chap 4

17 6 0
                                    

VOTEEE gaisssss❤️

~~~~


Sebetulnya aku bukan perempuan yang dibolehkan bermain bebas oleh kedua orang tuaku. Apalagi sampai harus berteman dengan laki laki. Apalagi sampai pada tahap pada hubungan lebih dari sekedar teman. Sejak kecil oleh ayah, aku tidak diperbolehkan main dengan teman temanku di rumah mereka. Kalau mau main dirumah saja katanya.

Meski demikian, ketika ayah berangkat kerja, dan hanya ada ibu di rumah. Aku jadi bisa bermain bebas kemana saja. Ibu selalu membolehkanku bermain asal tidak terlalu lama dan jangan sampai terlambat pulang. Pokoknya aku harus mendahului ayah. 

Waktu sd aku tinggal di sebuah perkampungan, jadi setiap sore aku aku bermain kejar kejaran di sawah dengan teman teman sebayaku. Masa anak anak adalah yang paling menyenangkan karena kita belum berpikiran bahwa dewasa itu ternyata menyulitkan.

Itu jika kita tidak menerima kehidupan, dan tidak pandai bersyukur, dikutip dari ibuku. Hehe.

Tapi dengan beraninya Farel mengetuk pintu rumahku dan mengajakku keliling Bandung. Itu awal mula Ibu bisa menerima kehadiran seorang lelaki ketika aku menjadi remaja.

“Anjir, gue deg degan waktu lo dateng ke rumah. Sumpah ini pertama kalinya cowok dateng ke rumah gue.” Ujarku pada Farel.

Kini ia tengah memakan kembang gula berwarna pink. Kami sama sama memakan permen kapas itu. Di satu taman dekat pasar malam.

Pasar malam disini memang  dimulai sejak sore.

“Hehe, gue gentleman banget kan.” Balasnya percaya diri.

“Lo kok bisa kepikiran gitu sih. Lo gak tau aja kalau ayah ada di rumah. Lo bisa diusir dengan kejam.”

“Iya karna itu, gue ngajak lo kesini lebih awal supaya gak ketemu bokap lo.”

“Sial. Bukan gentleman dong kalau begitu mah.”

“Eh tapi gue gak pernah ngomongin soal ayah gue ke elo deh,” aku bingung sendiri. Karena aku belum menceritakan tentang ayahku kepada siapapun.

“Dia kan kerja di kantor punya bokap gue. Gue tahu dari ayah, katanya ada satu karyawan ayah yang anaknya satu sekolah sama gue. Anaknya manis katanya. Dan ya gue nyangkanya itu elo,” jawabnya panjang lalu mencomot kembang gula.

“Eh eh, dia beneran bilang gue manis. Tau dari mana ayah lo?” tanyaku semakin penasaran.

“Nggak. Dia nggak bilang begitu.” Jawabnya datar.

Aku mendelik, “terus dia taunya darimana dong?”

“Apa sih ah mau tau aja lo.”

“Ya, ini kan tentang gue. Apa jangan jangan ayah lo nyewa mata mata buat nyelidikin gue?”
Racauku melantur.

“Enak aja. Ayah tau karna liat poto lo sama adik lo dijadiin wallpaper hp.”

Oke ini rumit.

Terus kenapa Farel bisa tahu kalau potonya itu gue, secara yang lihat wallpaper handphone ayah gue kan bokapnya? Jangan jangan spekulasiku bahwa dia menyewa mata mata untuk membuntutiku itu memang benar.

“Tapi sebenernya.... lo mau tau sesuatu gak?”

Tuh kan benar.
Dia ingin mengakui yang sebetulnya terjadi.

Aku menatapnya penuh selidik, “Apa?”

“Gue lihat biodata bokap lo di berkas punya ayah. Dan disana terdapat nama lo sebagai anak pertamanya yang lahir di Bandung, 27 desember 2002. Sekolah di Sma Cipta Bakti. Bergolongan darah A.”

Aku terkejut, “Selengkap itu?”
“Yap, selengkap itu,” katanya mengulangi ucapanku.

Should We Run Away?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang