Senang bisa bertemu dan ngobrol sama kamu lagi.
Mataku memicing saat membaca pesan dari nomor yang tidak terdaftar di kontakku itu. Begitu aku menelisik deretan angka tersebut, aku segera tahu siapa pengirimnya. Nomor ini yang dulu selalu kunantikan hadir di layar ponsel setiap pagi dan malamnya. Nomor yang membuatku jumpalitan, lalu kemudian kuhindari sekuat mungkin.
Aku sudah menghapusnya enam bulan yang lalu. Cukup mengejutkan karena aku masih ingat kalau ini nomor telepon Ethan.
"Ino, bantuin aku, dong." Panggilan Ghina serta-merta mengembalikanku ke dunia nyata. Untuk dua hari ke depan, aku menginap di rumah sahabatku ini karena Leo sedang pergi ke luar kota. Meski ada ibu mertua dan pembantu rumah tangga, Ghina selalu minta aku bermalam di sini kalau suaminya dinas. "Bikin playlist buat calon bayiku."
"Huh?" Ghina, tanpa mengacuhkan ekspresi bingungku, memberi iPod padaku. Headphone yang terhubung dengan gawai tersebut diletakkan di atas perutnya yang semakin membuncit. Apakah hormon di usia kandungan menjelang tujuh bulan membuat tingkahnya semakin aneh?
"Kamu, kan, selama ini kasih dia musik klasik. And I'm clueless for this genre."
Ghina terkikik. "Kamu lihat dulu, dong, koleksi lagu di iPod itu, baru komentar."
Separuh enggan, aku menaruh ponsel di atas nakas dan memperhatikan iPod dari Ghina. Sebenarnya, aku yang memberi saran pada Ghina untuk memperdengarkan musik klasik secara rutin pada calon bayinya. Aku tidak menyangka dia ketagihan, padahal aku sendiri buta akan musik tersebut. Lantas, sekarang—
Tunggu.
Aku termenung saat melihat kumpulan lagu yang ada dalam daftar iPod milik Ghina.
Sejak kapan?
"Ghina." Aku menengadahkan kepala. "Kamu dengerin Copeland?"
Lawan bicaraku menunjukkan cengir singkat. "Ya. Enggak. Hmm, maksudnya, aku sering lihat kamu nyusun lagu mereka kalau mau nulis. Terus, aku coba dengar satu-dua lagu. Ternyata lumayan. Kira-kira, bakal bagus nggak ya buat janin?"
Aku mengangguk. "Coba dari album You Are My Sunshine dulu. It's quite soft than the other albums. Aku enggak menyarankan Ixora karena sebagian besar lagunya cukup sendu."
Ghina hanya mengangguk sambil lalu dan mengamatiku menyusun lagu-lagu dari album tersebut. Lantas, aku juga menyisipkan beberapa lagu dari album lain yang tone-nya hampir sama dengan Sunshine. Setelah selesai, aku mengisyaratkan Ghina untuk mengatur headphone-nya sebelum aku menekan tombol Play.
*
And it's fun to remember that Ethan is the one who introduced me to Copeland.
Ghina sudah tidur sejak setengah jam lalu sebelum lagu terakhir dalam playlist berakhir. Selain harus bermalam, dia juga memintaku untuk tidur di kamarnya. Syukurnya di sini ada sofa, karena aku tidak mau Ghina cedera gara-gara kakiku yang suka bertingkah brutal saat aku tidur. Jadi, sambil menunggu kantuk datang, aku kembali membaca pesan dari Ethan sebelum akhirnya menulis pesan balasan.
Kamu mau apa?
Err, wait, that sound rude, tapi aku sudah terlanjut mengirimnya. Lagipula, Ethan mana mungkin membalas—
Ternyata kamu belum ganti nomor.
—pesanku sebelum tengah malam.
Uh.
Seolah belum cukup buruk, Ethan meneleponku. Oh, astaga, dan alih-alih menekan tombol Reject, aku malah mengendap-endap ke arah balkon dan membuka pintu secara perlahan. Tanpa peduli dengan tamparan angin malam, aku mengangkat panggilan dari Ethan. "What?"
"Kalau kamu tidak suka, kenapa masih diangkat, Wine?" Aaah, sialan. "Kamu di indekos?"
"Enggak. Aku lagi di rumah Ghina. Ada perlu apa?"
"Aku harus punya alasan dulu ya buat ngobrol sama kamu?" Ethan mendesah. "Sama kayak waktu PDKT dulu."
Aku memutar bola mata. "Cut it out, Ethan. Kamu masih berpikir kita bakal jadi teman baik?"
Hening selama beberapa detik. "Maaf kalau kamu memang tidak suka. Aku hanya... merasa bersalah. Sudah cukup aku menjaga jarak dengan kamu. Aku bahkan sampai tidak tahu kalau kamu pindah kerja. Aku, yah, masih ingin berhubungan baik dengan kamu."
Geez. "Bagaimana kalau aku bilang enggak?"
"Oke." Aku pikir Ethan akan langsung menutup teleponnya, tapi dia masih bicara. "Tapi kalau kamu berubah pikiran, kamu masih bisa menghubungi nomor ini."
"Jangan berharap banyak." Aku mulai menggigil kedinginan. "I need to sleep. Night."
Aku langsung memutus percakapan tanpa menunggu Ethan menjawab. Aku sudah lama ingin melakukan hal ini. Berada di atas angin; mencampakan seseorang yang pernah menyakiti perasaan dan kepercayaanku.
Namun, saat aku kembali ke dalam, ada perasaan aneh yang menggerogoti hatiku. Aku berjalan mendekati Ghina dan kembali membetulkan letak selimutnya. Kemudian, aku mengambil iPod dan headphone, lalu melihat lagu terakhir yang didengarkan Ghina.
Should You Return.
Lantas, aku memasang headphone dan memutar lagu tersebut. Ketika suara Aaron Marsh masuk ke dalam telinga dan merambati benakku secara perlahan, kenangan-kenangan itu mulai merangkak keluar. Memenuhi dan membuat dadaku sesak.
But now there's nothing left to say to change your mind
And if you're unhappy still
I will be hanging on your lineShould you return
Should you return, should you returnShould you, Ethan?
*
KAMU SEDANG MEMBACA
The Playlist
RomansaWinona bukan hanya menilai presentasi dan rasa untuk ulasan kulinernya, tapi dia juga menambahkan opininya tentang musik latar yang diputar di tempat makan. Baginya, musik bisa mempengaruhi mood sedang makan. Semakin cocok suasana lagu dengan hidang...