13). Gus Ilham Kemana?

678 54 11
                                    

"Terkadang rasa ingin tau akan timbul saat kita tak lagi bertegur sapa. Intinya jikalau dia ada, kehadirannya jangan kau sesali, karena yang paling sulit itu, ketika dia pergi tanpa ada kata permisi." _Aks Jingga_

Gema azan memenuhi seluruh penjuru pondok pesantren, membuat semunya lekas berlarian, berbondong-bondong memenuhi saf paling depan. Ada juga yang sibuk mengantri mengambil wudhu, pun ada pula yang berjalan santai menuju masjid. "Buruan atuh Al, nanti kita kebagian saf belakang." Teriakan Siti membuatku merasa jengkel, bergegas mengambil mukena lalu membuntuti gadis itu dari belakang.

"Lagi pula kapan sih perempuan berada di saf paling depan, yang paling depan teh kan Imam, Sitiii."

"Ayo, lawan terus. Lama-lama saya liat ternyata kamu sama Gus Ilham teh ada kesamaan. Sama-sama nddak mau kalah omong," celetuk Gadis itu enteng.

"Kang Fatih jauh lebih menggoda, ketimbang Gus Ilham si gagal move on."

"Ih, kamu mah nggak tau aja cerita, si Ning Maza, alias Alifa Nur Maza saja yang belum bisa melupakan Gus Ilham. Gus Ilham teh anti gamon," bela Siti sambil terus mempercepat langkahnya. Belum selesai kami bergibah ternyata, gema iqomah lebih dahulu menyapa. "Semua karena kamu Al, tiap subuhan kita nggak pernah datang on time!"

Tanpa memperdulikan ucapan gadis berdarah Sunda tersebut, akhirnya aku putuskan untuk segera memulai sholat. Setiap sujudnya bisa aku resapi dengan penuh syukur kepada sang Khalik yang masih memberiku napas hingga hari ini, tak lupa jua memohon ampunan agar dosa-dosa segera di lunturkan.

✬✬✬

Aktivitas pagi ini hampir sama seperti biasanya, aku bersiap menuju madrasah agar tidak terlambat lagi. Sudah aku putuskan, mulai detik ini aku harus rajin belajar agar bisa lulus dengan nilai yang terbaik. "Katanya ada Ustadz baru loh yang megang mapel Kimia, mana masih single lagi."

"Ganteng tidak?"

"Ganteng, aku sudah liat tadi subuh."

Itulah isu pada pagi hari ini, tentang ustadz baru si pemegang mata pelajaran Kimia.

Tepat pukul tujuh, lonceng berbunyi pertanda bahwasanya sudah masuk jam pelajaran pertama. Suasana kelas menjadi riuh kala seorang pemuda tampan memasuki kelas sambil memegangi buku, tubuhnya sedikit jangkung bahkan mengenakan kacamata. Salam terdengar saat pertama kali beliau memasuki kelas, hingga sekarang beliau sudah duduk manis di kursi guru. "Ganteng ya Al, mana putih lagi," puji salah seorang Mbak santri yang duduk di sebelahku, namanya Cantika.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, sebelumnya perkenalkan Nama saya Muhammad Zaki Mu'afiq, disini saya memegang mata pelajaran Kimia dan Fiqih, ada yang ingin di tanyakan?"

Eh, tunggu-tunggu kalau Ustadz Hafidz ngajar Kimia sama Fiqih terus Gus Ilham di ungsikan ke Mapel apa? Satahuku sang putra Kyai tersebut yang langganan memegang mata pelajaran itu.

"Umur Ustadz berapa?"

"Sudah menikah belum?"

"Kalau Ustadz pemegang mapel Kimia dan Fiqih, memang Ustadz galak kemana?" tanyaku yang spontan membuat seluruh isi ruangan itu terdiam sejenak.

Ustadz Zaki terkekeh pelan. "Ustadz Galak? Mungkin maksudnya Gus Ilham, betul?"

Dih, memalukan sekali memang, bisa-bisanya aku kebablasan di depan Guru baru. Entah kenapa dari sekian banyaknya pertanyaan yang di lemparkan pada beliau, kenapa beliau lebih tertarik dengan pertanyaan sepeleku itu. "Gus Ilham dipercaya untuk memegang mata pelajaran Nahwu dan Shorof, jadi beliau tetap ada jam kok di kelas ini."

"Oh ya, umur saya dua puluh lima tahun dan belum menikah, do'a kan saja segera."

"Tipikal ustadz Zaki gimana? Hapal tiga puluh juz atau hapal nadhom Alfiyah?"

"Gimana pun yang Allah beri, InsyaAllah saya terima kok, ya sudah jika memang tidak ada yang di tanyakan lagi, kita mulai belajar memasuki BAB Sifat Koligatif Larutan."

✬✬✬

Setelah belajar setengah hari di Madrasah Aliyah, rasanya begitu melelahkan, belum lagi siang nanti aku ada ulangan Nahwu. "Cie, cie yang tadi menyakan pasal Gus Ilham. Rindu ya? Soalnya kan hampir seharian ini tidak bertemu," ledek Siti padaku. Jujur, aslinya aku kesal dengan pernyataan gadis itu, justru sebaliknya aku merasa baik-baik saja tanpa Gus Ilham. Sepertinya jika beliau tidak ada, hidupku akan aman sentosa.

"Kurang kerjaan juga kalau aku rindu dengannya. Orang galak dan nyebelin kayak gitu kok, lebih baik aku merindukan kang Fatih," terangku sambil terus mencari kitab nahwuku. Hah sialan memang, padahal harusnya buku itu mudah aku temukan, karena sudah 'ku sampuli dengan kertas kado berwarna pink.

"Sit, ada liat kitabku tidak? Kitab nahwu yang baru aku beri sampul minggu lalu."

"Tidak ada tuh, memang kenapa?"

Aku menghela napas kasar, gadis ini memang hanya sekedar berbasi-basi atau memang lupa dengan adanya ulangan Nahwu siang nanti. "Aku mau belajar lah, kamu lupa kalau kita akan ada ulangan nanti siang?"

Astaga, gadis itu langsung pergi menuju lemarinya, pasti dia sama halnya sepertiku, mencari dimana keberadaan kitab Nahwu agar bisa belajar.

Waktu seakan terus mengejarku, hasilnya nihil, tak 'ku temukan sama sekali dimana keberadaan kitab bersampul pink tersebut. Bahkan aku datang hanya membawa buku tulis kosong di tangan, siap mendengar ocehan dari Ustadz galak atau bah mendapat takziran karena nilai ulangan yang nantinya pasti akan hancur sehubungan tidak belajar. Setelah ditunggu hampir setengah jam-an ternyata pemuda itu tak kunjung masuk ke dalam kelas. Tentunya yang tengah memegang kitab pasti akan mencolong waktu itu untuk memperkuat ingatannya tentang materi yang akan di ulangan kan tersebut.

"Gus Ilham tidak masuk kelas hari ini, tapi beliau hanya meminta kita mengusai materi ini." Nur akhirnya datang, setelah sekian lama pergi ke ruang para asatidz-asatidzah. Timbul lagi pertanyaan di benakku, sebenarnya kenapa perginya Ustadz galak sampai seharian ini pun aku tak ada berpapasan dengan beliau?

Sore harinya aku kembali berjama'ah di masjid dan setelah itu ikut setoran Qur'an selama beberapa menit. Ning Fatimah menyenggol lenganku, saat aku tengah sibuk dengan hapalanku. "Tidak rindu Mas Ilham?"

Aneh sekali memang, kenapa ketika sampai gadis ini langsung menanyaiku prihal rindu Abangnya atau tidak?

"Yo nddak lah, untuk apa aku rindu Ustadz galak? Tidak ada untungnya pula."

"Iya deh, hari ini bisa aja bilang gitu. Besok-besok kalau nggak ada ketemu pokoknya harus rindu," balasnya sambil tersenyum misterius.

"Memang dia kemana?"

Akhirnya Ning Fatimah tertawa. "Katanya tidak rindu, jadi untuk apa tau Masku ada dimana? Toh ya nddak ada untungnya juga kan?"

Aku mendumel kesal. Tadi giliran aku acuh di tanya rindu atau tidak, sekarang giliran aku perduli malah main rahasia-rahasian. Maunya tuh kayak gimana sih? Sebenarnya Ustadz galak kemana?


Bersambung.....

Santriwati Tomboy VS Ustaz Galak (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang