Kowe nang ndi Gus?
Sudah hampir semingguan ini, tak pernah 'ku jumpai sosoknya. Dia yang jika aku berbuat salah, langsung dihadiahi hukuman yang tak pernah ku duga. Sesekali diri ini sering mengintai, barangkali bisa bertemu di pertigaan jalan menuju masjid. Namun hasilnya nihil, sosoknya seakan lenyap begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Kemana sebenarnya ia pergi? Kenapa tak ingin memberi kabar terlebih dahulu.
'Ku kira, jika ia tak ada akan lebih baik kedepannya, hidupku akan tenang tanpa ada yang akan memberiku takziran, tapi mengapa sebaliknya? Aku malah rindu dengan sosoknya, malah rindu dengan hukuman yang ia berikan. Rindu ini sangat menyiksa, aku lelah karena setiap hari harus menerka-nerka. Keluarganya bahkan bersikap seolah tak terjadi apa-apa, pun di tambah lagi Ning Fatimah yang setiap harinya selalu di lihat ceria. Apa ini saatnya aku bertanya, dimana keberadaan Abangnya?
Astaga, ketimbang aku siang malam terus memikirkannya, lebih baik aku singkirkan saja gengsi dan bertanya pada Ning Fatimah dimana keberadaannya.
"Ning." Segera 'ku cegat kala Ning Fatimah keluar dari Ndalem, gadis itu menatapku bingung. "Ono opo to, Al?"
"Anu, itu, aduhh ... gimana ya bilangnya. Sebenarnya Ustadz Ilham kemana?"
Gadis itu tertawa puas, bukan hal yang aneh memang karena minggu lalu 'ku bilang aku sama sekali tidak memperdulikan kemana Abangnya pergi. "Sudah 'ku duga, kalian berdua itu sama-sama aneh tau tidak, yang disini rindu tapi malu-malu, yang di sana nanyain gimana kabarmu. Lucu memang," balasnya yang masih enggan menjawab pertanyaanku barusan.
"Oh ya, Mas Ilham pergi muncak, katanya mau refreshing, mungkin dia tertekan karena kemarin terus-menerus di kejar Ning Maza. Dan ... Itu orangnya," ujarnya yang kemudian menunjuk ke arah pria yang baru saja keluar dari mobil.
Ya benar, itu Ustadz galak. Ya Robb, rasanya aku malu sekali, sedikit menyesal karena ketika aku berniat menanyai, ternyata orangnya langsung datang begitu saja. "Mas, ada yang rindu!"
Ning Fatimah berteriak tanpa malu, apa dia tidak memperdulikan bagaimana harga diriku di pertaruhkan di hadapan sang Kakak? Ustadz Ilham menoleh, mata kami tak sengaja bertemu. Ada rasa ingin yang seolah mendorongku terus menerus untuk mempertanyakan bagaimana kondisinya, seolah tak cukup bertemu mata untuk menjawab pertanyaan dari lubuk hati yang terdalam. Tak sadar, pria itu telah berdiri di hadapanku, kemudian mengalurkan tangan ke arah Sang adik. "Siapa yang rindu? Bukannya Mas telpon kamu tiap malam?" Suaranya begitu candu, membuatku kembali mematung dan memilih ingin segera beranjak pergi.
"Alma yang rindu, katanya Mas pergi tanpa pamit."
"Bu-bukan gitu Gus, bukannya rindu," belaku sebisa mungkin.
"Trus?"
"Anu, Mbak santri banyak yang tanya kenapa Gus semingguan ini nggak masuk kelas."
"Tumben? Biasanya saya nggak ada, kalian seneng?"
Mampus, mati kutu aku sekarang, harus bagaimana ini? Untung saja kedua orang tuanya datang di waktu yang tepat, sehingga aku bisa pergi segera dari sana.
✬✬✬
Awan hitam memenuhi langit, suasana malam ini sangat riuh di tambah lagi suara petir yang perlahan mulai bersahut-sahutan di luaran. Aku yang memang sejak awalnya takut akan petir, akhirnya lebih memilih untuk memeluk lutut sambil melafalkan kalimat Allah. Kenapa kejadian ini harus terjadi saat Gus Ilham masuk ke kelas?
Seluruh perghuni kelas menyerukan kalimat takbir kala listrik padam. "Dimohon semuanya tetap tenang."
Rasa takutku semakin jadi, bahkan air mata menetes membahasi pipi. Aku pobhia terhadap gelap memang, pun takut pula akan petir yang saling bersahutan. Seolah tak ada yang ingin menolongku, ruangan ini menyepi. Hingga sepercik cahaya itu datang menghampiriku yang tengah meringkuk, takut, khawatir terhadap keselamatan diri sendiri sudah berpadu disitu. Aku takut ada yang ingin berbuat jahat padaku, bahkan melakukan hal di luar prediksi misalkan.
"Ya allah, hey, anti kenapa masih ada disini, bukannya tadi saya sudah minta kalian bergiliran keluar?"
Tunggu, suara itu kedengaran tak asing, hampir mirip dengan suara Gus Ilham.
"Tolong, Alma takut, hiks, hiks .... "
"Alma, kamu Alma?"
Bukannya lngsung bergegas menolongku, Pria itu malah mendahulukan tawanya. Entah apa yang membuatnya tertawa di atas penderitaanku. "Ya salam, seorang gadis tomboy sepertimu ternyata takut dengan gelap?"
Sedikit sadis memang Guruku yang satu ini, harusnya dia menolongku dahulu, baru menertawaiku. "Gus Ilham nyebelin, tolongin kek, aku takut gelap Gus, takut petir, tapi suka hujan kalau di siang hari," terangku padanya.
"Siapa?"
Dahiku sedikit mengkerut. "Aku Gus aku."
"Siapa yang nanya, Alma ...."
Ya Tuhan, andai ini di siang hari, mungkin sudah 'ku gampar pria ini. Ku coba memberinya penjelasan tapi responnya sama sekali tak ingin sedikitpun mengkasiani?
"Gus Ilham niat nolongin Alma atau nggak sih? Kalau nggak mending tinggal aja deh!"
Kesal sendiri aku jadinya, sengaja sekali membuatku kesal di situasi seperti ini?
"Oke, saya tinggal ke ruang Guru dulu ya, kitab saya masih ketinggalan disana."
Dasar lelaki tidak peka, masa tega-teganya meninggalkan aku sendiri di ruangan ini? Apa jadinya kalau semua Guru berhati nurani seperti beliau? Ya, aku benar-benar di tinggal, membuat tangisku semakin tumpah, 'Mama, Alma takut.'
Tapi tak lama kemudian, sepercik cahaya itu kembali muncul diirangi langkah yang tak begitu bisa menyaingi gemuruh hujan yang agaknya semakin deras. "Ayo pulang, nanti kamu di makan Siluman ular kalau bermalam disini."
Receh memang, Gus Ilham pandai sekali menaik turunkan emosiku. "Siluman ular, siluman ular, siluman Ilham mungkin!"
Beliau tertawa, tak seperti biasanya yang cepat terbawa emosi. "Ukhti tomboy atau ukhti cengeng?"
Masih, beliau masih meledekku, bahkan saat kami telah tiba di depan asrama putri. Memang sangat menjengkelkan, sepayung berdua dengannya, beda tinggi badan yang sedikit membuatku harus terkena percikan air di gamis, dan tambah lagi harus tetap menjaga jarak dengan beliau di ukuran payung yang tidak begitu lebar, sungguh kejadian yang tak pernah terjadi.
"Saya tadi tidak benar-benar meninggalkanmu Al, tapi hanya sekedar mematikan senter ponsel." Kenapa harus terlintas di benakku tentang penjelasan tak berguna dari Gus Ilham tadi? Kenapa dia begitu jail sekali? Tolonglah, untuk calon Istrinya nanti, harap bersabar karena selain Gus Ilham galak dan nyebelin, beliau juga sedikit jail.
"Dari mana saja Al? Baru balik?" Siti menghampiriku dengan tatapan penuh kekhawatiran, tangannya langsung meraba ke arah pipi yang masih basah, jejaknnya masih enggan hilang. "Kenapa tinggalkan aku sendiri? Aku takut."
"Tadi langsung di gandeng sama Mbak Cantika, eh aku minta tolongin aja deh sama Gus Ilham untuk cek apa masih ada orang atau nggak disana. Pasti di antar Gus Ilham ya?"
Oh, ternyata dia biang keroknya.
"Nggak, aku di antar Kang Fatih!"
"Loh, kok tau Fatih? Gus Ilham memang tidak jemput?"
"Ya sudah tau aku di jemput Gus Ilham, ngapain masih di tanya Sitiii!"
Andai saja dia suruh Kang Fatih yang jemput, pasti akan memperlakukanku lebih lembut ketimbang Gus Ilham.
Bersambung .....
KAMU SEDANG MEMBACA
Santriwati Tomboy VS Ustaz Galak (On Going)
RomanceDimana cinta harus di mulai, pada pertemuan pertama kali di gerbang Penjara suci. Pertemuan seorang Gadis Tomboy, dengan seorang Ustaz muda yang menjiwai sifat galaknya itu. Cemburu tak karuan saat mengetahui Sang Ustaz galak telah menghitbah gadis...