Pencet bintang di pojok kirii dong,hehe❤️
~~~
Pelajaran sejarah kali ini membuatku harus menahan kantuk. Berkali kali aku sengaja dikagetkan dengan siku Farel yang menghantam tanganku yang berdiri mewadahi dagu.
Bukannya memperhatikan pak Yusman yang masih semangat menjelaskan berbagai macam istilah sejarah. Aku malah melihat teman temanku sudah lemas memikirkan jajanan kantin yang berputar di otak mereka.
Berbeda dengan temanku yang duduk dibarisan belakang, barisan paling depan yang diisi oleh peringkat lima besar dikelas, mereka tak lelah memperhatikan penjelasan dari pria paruh baya yang sedang mengajar didepan kelas ini.
Termasuk cowok di sampingku ini. Si anak peringkat satu, kursinya nyasar ke yang paling belakang.
Jadi ingat saat aku mengetahui bahwa sebenarnya dia siswa cerdas. Mungkin waktu itu kami masih kelas sepuluh pertengahan semester.
“Elo anak pinter ya? Kok bangkunya malah dibelakang sih?” tanyaku yang saat itu sedang mengunyah kripik, sambil memperhatikan dia yang sedang mengerjakan soal matematika.
“Teori dari mana kalau yang pinter harus dibangku paling depan?”
Kulihat dia sedang menghitung angka dengan satuan yang kutahu ratusan tanpa mencoret coret bukunya alias menggunakan tangan.Ah anak jarimatika.
“Ya... kan biasanya gitu,” cicitku, melahap kembali kripik singkong ditangan.
“Karna lo tahu gue gak kaya gitu, mulai sekarang ubah pemikiran lo.”
“Hmm, maksudnya lo ngaku kalau lo pinter?”
“Emang nyatanya gitu,kan?”
“lagian lo gak tau aja alasan lain gue duduk bareng lo disini.”
Lanjutnya membuatku penasaran.“Emang apa?” dia terlihat berpikir.
“Gue kasihan sama lo. Waktu gue masuk kelas. Gue lihat seonggok cewek yang tampangnya minta dikasihani banget. kayak gak niat sekolah. Apalagi waktu itu mata panda lo gede plus item banget, hahaha,” cerocosnya dengan tawa diakhir yang meledak.
Sial. Dia masih mengingat itu.
“Jadinya gue kayak ketarik buat duduk bareng lo.”
“haha, lucu.” Ucapku sebal memasukkan banyak kripik kedalam mulut.
Dan, katanya itulah alasan dia mau sebangku denganku. Aneh memang. Tapi itulah Farel dengan alasan alasan randomnya.
Ternyata pak Yusman sudah keluar dari tadi. Aku tidak sadar karena nyatanya aku ketiduran dengan lengan yang kujadikan sebagai bantal kepalaku. Saat aku membuka mata aku melihat satu buku paket yang dibelah dua berdiri di depan mukaku.
Aku menegakkan badan melihat seseorang yang tengah memandangku dengat raut wajah dimanis maniskan. Dan sialnya aku malah mual melihat dia seperti itu.
“Enak ya lo bisa tidur.” Sindirnya.
Aku yang belum sepenuhnya sadar menghiraukan perkataan temanku, lalu mataku memutari sekeliling kelas yang tidak ada penghuninya kecuali aku dan Dasha.
“Gue tidur lama gak si? Pak Yusman gimana gak mempermalukan gue kan?” tanyaku saat Dasha sedang sibuk dengan alas bedaknya.
“Aman. Si Farel inisiatif ngalangin muka lo pake buku paket sejarah.”
“Loh, gue kira ini perbuatan lo.”
“Hello, gue gak akan sebaik itu. Gue mah malah bakal buat lo dipermalukan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Should We Run Away?
Teen FictionHaruskah kita kabur saja dari rasa dan sangka yang tak berbalas?