"Terkadang apa yang kita harapkan, malah tidak sejalan dengan takdir Tuhan." Alma Nurul Hidayah.Ujian akhir berjalan dengan semestinya, walaupun hanya lulus dengan nilai rata-rata. Karena yang terbaik tak harus menjadi juara, tetapi yang terbaik adalah yang telah di tetapkan oleh Sang kuasa. Bersyukur adalah jalan pintas agar tidak menjadi kufur. Kemudian, netraku tak sengaja melihat Gus Ilham yang tengah bersenda gurau dengan Gadis lain. Ralat, mungkin itu adalah Ning Sofia, tunangannya beliau. Tak tau kenapa, napasku seakan sesak, melihat keduanya yang begitu dekat.
"Maaf Ning, jika mengecewakan sampean." Masih dapat 'ku dengar perbincangan keduanya. Tak lama kemudian, seorang Pria yang mengenakan koko berlengan pendek itu datang, Kang Arman.
"Gus, saya benar-benar minta maaf karena--"
"Bukan salah sampean, mungkin memang sudah menjadi takdir Allah." Tanpa 'ku sadari, ternyata Pria itu mulai memperhatikanku. Tak mau di lempari bermacam pertanyaan, akhirnya Aku beranjak pergi.
"Kuda-kudanya itu harus benar. Kuda-kuda macam apa ini?! Huh." Secara reflect tungkai kakiku ditendang oleh seseorang. Aku yang gagal fokus, lantas terpental. "Aduhh!"
"Dih, baru gitu aja masa udah jatuh? Gimana mau dipilih buat ikutan lomba!" Mbak Sabrina, ternyata pengurus di bagian koordinator itu lah yang telah membuatku menjadi seperti ini.
Siti, dia langsung membantuku untuk bangun. "Ati-ati Al." Aku hanya mengangguk, lalu berucap terimakasih setelah di bantu berdiri.
Tak ada yang mengesankan lagi di setiap hari-hariku ini. Semenjak beredarnya kabar Sang ustadz galak yang telah resmi meminang Wanita lain. Namun, apakah seorang Gus hanya tercipta untuk seorang Ning? Lalu, apakah salah jika seorang Mbak Santri menaruh hati pada Gurunya?! Aku sendiri pun tak tau, ini rasa cinta atau hanya rasa kagum, yang seolah menjadi faktor pendorongku sangat ingin sekali memilikinya, hanya karena hawa napsu yang belum bisa dikendali.
Aku tau ini siapa, hanya seorang fakir ilmu yang beruntung bisa menuntut ilmu di sini.
•||•
Hari ini tepatnya acara Haflah Akhirussanah, di langsungkan dengan semeriah mungkin. Para Kang-kang dan Mbak santri, terlihat begitu antusias melakukan persiapan sendari kemarin, mengaji kitab memang sengaja diliburkan karena hari esoknya Para Santri akan dipulangkan. "Eh Al, lihat deh Gus Ilham, terlihat berwibawa sekali," Syifa, teman sekamarku itu lantas menunjuk ke arah Pria bergamis abu tersebut. Benar apa yang diucapkan oleh Syifa, Pria yang tengah duduk berdampingan dengan Gus Abizar itu tampak sangatlah berwibawa.
"Aku kira teh Gus Ilham cuma menang galaknya doang, eh ternyata kasep pisan ey ..." Aku hanya bisa menggelang dua kali ketika sahabatku Siti, ikut serta memuji.
"Ingat Sit, calon suami orang," ucapku memperingatkan.
"Sebelum janur kuning melengkung, jomblo masih bebas untuk menikung," pungkas Syifa.
"Nah, jadi kesimpulanna Gus Ilham teh masih milik bersama," balas Siti.
Lagi-lagi Aku hanya bisa menggelengkan kepala dua kali, padahal tadinya Pria itu identik sekali dengan menyandang gelar 'galak, tetapi kenapa giliran sekarang malah di beri julukan paling tampan di kalanggan Mbak santri?
Moment haru itu mulai dirasakan ketika Abah Yai memberikan sedikit wewenang. "Ilmu yang baru kalian curi itu hanya sejengkal, jadi jangan pernah merasa bangga dengan apa yang telah kalian dapatkan, karena di luar sana masih banyak yang tinggi ilmunya dibanding kalian. Tetapi sedikit apapun ilmu, ketika kalian amalkan itu tidak akan pernah menjadi sia-sia, melainkan ketika Ia telah mendapati ilmu namun tak pernah Ia amalkan, maka itulah yang akan marugikan. Semoga ilmu yang telah di dapatkan menjadi berkah dan manfaat dan berguna untuk Dunia dan Akhirat," terang Abah panjang kali lebar.
"Kang, Mbak santrinya itu lo, coba tanyain udah siap belum sampean pinang?" Sekarang giliran Gus Ilham yang berbicara. Bukannya memberikan wewenang yang sama seperti yang Abinya ucapan, Pria itu malah asik mencandai Para santri yang sedang Haflah dengan melempari pertanyaaan tentang nikah.
"Siap dong!" balas Para mbak santri Alfiyah dengan sedikit berteriak.
"Nah, Kang sudah pada minta dihalalin itu," candanya lagi.
"Gusnya dulu dong, kitanya mah belakangan aja," balas salah seorang Kang santri yang berhasil menciptakan tawa.
Bukannya membalas, Pria tersebut malah tertawa dengan puasnya. Bahkan begitu juga dengan Sang kakak dan Abinya.
Mungkin ini menjadi jama'ah subuh terakhir pada minggu ini, karena siang nanti kami para Santri akan segera dipulangkan. Kantuk masih menyerang, karena memang tadi malam acara berakhir begitu larutnya. Belum lagi Aku dan para pungurus lainnya harus ikut serta membereskan aula. "Tiduran ajalah dulu, nunggu udah bugar baru kita sowan ke ndalem," ucapku pada Siti.
"Setuju, ini teh badan Aku juga masih pada pegel semua Al," balasnya.
Ketika itu Aku hanya mengacungkan jari jempol, lalu melanjutkan tidur yang tertunda.
"Yowallah ... eh, ayo pada bangun udah jelang dzuhur ini? Emang belum pada di jemput apa?"
Entah siapa yang tengah berbicara, yang pasti aku hanya kembali menenggelamkan kepala di bantal seperti semula."Al, bangun Al." Kali ini, aku mengenali suara sang empu, Siti.
"Laa ukhty, Laa!"
Jeda beberapa saat, terdengar suara orang yang berdehem kuat. "Batuk? Minum konidin," ucapku, sembari mengucek mata.
Samar, 'ku dapati sosok Siti, Ustadzah Sinta dan ... Gus Ilham. Bersamaan pula dengan menggaruk tekuk dan sadar bahwa tak ada lagi hijab yang menempel di kepala. Secepat kilat 'ku ambil selimut dan memakainya asal. "Afwan Ustadzah, Gus," ucapku.
"Sembilan puluh sembilan, seratus!" Ketika itu Aku langsung bangkit dari posisi tengkurap, ternyata push up seratus kali itu sangat melelahkan. Bodoh, jika tau ini akan terjadi lebih baik aku tidak melanjutkan tidurku sama sekali. Bukan Ilham namanya jika membiarkan salah seorang Santrinya itu lolos begitu saja, kerena tragedi sebelum masuk waktu dzuhur tadi, mau tak mau aku harus menerima takziran dari Beliau. Sadis, bahkan ini untuk yang kesekian kalinya aku diberi hukuman, berendam hampir seharian di empang lah, dipermalukan di depan Kang kang santri, bahkan sekarang, push up seratus kali. Tetapi anehnya, kenapa aku bisa menaruh hati pada Pria itu? Bunglon wujud manusia!
"Al, nanti kalau balik jangan lupa bawa oleh-oleh," ucap Ning Fatimah ketika aku dan kedua orang tuaku hendak pamit.
"Sip, es doger aja gimana?" tanyaku pada seorang Gadis yang hanya berjarak hampir tiga tahunan dariku.
"Sip, ojo lali kudapannya," balasnya sambil terkekeh.
"Permen karet satu."
"Satu toples 'kan?"
"Ituloh, cuma satu isi dalamnya."
Ning Fatimah terlihat menghela nafas dalam. "Boyo nddak usah aja sekalian." Ketika itu semuanya terkekeh, nah ini ... ciri-ciri yang nddak ikhlas sama Gurunya.
"Yai, Nyai, kalau gitu kita pamit pulang dulu," ucap Ayahku mengakhiri pembicaraan.
Abah dan Bu Nyai tampak mengangguk pelan. "Alma, jangan lupa balik lagi ke sini yo ndduk," peringat Bu Nyai.
"Nah betul itu, kalau nggak balik takut ada yang mewek tiap malamnya," celetuk Gus Abizar.
"Oke, asiap! Rebes, itu mah."
Sayangnya, Aku hanya bisa bersalaman dengan ketiga wanita disini, mengingat yang lainnya adalah non-mahromku. Gus Ilham, langsung beranjak pergi setelah itu, sedang Bu Nyai dan Ning Fatimah ikut mengantar hingga teras.
Gus, selamat tinggal ... semoga ini bukanlah sebuah pertemuan terakhir bagi kita, walaupun nanti jika aku kembali, sudah ada tangan yang selalu kau apit, biar ... karena sejatinya titik kesuksesan dari mencintai adalah ikhlas.Maaf up-nya telat terus😭 lope sekebon untuk kalian para Pembaca setianya Mbak Alma💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Santriwati Tomboy VS Ustaz Galak (On Going)
RomanceDimana cinta harus di mulai, pada pertemuan pertama kali di gerbang Penjara suci. Pertemuan seorang Gadis Tomboy, dengan seorang Ustaz muda yang menjiwai sifat galaknya itu. Cemburu tak karuan saat mengetahui Sang Ustaz galak telah menghitbah gadis...