"Dan dia Maha mengetahui segala isi hati. "
___________Q. S. Al-Hadid[57];[6]__________
Suara dentingan HP membuatku tersadar bahwa adanya sebuah pesan masuk, terpaksa Aku bangkit dari duduk, lalu mengambil alih benda pipih itu. Ternyata, dari Ning Sofia.
[Assalamu'alaikum Gus,]
[Wa'alaikumsalam .... ]
Karena merasa terlalu lama Gadis itu membalas, akhirnya Aku memutuskan untuk membuka pesan di grup Para pengurus pondok.
[Tadinya, Aku ingin mencintaimu seperti halnya hukum bacaan 'an am ta'alaihim' , namun sayang ... Allah hanya menginginkanku untuk mencintaimu seperti lafadz hukumnya 'ing, kuntum'] ~ Annisa.
[Kang Arman, Aku padamu. ] ~Syifa.
[Harap tenang, ini ujian. 'Allah tidak akan membebani seseorang itu, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.' Qur'an surah Al-Baqarah ayat 286. ] ~ 0823 *****
[Nah, tumben anti bijak Al, perasaan tadi kita sarapan Cuma pake telor ceplok. ] ~Dzulaika.
Sengaja, tak 'ku simak lagi pesan yang masuk dari grup, berhubungan datangnya sebuah notifikasi bahwa adanya pesan yang terkirim dari Ning Sofi.
[Ana uhibbuka fillah.]
Pesan itu masuk, berbarengan dengan sebuah emoticon love. Tanpa ingin saling membalas pesan lagi, akhirnya Aku putuskan untuk mematikan daya ponsel. Lagi-lagi mengacak rambut frustasi dan melempari bantal ke sembarang arah. Kenapa harus di jodohkan? Kenapa Aku tak diberi kesempatan untuk memilih. Tak lama setelah itu, terdengar sebuah ketukan dari luar. "Buka aja, nggak di kunci," ucapku sedikit berteriak.
"Gus, sampean di panggil sama Bu Nyai, disuruh sarapan." Mendengar itu bukan berasal dari Adik ataupun Ummiku, alhasil Aku langsung duduk dari berbaring. "Saya segera ke sana."
Gadis yang tengah berada di ambang pintu tersebut, lantas menundukkan pandangan ketika netra kami tak sengaja bertemu. "Ka-lau begitu, saya permisi dulu Gus, Assalamu'alaikum .... "
Setelah menjawab salamnya, Aku pun ikut menyusul ke dapur. Masalah kenapa Gadis itu yang memanggilku, karena memang hari ini dia yang piket untuk membersihkan ndalem. Hanya hening yang melanda, bahkan Azril ponakanku yang masih balita seolah membungkam dengan sendirinya. Netra ku kembali menangkap ke arah Mbak Santri yang tengah menuangkan air ke dalam gelas, masih tak percaya perubahan akan terjadi begitu singkat pada Gadis di hadapanku ini. Dia terlihat membenarkan khimarnya yang tampak begitu maju, hingga pipi yang sedikit tembem itu terlihat.
Lamunanku buyar ketika Adikku menepuk tanganku. "Perbanyak istigfar."
Seolah memberiku tamparan, terlihat Abi menggeleng pelan sebanyak dua kali. Aku menunduk, bagaimana pun itu, Aku ini tetaplah menusia biasa yang bisa hanyut terbawa nafsu yang diciptakan oleh musuh bebuyutan manusia. "Jangan Cuma di aduk-aduk nasinya to Ham."
Kali ini Ummi yang menasehatiku. "Nggeh, Ummi."
•||•
"Belum cinta, bukan menjadi sebuah halangan untuk menikah. Karena seiring dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh dengan sendirinya." Kali ini Wanita paruh baya tersebut, tengah menasehati diriku. Bukannya semakin tenang, justru malah sebaliknya. Penuturan yang diungkapkan oleh Ibuku barusan, kembali membuatku tertampar dengan sendirinya. Begitu yakin, bahkan sangat yakin, bahwa Putra keduanya ini sama halnya mengiginkan pernikahan konyol ini terjadi.
Setelah berucap demikian, Wanita paruh baya yang akrab 'ku sapa Ummi, kemudian beranjak dari kamarku. Lalu tak lama suara ketukan pintu menyusul dari luar. "Permisi Gus, apa pakaiannya ingin ana cuci sekalian? " Ternyata Khanza, tadinya Aku semangat untuk membukakan pintu, barangkali itu Alma. Aku menggaruk kepala yang terasa gatal, sesekali mengedar pandangan ke dalam kamar. Sudah tapi dan tak ada satupun pakaian kotor yang menumpuk di tempatnya.
"Tidak usah. Sebaiknya, kamu selesaikan tugas ya lain!" Aku langsung menutup pintu setelah berucap demikian, sikap galak yang selama ini memang sudah melekat pada diriku, memang tak lagi membuat mereka heran. Masa bodo dengan itu semua, sekarang Aku hanya ingin menenangkan diri tanpa, mau diganggu oleh siapa pun itu.
Entah berapa lama Aku memejamkan mata yang jelas, kali ini suara azan sudah di kumandangkan oleh salah seorang Akang santri, yang tidak di ketahui entah siapa.
Karena terlalu lama, semua Para penghuni rumah, sudah pergi untuk menunaikan kewajibannya. Ummi, Adik perempuanku dan Mbak Maza pergi ke Aula, sedang Abi dan Mas Bizar ke Masjid. Untuk yang pertama kalinya, Aku lalai dengan sholatku bahkan hari ini menjadi seorang makmum masbuk. Mengingat jika sholat berjama'ah itu adalah kewajiban bagi kaum Lelaki, maka dari itu, mau tak mau Aku harus berlari secepat mungkin agar tidak tertinggal jauh.
"Mas, sampean yakin mau di jodohkan sama Ning Sofia?" Ketika pulang dari masjid, Adikku Fatimah langsung menanyai hal itu. Sebelum menjawab, terlebih dahulu mengambil sebuah kitab kuning yang disimpan di atas meja. "Kamu nddak tadarus toh Dek?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Fatimah langsung mendengkus. "Wes, jangan alihkan pembicaraan toh Mas."
Sengaja tak 'ku hiraukan, netra terus tertuju pada tulisan arab tanpa harokat. "Mas ...." Fatimah merengek, sama persis seperti seorang Anak yang ingin meminta yang jajan pada orang tuanya.
"Yang dimaksud dengan kalam menurut ulama ahli Nahwu, yakni harus memenuhi empat syarat, lafadz, murokab, mufid dan wadho," ucapku. Dari pada sibuk membahas tentang perjodohanku dan Ning Sofia, lebih baik menkaji ulang babul kalam atau kunci dasarnya ilmu Nahwu.
"Nah, kalau yang bisa memenuhi kalam cintanya Gus Ilham opo toh? Alma atau Ning Sofi? Wes, rak popo Mas jika Iparku lebih muda, lebih enak tak suruh-suruh," terang Fatimah.
Aku langsung menutup kitab kuning ketika itu. "Kenapa bawa-bawa Alma?" tanyaku padanya sambil mengerutkan dahi.
"Sampean suka toh sama dia? Hayo ngaku?! Kulo iki calon Psikolong toh Mas, masa membaca gelagat Abangnya sendiri boyo nddak iso," balasnya, sedikit dengan nada menggoda.
Aku berdecek setelah mendengar balasan dari Gadis itu. "Kalau Fatimah boleh kasih masukan, Mas jangan hanya pintar menasehati orang lain, namun lalai dalam menasehati diri sendiri. Membahagiakan orang tua itu fine-fine aja, Cuma ada batasannya. Kabur!" Adikku langsung beranjak pergi setelah berucap demikian, mungkin takut jika Aku marahi. Jika di resapi, ada benarnya juga ucapan Fatimah, pintar menasehati orang lain, namun lalai dalam menasehati diri sendiri, astagfirullah hal'azim ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Santriwati Tomboy VS Ustaz Galak (On Going)
RomanceDimana cinta harus di mulai, pada pertemuan pertama kali di gerbang Penjara suci. Pertemuan seorang Gadis Tomboy, dengan seorang Ustaz muda yang menjiwai sifat galaknya itu. Cemburu tak karuan saat mengetahui Sang Ustaz galak telah menghitbah gadis...