Chap 5

15 4 0
                                    

   

"Bantu gue kerja juga dong!"





"Disini aja bareng lo gak papa." Lanjutku bergairah, mungkin Farel bisa melihat bola mataku berbinar sekarang.

Aku benar benar ingin kerja. Anggap saja sebagai simulasi sebelum nanti kerja lama setelah lulus sekolah. Jenuh rasanya jika harus terus menerus diam di rumah tanpa menghasilkan apa apa. Aku memang malas. Tapi kalau berhubungan dengan uang, jiwa ragaku seperti terbangkitkan untuk mendapat pundi pundi rupiah.

Selain itu, aku bisa mendapat penghasilan yang dihasilkan dari jerih payahku sendiri. Lalu bisa membeli barang yang aku inginkan.

Sudah besar rasanya antusiasku terhadap pekerjaan bertambah.

Sorot mata Farel seketika berubah. Ia terlihat antusias namun seperti tak ingin aku melakukan apa yang kuinginkan. Dia pasti berpikir bahwa aku tidak akan bisa melakukan itu. dia berpikir aku perlu banyak belajar layaknya seorang siswi di kelas tingkat akhir yang belajar giat agar masuk universitas impian. Apalagi mengingat kapasitas otakku yang jauh dibandingkan dengan dia.

Farel mengangkat kedua alisnya, "nggak boleh."

"Tuh kan pasti gitu. Gue bisa kok," protesku meyakinkan.

"Bukti?" telapak tangannya terbuka seolah sedang meminta.

Aku memalingkan wajah, "yaelah, emang siapa sih lo? Bego banget gue pakai minta izin. Lihat ya, gue bisa cari kerja sendiri."

Entah salah lihat atau apa tapi dari penglihatanku sebelum memandang ke arah lain wajahnya menunjukkan kekecewaan. Sepertinya aku salah ngomong? Apa perkataanku menyakiti hatinya? Aku jadi panik dan cemas takut kata kataku memang melukai perasaannya.

Sedetik kemudian aku mengamati dia meminum air dalam botol yang dibawanya dalam kulkas indomaret tadi. Wajahnya berubah jail kembali meski kulihat masih ada sedikit kekesalan. "Oke oke. Gue bantu lo." Ucapnya seakan tidak apa apa.

Syukurlah ternyata tidak ada yang salah dari ucapanku tadi.

"Kerja disini?"

"Nggak. Nggak boleh disini."

"Loh kenapa?"

"Disini harus lulus dulu kuliah lah."

"Buktinya lo bisa kerja disini."

Ia menggertakan gigi, kesal denganku yang tak mengerti. Dia kan sudah menceritakan bahwa ia bisa bekerja disini karena menggantikan satu karyawan yang sedang cuti hamil. Senang sekali menggodanya. Hehe.

"Iya iya gue tau. Terus dimana dong?"

"Ada. Besok pulang sekolah kita kesana. Sekarang gue anterin lo pulang. Udah malem soalnya."

Ia bergegas berjalan sedikit menemui motornya yang diparkirkan didepan indomaret lalu menyalakan mesin tersebut.

"Ayo."

Aku berjalan menghampiri, seperti biasa duduk di belakang jok motor. Dia menjalankan motornya. Tapi ini bukan ke arah rumahku. Mana dia tidak pakai helm lagi. Aku takut aparat kepolisian 86 tiba tiba menghentikan kami. Kan bahaya.

"Loh, katanya ke rumah gue. Lo mau nyulik jangan gini lah. Masa diculik elo sih. Kurang menantang tau." Racauku tidak jelas.

"Iya, abis ini gue kasih lo ke om om pedofil."

"Mana ada. Lo bukan psikopat."

"Lo gak tau aja gue punya markas yang isinya penjahat penjual organ tubuh bagian dalam."

Should We Run Away?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang