Seharusnya

13 1 0
                                    

Kenyataan bahwa hidup ini telah dibatasi oleh waktu sempat terlupakan. Begitu pula dengan kenyataan bahwa semua yang ada di kehidupan ini hanya sementara. Kamu dan aku menikmati waktu bersama setiap harinya, seakan tidak ada apapun yang mampu memisahkan.

Kalimat "Penyesalan selalu datang di akhir" mungkin sering kita dengar dan gunakan. Tapi sepertinya aku terlalu menganggap sepele kalimat tersebut. Sampai akhirnya aku terlarut dalam penyesalan sedalam ini.

Langit biru menyelimuti Sabtu siang di ibu kota. Mobil terlihat padat di jalan raya, begitu pula dengan sepeda motor yang mulai saling menyalip. Bus transjakarta melaju tanpa mempedulikan keramaian tersebut dan berhenti pada salah satu halte dimana seorang perempuan turun disana. Ia terus berjalan hingga menemukan pedagang nasi goreng kaki lima yang berjualan di sebuah gang kecil.

Penjual nasi goreng tersebut tersenyum melihat perempuan itu, seperti sudah saling mengenal sebelumnya. Perempuan itu pun duduk dan mengambil hand sanitizer dari tasnya untuk bersiap menyantap hidangan. Tidak perlu menunggu lama, nasi goreng ayam tidak pedas lengkap dengan es teh manis terhidang di hadapannya. Setelah mengucapkan terima kasih, perempuan itu mulai menyendok nasi goreng tersebut ke dalam mulutnya.

Hampa. Nasi goreng yang biasa dengan nikmat disantap oleh Naya tidak terasa enak seperti biasanya. Pak Jono, si pedagang nasi goreng yang melihat pemandangan ini ikut terasa berat hatinya. Ia pun melirik ke kursi di samping Naya yang kosong.

***

"Pak Jono! Nasi gorengnya kayak biasa ya, pak! Nasi goreng ayam gak pedes satu sama nasi goreng bakso pedes sedeng satu! Minumnya-"

"Es teh manis satu, es jeruk satu. Udah hafal saya dek!" potong Pak Jono sebelum seorang anak laki-laki berjaket denim itu berhasil menyelesaikan kalimatnya.

Laki-laki itu hanya tertawa kemudian menepuk pundak Pak Jono, tanda terima kasih. Perempuan yang datang bersama laki-laki itu sudah terlebih dahulu duduk dan mengeluarkan hand sanitizer. Ia kemudian memaksa temannya untuk juga menggunakan pembersih tangan itu.

"Makanannya juga belom nyampe, Nay. Entar udah keburu kotor lagi tangan gue," gerutu Dimas yang tetap menjulurkan kedua telapak tangannya.

"Ya entar tinggal pake lagi. Lo mau besok mules-mules?" jawab Naya seraya menyemprotkan hand sanitizer ke tangan Dimas.

Dimas tersenyum. Bagi laki-laki itu, celotehan Naya adalah salah satu hal yang paling senang ia dengar di dunia ini.

"Nah nah ini ayok gak usah rebut. Nasi gorengnya udah jadi," sela Pak Jono sambil meletakkan dua piring nasi goreng kepada dua orang langganannya ini.

Dimas dengan cepat mengambil sendok dan mulai mengaduk-aduk nasi gorengnya, "Mantep nih, Pak Jono! Emang terbaik deh nasgor bapak! Makan dulu ya pak!" ujarnya bersemangat.

***

Kejadian tersebut masih teringat dengan jelas di benak Pak Jono. Ia tidak mampu membayangkan bagaimana perasaan Naya yang kini harus makan di tempatnya sendirian.

Naya yang telah selesai menyantap nasi gorengnya berterima kasih kepada Pak Jono setelah membayar. Senyum memang terlukis di bibirnya, tapi dari matanya terpancar rasa sakit yang tidak dapat dimengerti.

Naya melihat ke satu tempat, dimana biasa ada seseorang yang mengeluarkan motornya dan kemudian mengenakan helm di kepalanya untuk melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini, tidak ada siapa-siapa disana. Ia mengalihkan pandangannya pada ojek online yang sudah menunggunya di ujung jalan, kemudian menghampirinya.

Sesampainya di tempat tujuan, Naya dengan langkah berat berjalan menuju seseorang yang ia rindukan. Setelah menemukannya, ia menurunkan tubuhnya dan menyentuh batu nisan yang bertuliskan nama orang tersebut, Dimas Raditya Valen.

Kepada Hujan Aku BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang