8. Jodoh nggak akan kemana

1.2K 96 3
                                    


When Malaikat Jibril  said. 'Cintailah siapa yang kamu suka, karena sesungguhnya (engkau) akan berpisah dengannya."

_________~

"Ngapunten, njenengan iki Gus Ilham 'kan?" Aku terperanjat ketika Wanita yang tengah mengenakan baju gamis berwarna orange tersebut, malah beranggapan bahwa Kang Lukman adalah aku. Pria berkoko tosca yang tengah duduk tenang disebelahku, tak kalah kagetnya dengan pertanyaaan yang diajukan oleh sang Putri kiyai tersebut.

"Kulo?" Kang Lukman lantas menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dan tak lama kemudian dibalas anggukan oleh Wanita cantik di seberang. "Oh, bukan. Kulo hanya abdi ndalem, supir, kadang nyambil juga buat bantu ngajar di madrasah. Ini yang namanya Gus Ilham, putra kedua dari Abah Yai Usman dan Bu Nyai Khodijah," jelas Pria itu.

Ning Sofia tampak terkejut, sesekali mengusap wajahnya sambari beristigfar.

"Jadi bagaimana, apa kalian sudah saling mengenal satu sama lain? Kami harap begitu, karena rasanya udah nggak sabaran lagi pengen nimang cucu." Kini, kedua keluarga besar kami telah berkumpul di ruang tengah. Mungkin tak lama lagi akan menentukan tanggal, kapan pernikahan kami akan dilangsungkan.

Sesekali aku mencuri pendang ke arah Wanita berjilbab biru muda tersebut. Jika diamati, kenapa Ning Sofi tampak begitu gelisah? Bukankah tadi dia begitu antusias menyambut kedatangan kami?

"Abi ... maaf, Sofia rasa Sofia tidak bisa melanjutkan ini semua." Mereka semua kaget, terkecuali aku. Karena memang dari gerak-geriknya sudah bisa di lihat, bahwa Wanita itu memiliki daya tarik tersendiri pada Kang ndalem tersebut, Kang Lukman. Tetapi, bagaimana bisa dia salah orang? Apa karena penampilanku yang terkesan seperti Kang Santri pada umumnya? Dengan mengenakan baju koko berwarna gelap dan sarung batik andalan? Ah, maklum saja jika dia salah kaprah, wong Aku pake sorban tunggu jum'atan dan hajatan, wajar jika dia tidak melirikku sama sekali.

"Lah, bagaimana bisa seperti itu Ning? Bukankah kemarin sampean sudah menyetujuinya?" Ummiku, tampak melempari beberapa pertanyaaan pada Wanita itu yang umurnya berkisaran dua tahun lebih muda dariku.

"Tetapi kenapa sayang? Apa Gus Ilham ini tampak meragukan bagimu?" tanya Bu Nyai Asiah lemah lembut.

Ning Sofia tampak menarik napasnya dalam, setelah itu memberanikan diri menatap ke arahku. "Sejak awal Sofia memang sudah salah prediksi Ummi, seharusnya waktu itu Sofia tanyakan dulu yang mana yang Namanya Gus Ilham, bukan malah mengangguk iya. Jika boleh jujur, Sofia tertarik pada Kang ndalem yang beranama Lukman itu Ummi, Abi. Bukan Gus Ilham ... maaf, bukan berarti Gus Ilham kalah saing sama Santrinya, tetapi kenyataannya memang begitu, perkara hati Sofia memang tidak bisa beralibi lagi."

Kiyai Hasyim tampak mengangguk, setelah mendengar penuturan Sang anak. "Piye Mas?" tanya beliau pada Abiku.

"Lah, ojo piye-piye toh Kang. Lukman, kalau sampean juga merasa seperti itu, sampean saja yang melanjutkan khitbahan ini. Setuju?"

Mata Pria itu telah berkaca-kaca, namun sebelum menjawab pertanyaaan Abi terlebih dahulu Ia meminta persetujuan sekaligus pengakuan dariku. "Tapi, Gus Ilham .... "

"Jodoh sampean udah di depan mata Kang, niatnya kita kemari 'kan emang mau lamaran, ya dari pada pulang tanpa bawa kabar baiknya, lebih baik sampean seriusin aja si Ning-nya," terangku.

"Duh, sampean itu terlalu bertele-tele Mas. Maksudne Mas Ilham itu sampean ojo pusing pikirin perasaan dirinya, insya Allah ... ada Nama gadis lain yang selalu diutarakan disepertiga malamnya. Alma, contohnya." Sebuah lirikkan tajam aku berikan kenapa Fatimah, Adikku. Berani sekali dia membongkar rahasiaku? Padahal yang Ia ucapkan belum tentu benar adanya. Tadinya memang aku sempat kagum dengan Alma, walaupun keseringan ditakzir karena saking teladannya, tetap saja dia menyandang predikat Santriwati unik dariku.
Tanpa sadar bibir ini tertarik ke atas, membuat Fatimah semakin meraja lela mengodaiku.

"Seriusan nih lee?" Ummi, setelah mendapati pertanyaaan dari seorang Wanita karamatku tersebut, entah kenapa aku langsung salah tingkah. Seperti sekarang ini, meminum air di dalam gelas sampai tandas, namun tak berniat untuk meletakkannya kembali di meja sebab grogi.

"Gus, masih mau diambilkan lagi airnya?" Tak lama setelah di lempari pertanyaaan dari Istri Kiyai Haji Hasyim tersebut, segera aku taruh gelas kosong itu dimeja sembari menggelang.

"Mbonten Bu Nyai."

Lagi dan lagi, Fatimah cukup puas dengan aksiku, bahkan bukan hanya dia melainkan hampir seisi ruangan ini. Mampus.

"Walah-walah, kalau sama Mbak Santri, harus tunggu dia lulus dulu dong," celetuk Abiku.

"Nddak usah selama itu, insya Allah ... ba'da Haflah Akhirussanah nanti, Ilham datangin ke rumahnya," gurauku.

"Khitbahan opo ta'arufan Gus?" tanya Kang Lukman padaku. Sontakku gelengkan kepala pelan dan terkekeh. "Silaturahmi aja tapi."

•||•

Tak banyak yang bisa aku lakukan, berhubungan dengan aktivitas yang tadinya padat malah merenggang. Hanya bisa menatap lurus ke arah bangunan yang biasanya berpenghuni, yakni asrama putri. "Awas ... kesambet nttar." Setelah berucap demikian, Pria bertubuh jangkung tersebut, ikut duduk serta di sampingku.

"Owalah, sampean toh Mas. Ada oppo neng kene?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Mas Abi terlihat diam, tak merespon sebuah pertanyaaan yang barusan aku layangkan. "Ada masalah sama Mbak Aisyah?"

"Alhamdulillah ... nggak ada."

"Lah trus?"

"Mas itu lagi mikir Dek, kok iso sampean yang tadinya galak sampai ke tulang, jadi periang?" tanyanya sambil menatap ke arahku sekilas.

Bahkan aku sendiri pun tak bisa menjawab pertanyaaan yang terkesan sepele darinya. Alma? Masa iya Gadis itu yang telah membuatku menjadi seperti ini? Semudah itukah aku jatuh hati padanya?

"Apa jangan-jangan karena Mbak Santri itu?" tanya Mas Bizar yang terkesan menggoda.

"Lah, sopo?"

"Alma dong, siapa lagi emangnya yang bisa bikini Masku ini klepek-klepek." Suara cempreng yang sudah bisa 'ku tebak itu siapa, membuatku seakan malas untuk menatap ke arahnya.

"Kebiasan, nguping," celetuk Kakakku.

"Lah, sopo to yang nguping Mas? Wong tadi nddak sengaja lewat," bela Fatimah.

"Pret, nddak percaya."

"Hak sampean. Uluh-uluh ponakannya tante, cini cayang." Ketika mendengar ucapannya Fatimah barusan, aku langsung membalikkan badan dan ternyata memang benar, seorang Balita laki-laki yang diberi nama Azril itu tengah berjalan kemari.

Ku layangkan kecupan berulangkali karena gemas dibuatnya. "Kenapa cendiri, Ummahnya mana?" Kali ini Fatimah yang melemparinya pertanyaaan.

"Di Dapul. Abi, di curuh Ummah cuapin Dede."

Kami bertiga sontak terkekeh setelah mendengar perkataan keponakanku barusan. Maklum saja, dia baru berusia kurang lebih dua tahun, jadi berbicara pun masih cadel.  "Kalau gitu cium Om Ilham dulu dong," pintaku sambil menoel-noel pipiku dengan jari telunjuk.

Balita itu tak menolaknya, dengan cepat dia langsung melayangkan sebuah kecupan yang mendarat tepat dipipi kananku. "Tos dulu dong kalau gitu," pintaku sekali lagi.

"Nddak au ah," balasnya lalu memalingkan wajah.

Fatimah malah tertawa geli. "Si dedenya nggak mau manut ya bund."

Terpaksa 'ku pasang wajah datar. "Makanya lee, buruan nikah trus cepat juga buatin Ummi cucu, kasian 'kan si Azrilnya belum ada Teman main." Tampaku sadari, ternyata Wanita karamatku itu, tengah mengamati diambang pintu.

"Ilham siap kok Mi, selalu jadi Teman mainnya dia." Dengan tak enak hati, aku berucap demikian kepada Ibuku.

"Dih, kalau sampean lagi nddak sibuk Mas. Lagi pula emangnya belum mau ada yang ngekhawatirin selain Aku dan Ummi?" Kali ini Fatimah yang ikut berbicara.

"Demoin aja Mas Ilhammu terus, pasti nggak akan ngaruh," terang Mas Bizar.

"Oke, kapan-kapan Ilham pasti nikah. Jangan pada takut Ilham nddak nikah, karena Ilham pun nggak mau menua sendiri."

Next?

Santriwati Tomboy VS Ustaz Galak (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang