Vote and komennya jangan lupa!!!!!!~~~
Jalanan ini asing bagiku. Walau ramai, aku merasa sendirian.
Setelah turun dari kereta tadi, kami langsung berjalan pelan yang dituntun oleh Rico. Sepertinya dia tahu tempat ini.Aku berjalan berdampingan dengan Dinda. Tidak ada obrolan apapun. Sekalinya mengobrol itu pasti tentang mereka dan sekolahnya. Aku yang tidak tahu hanya menyimak tanpa ingin nimbrung sambil melihat pohon pohon besar di sepanjang jalan.
Sungguh semangat dan keantusiasanku memudar, terlihat dari cara berjalanku yang seperti malas melangkah.
Selanjutnya kami tiba di warung kecil, Tina dan teman temannya akan makan dulu karena tadi tidak sempat sarapan. Mereka berempat memesan nasi goreng.
“Lo mau pesen apa Van?” Tina bertanya. Mereka duduk di satu kursi panjang yang disediakan warung.
Aku melangkah keluar warung, duduk di kursi yang ada diluar. “Gue nggak ah. Nggak laper,” sahutku membuka handphone yang sepi notifikasi.
“Emang lo udah sarapan?” tanyanya lagi.
“Udah.” Jawabku berbohong. Gengsi karena feelingku padanya tiba tiba menghilang.
“Atau lo mau jajan. Dimas nih yang nganter,” lontarnya menunjuk dimas dengan dagu. Dimas bersiap berdiri.
Aku berjalan menghampiri kulkas, mengambil air mineral kemasan botol.
“Gue minum aja,” tolakku halus menggoyangkan botol bermaksud menunjukkan bahwa air ini sudah cukup.Dia baik sekali masih ingat dan mau menawariku untuk makan. Tapi tetap saja itu tidak mengenyahkan rasa kesalku padanya gara gara dia menyuruhku untuk pindah ke kursi penumpang lain. Tindakan itu sungguh membuatku ingin menghapus dia dari daftar temanku.
Aku jadi ingat teman yang satu sekolah denganku. Farel, Bela, Reva dan lainnya. Haruskah aku mengirimi mereka pesan? Berbicara bahwa aku sedang dongkol dengan kelakuan temanku.
Disini, rasanya aku tidak menjadi diriku, asing dan tak tersentuh. Padahal aku bisa jadi orang galak dihadapan Farel. Bawel dihadapan Bela. Dan menjadi orang yang bertanya tanya di depan Bagas.
Kangen mereka.
Jujur, perutku sebenarnya meronta ingin diisi. Tapi rasa lapar ini kalah dengan gengsi dan rasa jengkel yang sudah menyeruak di jiwaku. Alhasil aku hanya terus meminum air tak berperasa ini hingga habis.
“Kita mau kemana?” kudengar Tina bertanya pada Rico.
Rico melahap nasi goreng. Itu suapan terakhir karena kulihat piringnya sudah kosong. “Nanya mulu. Dari sini juga kelihatan kok tempatnya.” Rico menjauhkan piring lalu mengambil botol minum.
Sontak Tina meneliti keluar warung. “Jembatan warna ijo itu ya?” kepalanya bergerak gerak meneliti tempat bisa kulihat jelas di sini.
“Hmm,” gumam Rico mengiyakan setelah memasok air ke kerongkongannya.
Aku masih terdiam. Menunggu mereka selesai mengisi organ lunak dalam tubuhnya.
*****
“Fotoin gue dong. Yang bagus.”
“Gue juga, harus kelihatan kecil ya.”
“Nah disini bagus, harus keliatan jalannya ya.”
“Tina sini, foto berdua disini,” Rico mengajak Tina untuk mendatanginya dekat pohon yang daunnya berguguran.
Nama lokasinya masih belum kuketahui. Malas jika harus bertanya pada mereka yang sibuk berfoto ria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Should We Run Away?
Teen FictionHaruskah kita kabur saja dari rasa dan sangka yang tak berbalas?