kamu yang kayak gak ngedukung anaknya buat kuliah ayah jadi gak semangat buat cari uangnya. Ibu kamu tuh mikirin duit, duit, duit.”
Sebenarnya saat itu air mataku memaksa agar bisa turun dari tempatnya. tapi sebisa mungkin kutahan sambil merunduk. Malu kalau sampai dilihat bapak.
Aku masih bergeming, berharap hujan besar ini segera reda sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan kembali. Aku tidak mau jika harus terlibat obrolan serius yang membuatku harus menahan tangis.
“kalau mau kerja, buat surat lamaran kerja dari sekarang,” saran ayah.
“Aku belum buat KTP.”
Ayah sempat diam sebentar. Namun suaraku kecil, bisa jadi ia tidak mendengarkan apa yang aku ucapkan. Dia tidak lagi meneruskan obrolan, melainkan melangkah ke depan memastikan hujan sudah reda.
Merasa hujan sudah berhenti, aku dan ayahpun meneruskan kembali perjalanan pulang menuju rumah.
Dan ternyata mungkin waktu itu ayah mendengarkanku.Obrolan malam itu sekarang membuatku benar benar bingung dan berpikir.
Aku nggak sekaya mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Should We Run Away?
Teen FictionHaruskah kita kabur saja dari rasa dan sangka yang tak berbalas?