[2] Ramen

13.9K 1K 47
                                    

Pagi ini, setelah hujan yang tampak selamanya, aku melihat seberkas sinar matahari masuk lewat celah jendela. Aku mengintip keluar dan mendapati langit biru kebiru-biruan. Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Kendati masa sekolahku sudah lewat tujuh tahun yang lalu, rasanya mustahil untuk tidur kembali.

Jadi, aku kembali menghidupkan rutinitas yang nyaris punah: morning walk.

Setelah memakai celana training dan jaket denim biru, aku menuruni tangga pelan-pelan agar penghuni lain tidak terganggu. Udara dingin serta-merta menampar wajahku kala pintu terbuka. Lantas, setelah menyusun playlist, aku mulai menyusuri jalan setapak berombak.

Indekosku berada di sebuah kompleks yang berbukit-bukit. Satu-satunya jalan besar dan rata hanya berada di gerbang masuk, lalu setelah itu kalian akan menemukan empat jalan kecil dengan tantangan masing-masing. Awalnya memang melelahkan, but I'm getting used to it. Kegiatan morning walk akan lebih menyenangkan dengan tanjakan dan turunan.

Ketika tiba di sebuah tanjakan, aku berhenti. Lantunan lagu dari kedua earphone seolah menungguku bereaksi. Ponselku belum pernah seberat ini sebelumnya. Aku tahu apa yang akan terlihat dari puncak tanjakan. Membayangkannya saja membuat jantungku berdegup tak keruan.

Apa dia masih tinggal di sana?

Tanganku sudah merogoh saku dan siap mengambil ponsel. Namun, aku terlalu ciut. Sebelum berubah pikiran, aku berbalik dan setengah berlari kembali ke rute semula.

*

Ulasan kamu udah di-publish.

Gonna check. Thank you, bumil.

Sesampainya di kamar, aku segera mandi, berganti pakaian, dan membawa ransel ke luar indekos. Can't stay any longer there. Maka, demi akses internet gratis, aku mencari kedai ramen terdekat. I worship ramen, don't ask why. Syukurlah kedai yang kukunjungi belum terlalu penuh. Ayolah, Winona, ini belum pukul sepuluh pagi.

Setelah memesan, aku membuka laman situs YummyFood. Ulasan La Belle Luna terpampang di bagian teratas. Mustahil untuk tidak tersenyum melihat tulisanku di sini.

Dengan sentuhan ala Italia—serta kisah personal sang chef—Anda dapat merasakan atmosfer Mediterania dari tiap jengkal La Belle Luna. Chef Pisghetti pun menyusun sendiri musik latar yang merupakan rekaman-rekaman karya mendiang istrinya, Bulan. Lantunan instrumen tradisional seperti akordion dan mandolin akan menemani Anda dalam tiap gigitan spageti bolognese terbaik La Belle Luna.

Pelayanan: 3.5/5.

Hidangan: 4/5

Tempat: 4.5/5

Musik latar: 4.5/5

Kemudian, aku mengecek akun Twitter YummyFood. Ghina telah menghubungkan tautannya pada akun La Belle Luna. Sekarang aku penasaran setengah mati dengan tanggapan Chef Pisghetti. Ini bukan kali pertama ada restoran yang mengeluhkan ulasanku—terutama jika rating musik latarnya hanya 2.

Sejak kapan ada ulasan kuliner yang melibatkan playlist?

Memangnya ada pelanggan yang peduli?

Ini restoran, bukan konser.

Anehnya, dengan semua keluhan itu, Ghina masih mempertahankanku. Kuharap, bukan karena faktor kasihan.

"Permisi, Mbak. Miso ramen dan teh hijaunya."

Aku segera menggeser laptop agar pramusaji dapat menaruh pesananku. Ah, great, kalau makanan sudah siap begini, sulit sekali untuk fokus ke depan layar. Lantas, aku menutup laptop dan memasukannya ke slip case, lalu mengamati komponen miso ramen yang masih mengepul.

It's not too late for breakfast, I guess.

*

Menjadi reviewer bukan cita-citaku.

Dahulu, sebelum tahu kejamnya dunia, aku ingin menjadi astronom. Aku punya ketertarikan besar dengan benda-benda langit—tata surya, galaksi, rasi bintang, dan kawan-kawannya. Kemudian, keinginan itu tergerus kala aku bertemu Fisika dan Kimia di bangku SMA. Aku tidak habis pikir mengapa ilmu perbintangan harus berkaitan dengan hal eksak.

Lantas, hal tersebut tidak melunturkan minatku pada benda-benda langit. Saat masih bekerja di sebuah majalah musik, aku sering menghabiskan waktu untuk mengamati langit malam seusai meliput konser. Matahari terbit adalah pemandangan favoritku. Bahkan aku rela begadang demi melihat hujan meteor jika mereka melintasi cakrawala Indonesia.

Ah, ya, aku belum mencari informasi hujan meteor tahun ini.

Dalam sekejap, browser dipenuhi tab berbagai laman berisi berita dan artikel tentang hujan meteor. Aku mengambil ponsel dan menandai tanggal di kalender dengan appointment: meteor shower. Lengkap dengan tanggal dan jamnya.

Aku terlalu asyik sampai mengabaikan keadaan di dalam kedai. Perhatianku baru teralihkan saat seseorang menarik kursi di meja sebelah. Dia lalu memanggil pramusaji.

"Eh, langsung saja. Curry ramen dan ocha panas."

Kali ini, aku menoleh ke arah sosok itu.

Dia juga menatapku dengan salah satu sudut bibir yang terangkat.

*

"Jadi benar kamu resign dari majalah? Pantas aku jarang melihatmu di gigs lokal."

Aku baru saja memikirkan pria ini tadi pagi dan sekarang dia duduk di hadapanku. Thanks to my 14'' laptop, aku bisa menyembunyikan separuh wajahku dari tatapannya.

"Ya, dan kamu tahu kenapa, Ethan," sahutku sambil lalu. "Sekarang aku bekerja dengan Ghina. Mengulas tempat-tempat makan di Bandung."

"Keren." Ethan menyisir rambut jabriknya dengan jemari. Aku agak frustrasi begitu sadar dia masih mempertahankan 5 o'clock shadow di wajahnya. "Omong-omong, Wine, aku melihatmu tadi pagi."

Ooooh, dia masih menganggapku semanis anggur. "Di mana?"

"Tanjakan ke indekosku. Mau aku panggil, tapi kamu keburu putar balik." Ethan tersenyum kepada pramusaji yang membawakan pesanannya. Aku yakin di belakang, wanita ini akan menggunjingkan Ethan bersama pelayan lain. "Aku pikir kamu pindah."

Kali ini, aku menurunkan layar laptop. Memberanikan diri untuk menatapnya. "Kondisi keuanganku tidak semakmur seperti dulu. Mungkin satu-dua bulan lagi aku akan pindah dari indekos yang sekarang."

Ethan menyeruput ocha-nya, lalu melempar senyum menggoda. "Kamu bisa menggunakan kamar kosong di indekosku."

"Nope," tolakku cepat. "Senyaman apapun indekos kamu, nope."

Ethan menghela napas panjang. "Kukira kita bisa menjadi teman baik."

"Friends? Friends with benefit, you mean," gumamku sebal. Aku kembali memusatkan perhatian pada artikel hujan meteor, tetapi Ethan's Effect teralu kuat. Bahkan saat dia sedang menyantap ramen. "Aku enggak percaya kalau ada sepasang mantan yang bisa berteman."

Mendengar pernyataanku, Ethan nyaris tersedak. "Kalau begitu, kenapa kita bisa ngobrol seperti sekarang?"

Aku bergeming. Aneh memang mendapati kami bisa duduk satu meja seperti ini. "Aku sedang malas mengeluarkan teori. I have to go."

Cepat-cepat, aku berkemas tanpa menatap Ethan. Saat aku beranjak menuju kasir, Ethan menahan tanganku. "Aku serius. Visit my place if you can, Wine."

Ya Tuhan, aku sulit menolak undangan ini.

 *

The PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang