Nggak akan bosen ngingetin buat vote <3
~~~
"Lo udah punya pacar belum?"
Oke, bukannya apa apa. Tapi haruskah kusebutkan beberapa alasan mengapa aku betah sendiri? Ini akan kusebutkan walaupun kalian tidak peduli.
Pertama, ayah dan ibu tidak mengizinkan. Bisa saja aku melanggarnya dan menjalani hubungan backstreet. Tapi menurutku larangan ayah ibu memang benar adanya, itu akan sangat membuang buang waktu, harus selalu ngabarin sana sini, belum lagi konflik gak jelas dengan ujung harus nahan cemburu, tidak bebas dan masih banyak lagi.
Selain itu, aku sedang menunggu seseorang yang dapat mengerti dan memandangku dengan spekulasi berbeda dari yang lain.
Semisal jika mereka mengatakan aku terlalu percaya diri, seseorang tersebut akan mengatakan bahwa aku orang yang tahu esensi mencintai diri sendiri.
"Apaan lo nanya gitu?" ketusku. Aku tahu dia hanya bercanda.
"Iya, barangkali lo mau gitu gue kenalin ke temen temen gue yang jomlo."
"Nggak. Sori gue gak butuh," jawabku angkuh.
Dia tertawa meremehkan. "nih gue tanya sama lo."
Ikbal mengambil beberapa snack dari kemasannya.
"Misalnya, orang yang lo suka nanya ke lo siapa yang lo suka, jawaban lo gimana?"
Aku mengernyit masih memahami pertanyaannya yang belibet. Cowok disebelah Ikbal sesekali melirikku. Mungkin ia ingin membuktikan betapa telminya seorang Devanya Haura.
"Itu elo, bego." Ucapku akhirnya setelah mencerna lama.
Ikbal bertepuk tangan ria, aku tidak tahu apa maksudnya itu.
"oke janji. Jawaban lo harus tetep gitu kalau nanti ada orang yang nanya kayak tadi."
"Lagian apa? Random banget pertanyaan lo," tanyaku agak penasaran.
Aku berpikir, "atau jangan jangan nanti elo lagi yang ngomong gitu ke gue."
"Pede amat neng," cibirnya.
"Bisa jadi temen di samping gue yang nanya gitu." Katanya menaik turunkan alis menyenggol lengan cowok yang tidak mengalihkan pandangannya dari handphone yang kutahu harganya mahal.
Yang disenggol tidak menanggapi. Aku semakin tidak yakin, masa iya Bian ngomong seperti itu padaku. kami kan tidak pernah mengobrol sebelumnya.
Farel datang dari ambang pintu kantin menuju arah kami. Tidak lupa dengan senyuman yang selalu ia tunjukkan. Aku sumringah, akhirnya Farel menyelamatkanku dari si aneh Ikbal.
"Bal pesenin dong." Perintahnya pada Ikbal. Ikbal mendadak nurut.
Dia langsung pergi ke stan penjual batagor. Padahal kemarin waktu diminta membuat pesanan untukku dia tidak mau.
Pilih kasih ternyata.
Cowok yang baru tiba ini menyenggol lenganku, kepalanya bergerak gerak mengarah kepada Bian. Dari raut mukanya, sepertinya dia ingin aku melakukan sesuatu.
Ah iya, aku baru ingat. Aku harus berterimakasih kepada Bian. Dia kan yang membantuku agar bisa kerja di kafe pamannya.
Aku berdehem memberanikan diri. Ini kesannya seperti aku takut pada Bian. Ini bukan takut, ini karena aku cemas.
"Bian, makasih ya lo udah mau bantuin gue." Ucapku agak kikuk.
Kepalanya mengangkat, mengalihkan pandangannya dari ponsel, "oke." responsnya singkat.
Lalu kembali menjatuhkan kembali matanya pada layar hp.
KAMU SEDANG MEMBACA
Should We Run Away?
Teen FictionHaruskah kita kabur saja dari rasa dan sangka yang tak berbalas?