Dia, Cahaya

17 1 0
                                    

"Kalau gue ketemu lo lebih dulu, apakah lo akan lebih sayang sama gue dibanding dia?"

Setelah Cahaya melontarkan kalimat tersebut, Dega dapat melihat tatapan perempuan di hadapannya yang mengisyaratkan perpisahan.

Mulut Dega seakan beku. Ia tidak mampu mengelak maupun memberikan pembelaan apapun. Melihat Dega yang diam saja, Cahaya semakin yakin bahwa hubungan yang mereka jalani selama kurang lebih satu tahun itu akan usai.

"Mungkin belum waktunya gue masuk ke dalam rumah yang masih berpenghuni. Terima kasih untuk satu tahun yang indah ini, Ga," ujar Cahaya yang langsung beranjak dari tempat duduknya menuju pintu keluar sebuah kafe di tengah kota Jakarta. Sebuah kafe yang seharusnya menjadi tempat dengan kenangan manis bagi Cahaya, namun kini mungkin tak akan dikunjungi kembali olehnya.

Masih berada pada tempatnya, Dega membiarkan wanitanya pergi. Laki-laki itu sadar bahwa ia sungguh egois jika menahan Cahaya pergi.

Sebuah hubungan asmara seharusnya dijalankan oleh dua orang saja, sepasang perempuan dan laki-laki. Tapi hubungan yang dijalani Dega dan Cahaya berbeda. Di dalamnya ada seorang perempuan yang menjadi bayang-bayang hubungan mereka. Kehadirannya mungkin tak terlihat, tapi tak bisa diusir pergi.

Dega bertemu Cahaya di akhir masa kuliah, ketika laki-laki itu tengah sibuk mencari judul penelitian yang tepat untuk tugas akhirnya. Di tengah kebingungannya, Dega bertemu dengan Cahaya yang kala itu penampakannya tidak jauh berbeda dengannya. Dega selalu berkata, kalau waktu itu ia lebih memilih untuk ikut dengan Marco ke tempat tongkrongannya, ia akan melewatkan pelita kehidupannya. 

Dengan keberanian layaknya pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan, Dega menghampiri Cahaya yang sedang duduk sendiri di pojok perpustakaan kampus. Karena merasa dihampiri, Cahaya menengok dan mendapati Dega yang sedang berdiri canggung.

Masih dengan tingkah canggungnya, Dega berusaha untuk memilih kata-kata terbaik untuk memulai pembicaraan. Bodohnya laki-laki itu, bukannya mempersiapkan kata-kata yang ingin ia sampaikan terlebih dahulu, ia malah menghampiri Cahaya terlebih dahulu.

"Ada apa ya?" tanya Cahaya memulai percakapan.

Sedikit tersentak, Dega terlebih dahulu berdeham agar suaranya bisa terdengar jelas dan lantang, "Anu.. Fakultas mana?" tanya Dega. Pertanyaan yang memalukan baginya jika ia ingat-ingat lagi sekarang.

"Psikologi," jawab Cahaya singkat.

Dega hanya manggut-manggut, berusaha mencari alasan lain agar bisa berbicara dengan perempuan idamannya ini, "Kenal sama Satria gak?"

"Enggak kenal. Angkatan berapa?" tanya Cahaya lagi.

"Enggak tau juga sih, soalnya gue ngasal," jawab Dega disusul dengan tawa garingnya. Ingin rasanya Dega melarikan diri dari situasi ini, tapi jika ia melakukannya, sepertinya imagenya akan benar-benar hancur.

Berbanding terbalik dengan respon yang dipikirkan Dega, Cahaya justru tertawa kecil dan menusuk Dega tepat sasaran dengan kalimatnya, "Ini tuh mau ngajak kenalan ya?"

Dega tertawa canggung mendengar pertanyaan itu, kemudian mengangguk malu sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Bermula dari perkenalan yang memalukan itu, Dega dan Cahaya akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih setelah tiga bulan pendekatan. Jika dilihat oleh mata orang awam, hubungan mereka dapat dibilang sebagai hubungan yang sehat dan sempurna. Dega dan Cahaya saling mendukung satu sama lain demi mendapat gelar sarjana di belakang nama mereka. Cahaya berhasil meraih gelar psikologinya terlebih dahulu, disusul oleh Dega dua bulan kemudian dengan gelar tekniknya. 

Memasuki fase pencarian kerja, Cahaya selalu sibuk membantu Dega dengan memberikan pelatihan interview karena laki-laki itu mudah sekali gugup. Sedangkan Cahaya sepertinya tidak memerlukan bantuan yang spesifik karena ia sudah direkrut untuk bekerja di perusahaan tempat ia magang sebelumnya.

Kepada Hujan Aku BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang