i

1.7K 123 14
                                    

one - it's about being strong

"but the tears is streaming down my face as i smile."

**
T R I S H .

Kubuang silet yang sedari tadi kugunakan untuk memotong nadiku. Ya, tanganku memang berdarah saat ini. Tapi itu tidak akan membuatku bergerak lamban. Setelah kubersihkan darah yang berceceran di lantai kamar mandi, aku menyiapkan sebungkus kapas, dan juga alkohol. Tidak lupa kuambil alat make up dan sebuah foundation. No, tentu aku tidak akan merias wajahku setelah sesi menyakiti-diri-sendiri-dengan-silet-lalu-menangis-sepuasnya. Itu akan terlihat bodoh.

Aku mengelap dan membersihkan luka-luka bekas goretan silet dengan air. Setelah itu aku membersihkannya dengan alkohol. Jika kalian bertanya apakah itu sakit, jawabanku adalah tidak. Sudah 6 tahun ini aku banyak melakukan hal yang biasa orang panggil dengan cutting. Jika dibandingkan dengan jumlah goretan di tanganku, jumlah goretan dihatiku jauh lebih banyak daripada itu. Setelah luka-luka tersebut kering, aku mengambil powder pad dan mulai membubuhi foundation diatas luka-luka itu. Kuoleskan foundation itu sampai menutupi luka, lalu membubuhinya dengan bedak. Sempurna.

Sebagai anak dari seorang Adam Connor Eastwood, tentu aku tidak boleh terlihat menyakiti diriku sendiri, yah walaupun kenyataannya aku melakukan itu. Mungkin kerabat-kerabat ayah sekaligus putra-putri dari kerabat ayah berpendapat kalau aku adalah anak yang beruntung. Tapi, apakah kalian percaya itu?

Oh ya, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Trish Alexandria Eastwood, anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahku, seperti yang sudah kusebutkan tadi, Adam. Ia adalah seorang pebisnis sukses dibidang perhiasan. Eastwood & Co. Ibuku bernama Isabelle Brooklyn Beckett. Ia biasa dipanggil Izzy oleh ayah. Namun, keadaan sudah berubah. 6 tahun yang lalu, mereka bercerai. Mereka bercerai karena aku dengan bodohnya menceritakan kepada ibuku-yang merupakan seorang FBI agent- kalau ayahku berselingkuh dengan seorang model perhiasan yang disewa ayahku dibelakangnya. Anehnya, ayahku malah bangga dengan perbuatannya. Itu menyebabkan ayahku dan ibuku bercerai. Secara tidak langsung, akulah penyebabnya. Itu adalah salah satu dari sekian faktor aku hobby melakukan cutting. Semenjak ayah dan ibu berpisah, ibuku menolak dipanggil Izzy. Semua orang memanggilnya Brooklyn, Agent Brooklyn. Aku yang waktu itu berusia 12 tahun kerap menyalahkan diriku sendiri atas semuanya. Ya, seharusnya aku sudah mati sekarang. Aku pun tahu itu. Namun, Tuhan memberikanku seorang kakak bernama Keith yang terus mendukungku melakukan hal positif. Aku menyayanginya. Oh, ya. Tuhan juga memberikanku seorang satpam-ups, maksudku kembaran lelaki yang terus mengawasi setiap gerak-gerikku. Ia bernama Jack Vincenzo Eastwood. Ia sangat peduli dan sayang kepadaku dan adik lelakiku, Fitzie. Ya, kira-kira itulah kisah singkat mengenai diriku dan keluargaku.

Alasan mengapa aku tak boleh terlihat menyakiti diriku sendiri adalah demi kebaikan dan nama baik Adam. Mengapa juga aku dan saudara-saudaraku perlu menjaga nama baik Adam? Terkadang aku heran. Aku ingin sekali-sekali membuat onar dan menjatuhkan nama Adam. Namun, Keith dan Jack selalu mencegahku. Terkadang, aku merasa bahwa akulah yang laki-laki sementara kedua kakakku adalah perempuan. Mereka lebih suka menjadi air yang tenang dibandingkan api yang membara. Aneh.

"Trish? Where are you?" panggil Jack dari arah kamarku. Pasti ia menyundulkan kepalanya di pintu kamarku. Aku bergegas merapikan segala alat make up dan yang lainnya lalu menekan tombol flush di toilet. Pintar kan? Kalau tidak, aku bisa diceramahi olehnya selama 2 jam.

"Coming," ujarku lalu keluar dari kamar mandi. Aku mendapatinya telah duduk diatas kasurku. Ia tersenyum kearahku dan aku membalas senyumannya.

"Bersiaplah. Mr. Harris akan menjemput kita untuk pergi menemui ayah di hotel barunya. Ia meminta kita berdua datang dan menemui kerabatnya," ucapnya. I rolled my eyes lazily and sat next to him.

"Lebih baik kau bawa Fitzie," ucapku mengusulkan. "Ia akan senang makan mewah, yah walaupun setiap hari kita memang makan mewah, tapi Fitzie pasti senang."

"Jangan menolak, Trish. Ayah meminta kehadiran kita berdua sebagai putra dan putri kembarnya. Lagipula Fitzie sudah tertidur sedari tadi, aku tak tega membangunkannya," ucap Jack.

"Aku tidak mau, Jack." Aku menolak permintaannya halus. Jack merangkulku lembut.

"Aku tau kau muak dengan kelakuan ayah dengan Meredith, but it's a must. Kasihan ayah. Bagaimanapun juga, ibu berpesan agar kita patuh padanya," ucap Jack. Ia pun memposisikan dirinya agar berhadapan denganku dan memegang kedua lenganku. Ia terkejut akan goretan-goretan di tanganku. Ia berusaha meredam emosinya dengan menunduk.

"Don't be mad, Jack. Please. Aku selalu ingat pesanmu setiap kali aku melakukan ini. Tapi aku sudah tidak kuat, Jack. Cutting adalah satu-satunya pelarianku disaat semua orang tidak mengerti aku."

"Aku sudah tidak akan marah padamu lagi, Trish. Rasanya tidak ada gunanya. Aku tahu, semenjak kau menyadari bahwa kau yang menyebabkan ayah dan ibu bercerai, kau banyak melakukan itu. Sebenarnya, kau tak bersalah sedikitpun, kau tahu? Lebih baik ayah dan ibu bercerai dibandingkan ibu mencintai orang yang bermain dibelakangnya. Stop blaming yourself and try to live your life peacefully dear," ucap Jack lalu mendekapku hangat. Aku memeluknya balik. Ia adalah sosok yang selalu melindungi dan membuatku merasa aman dan tenang.

Ia melepaskan dekapannya, mencium keningku lembut lalu berkata, "now, get ready. I want to see you as a strong beautiful twin. Obviously because i'm handsome tonight," Ia berusaha meyakinkanku untuk pergi.

"Only for tonight," gurauku. Ia menoyorku dan bergegas keluar agar aku bisa bersiap menuju hotel baru ayah.

Setelah aku siap, aku bergegas keluar kamar dan menghampiri Jack. Ia sudah terlihat tampan dengan kemeja dan celana bahannya. Ia menggantungkan tuxedo di kursi dan tampak menikmati segelas wine.

"I'm ready, Jackie!" ucapku. Ia tersenyum dan mengajakku untuk duduk disebelahnya.

"Mau?" tanyanya. Aku menggeleng cepat. Tidak baik meminum wine sebelum pesta, bisa-bisa aku kenyang duluan. Ia pun menghabiskan sisa wine di gelasnya dan bergegas berdiri. "Ayo, nanti kita terlambat."

Aku dan Jack berjalan beriringan menuju lobby rumahku. Ya, rumahku memang bagaikan istana minimalis sehingga rumah kami memiliki lobby luas. Disana tampak Mr. Harris sudah menunggu. Sebelum aku sempat membuka pintu, Jack menghentikanku lalu memegang kedua bahuku.

"Pokoknya, apapun yang terjadi disana, control yourself. Aku akan selalu mendampingimu. Tidak lucu bila kerabat ayah mendapatimu menangis di kamar mandi," ucapnya. Aku mengangguk.

"I know, I can be the tough one sometimes."

Teman-teman, doakan aku agar aku bisa tahan melihat kemesraan ayahku dan jalang itu.

**



DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang