Dekap (Melupa)

77 3 0
                                    

Yang kita lakukan selama ini hanya terjebak di masa lalu. Tidak mengenal apa artinya bergerak maju. Berusaha mencerna kalimat-kalimat kalbu. Tanpa ada usaha untuk menjadi pribadi baru. Terkadang dunia terasa sendu. Membuat langkah kakiku semakin terbalut oleh ragu.

Yah, mungkin seharusnya aku tahu. Tidak mungkin mempertahankan sesuatu yang memang tidak akan pernah bisa bersatu.

"Ren, lo gapapa?" Suara Farhan membangunkan Rena dari lamunannya.

Ah..

"Thanks, Han. Gak sadar kalau bengong," ujar Rena lalu tersenyum kecil.

"Siang-siang mikirin apaan sih? Butuh kasih sayang? Kan ada gue, Ren," jawab Farhan sekenanya yang dibalas dengan sentilan di dahi Farhan.

"Kerja. Jangan bawel," kata Rena lalu kembali fokus pada tumpukan kertas yang harus segera ia review hari ini.

Detik demi detik waktu berlalu. Begitu pula dengan kenangan yang mengganggu. Tapi ternyata, melupakan sesuatu membutuhkan hal yang lebih dari sekedar waktu.

"Kerja bagus, Ren. Gue gatau lagi kalau gaada lo di kantor kita. Siapa lagi coba yang bisa nyelesaiin kerjaan sebanyak ini dalam satu hari?" kata Andre, selaku manager Rena di kantor.

Rena hanya membalas dengan tawa, "Biasa aja dong, Mas Andre. Kalau gitu, aku udah boleh pulang kan ya?"

"Oh, udah dong udah. Makasih banyak ya! Besok jangan lupa ada meeting sama client jam 11. Tempatnya udah tau kan?"

Acungan jempol diberikan oleh Rena seraya ia meninggalkan ruangan managernya itu. Ia membereskan barang-barangnya dan bergegas pergi.

Langit senja memang selalu menarik. Gradasi warna kuning, merah dan oranye.. Oh! Bahkan terkadang biru, putih dan merah muda selalu memberikan nuansa berbeda setiap kali Rena memotretnya menggunakan handphonenya. Langkah kaki Rena berhenti di depan halte bus, ia melirik jam tangannya kemudian memasang earphone di telinganya.

Ia lalu melangkah masuk ke dalam bus bersama orang-orang lain yang mulai saling mendesak. Beruntung, Rena masih mendapat tempat untuk bersender dekat pintu keluar bus. Ia melihat jalanan kota Jakarta yang tak pernah luput dari keramaian. Ia tersenyum kecil karena handphonenya memutar lagu yang saat ini menjadi favoritnya, yang mungkin juga tengah menjadi favorit seseorang.

Kisah kita itu, bukan tentang sama atau beda, Ren. Tapi tentang melepas atau menggenggam. Dan pilihan yang kita ambil adalah saling melepas. For good.

Rena melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki ke sebuah minimarket, mengambil satu kaleng bir dan roti keju favoritnya. Oh, selama perjalanan di bus tadi, hujan sempat mengguyur kota. Satu kaleng bir untuk menghangatkan tubuh tidak masalah bukan?

Suara kaleng bir yang terbuka juga mengawali lamunan Rena akan segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Tentang masa kecilnya, keluarganya, teman-temannya serta orang-orang yang berlalu-lalang dalam hidupnya. Di malam seperti ini, terkadang pikiran seseorang dapat berlari jauh melampaui kenyataan.

Bagaimana kalau saat itu kita memilih untuk bertahan?

Bagaimana kalau saat itu kita memilih untuk saling menguatkan?

Bagaimana kalau saat itu kita memilih untuk . .

Kamu tahu kan? Enggak mungkin bagi kita untuk memilih opsi saling menggenggam. Kamu gak mungkin berubah, begitu juga aku.

Rena mendengus dan tersenyum. Ah, ia pikir ia sudah baik-baik saja. Namun rupanya hati berkata lain.

***

Dalam posisi kita saat ini, ada hal lain yang lebih berharga untuk kita jaga. Bukan hanya sekedar perasaan kita, tapi juga perasaan orang-orang di sekitar kita.

"Pura-Pura Lupa aja terus," ujar Farhan setelah melirik ponsel Rena yang sedang memutar lagu tersebut.

"Lagunya enak banget gak sih? Gue ngefans banget sama yang buat lagu."

"Lagunya yang enak, atau liriknya yang nusuk?"

Rena memukul lengan rekan kerjanya itu, "Lo kalo ngomong emang suka gapake filter ya, minta diganti sama mulut vacuum cleaner."

Farhan lalu tertawa, "Re, six months. Kalian pisah juga baik-baik. Ayolah, let it go. Let him go."

"Letting go was the reason why we broke up when actually we were both still in love with each other. By the way, I'm totally fine, Han. Emang lagunya yang enak banget. Gue cabut duluan ya, ada mau ketemu client," ujar Rena sambil mengambil gelas kopinya dan pergi meninggalkan Farhan.

Jika ada yang ingin menggambarkan perasaan Rena selama enam bulan terakhir, hanya ada satu kata. Abu-abu. Sedih ia rasakan karena harus berpisah dengan orang yang tadinya selalu menjadi rumah ketika ia ingin pulang. Namun di satu sisi, ia tentunya juga bahagia. Bahagia melihat ia dan orang itu kini tidak berada dalam suatu hubungan yang akan lebih melukai hati jika terus dipertahankan.

"Kalau begitu, sampai ketemu di meeting selanjutnya ya, Bu Rena. Sepertinya kita juga hampir deal, tinggal finalisasi aja," ujar lelaki yang berada di hadapan Rena saat ini.

"Baik, Pak. Saya tunggu kabar baiknya," ujar Rena kepada clientnya itu. Ia kemudian berdiri dan hendak berjabat tangan dengannya.

Namun orang itu malah tertawa kecil, "Ren, lo beneran gak inget gue ya?"

Rena tersentak. Ia bukan tipe orang yang dengan mudah melupakan siapapun, "Eh? Sorry, kita pernah ketemu sebelumnya?"

"Pernah sekali, di nikahan temen gue."

Rena memutar otaknya, mengingat-ingat memori pernikahan teman yang pernah ia datangi. Ingatannya berhenti pada satu momen dimana ia hampir terjatuh setelah tidak sengaja tersandung kabel panjang. Beruntung saat itu ia ditolong oleh seseorang.

"Oh! Yang waktu itu nolongin saya pas mau jatoh kan?" kata Rena.

Lelaki itu mengangguk semangat, "Tapi Ren, kayaknya tugas gue emang buat nolongin lo deh."

"Maksudnya?" tanya Rena bingung.

"Waktu itu gue nolongin lo pas mau jatoh, sekarang proyek ini juga ada di tangan gue."

"Satu lagi, kayaknya gue juga bakal nolongin lo untuk memulai perjalanan baru dalam hidup lo," sambungnya.

Rena-pun terdiam.

***

Perjalanan kehidupan seseorang memang penuh dengan lika-liku. Tapi pada akhirnya, lika-liku tersebut akan menjadi kenangan yang dijadikan pembelajaran. Ah, aku ingat kata-kata terakhir yang ia ucapkan untukku,

"You have to live your life to the fullest."

Well, iya. Aku berusaha untuk melakukannya. Ia yang membuatku mampu untuk melakukannya. Kegigihannya yang pada awalnya menjadi daya tariknya, serta tekadnya dalam menjalani kehidupan. Namun tetap saja, kenyataan bahwa ia pernah ada bersamaku dan membantuku untuk hidup, membuat aku tidak mudah untuk terbiasa berjuang tanpa kehadirannya.

Di setiap pertemuan, selalu ada perpisahan. Aku akhirnya percaya akan hal itu. Kata 'berpisah' memang lekat sekali dengan perasaan sedih. Tapi asal kalian tahu, manusia memang terkadang datang dan pergi dalam kehidupan. Ada yang memang ditakdirkan untuk menetap, ada juga yang ditakdirkan hanya sebagai pemanis. Aku sempat mengira ia hadir untuk menetap sampai waktu yang entah berapa lamanya. Tapi ternyata, takdir belum mengizinkan.

But guess what? Life must go on.

"Aku yang pernah nyaman berada dalam dekapanmu, kini akan berusaha melupakanmu."

Kepada Hujan Aku BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang