[5] Memori

8.6K 869 30
                                    

Ketika aku meminta Ethan untuk berhenti mengontakku, dia benar-benar melakukannya. Tidak ada pesan singkat, apalagi panggilan yang masuk ke ponsel pintarku. Tapi, keberadaan kemeja biru langitnya benar-benar mengganggu. Jadi, setelah semua pakaianku bersih dan kering, aku langsung memasukkan kemeja itu ke kantung dan minta waktu pada Ethan untuk bertemu.

Lihat siapa yang menelan omongannya sendiri.

Sekarang, aku berdiri di depan rumah bercat putih; indekos Ethan selama tiga tahun terakhir. Aku tahu dia bukan tipe yang suka melempar ledekan, tapi aku yakin dia sempat tertawa saat membaca pesan singkatku. Tak lama berselang, pintu garasi terbuka dan sosok Ethan muncul dengan tampilan ala kadarnya.

Dalam artian mengenakan kaus kucel, celana pendek, dan rambut berantakan.

"Hai," katanya sambil menghampiriku. "Aku baru bangun waktu kamu SMS."

"Maaf. Aku juga enggak akan lama." Tanpa basa-basi, aku mengulurkan kantung berisi kemejanya. "Aku cuma mau mengembalikan ini sebelum pergi meliput."

"Sepagi ini? Sudah ada tempat makan yang buka pukul sembilan pagi?" tanyanya setelah membuka gembok dan mengambil kantung pemberianku. Dia melihat sekilas isinya, lalu membelalakan mata. "Ini...."

Aku menghela napas panjang. Percakapan ini harus segera diakhiri. "Kemeja sebagus itu enggak layak... ada di lemariku." Masuk tempat sampah terlalu kasar untuk diucapkan. "Kamu sayang banget sama kemeja itu, kan? Makanya kukembalikan lagi."

Ethan mengedik, lalu terkekeh sambil lalu. "Trims, Wine. Sebenarnya kamu tidak perlu mengembalikan kemeja ini. Dan karena kamu lagi ada di sini, mau bantu aku beresin ulasan album?"

Dia dengar tidak, sih, kalau aku mau pergi? Atau Ethan punya ingatan super pendek? "Aku... mau pergi, Ethan."

Bukan Ethan kalau menyerah secepat itu. "Aku sedang menulis ulasan album baru Copeland."

*

Tapi album baru Copeland sudah dirilis beberapa minggu yang lalu. Kenapa Ethan barus menulis ulasannya sekarang?

DAN KENAPA AKU MENGIYAKAN AJAKANNYA?

Tsundere Winona is tsundere.

Setelah enam bulan absen masuk ke ruangan ini, aku merasa pangling melihat kamar Ethan. Tidak seperti kamar indekosku yang sempit, kamar Ethan cukup luas dan bisa ditempati dua sampai tiga orang. Ruangan di lantai dua ini punya tiga jendela; dengan dua jendela panjang pada salah satu dinding. Jadi, Ethan tidak perlu mengandalkan lampu sebagai pencahayaan di hari-hari cerah seperti sekarang.

Di salah satu sudut ada rak kayu tinggi yang dijejali buku-buku koleksi Ethan. Satu-satunya sudut paling rapi dibandingkan wilayah lain di kamar ini. Ethan mengambil kursi kosong dan menempatkannya di depan meja kerjanya.

"Sini," katanya sambil menepuk bantalan kursi. Dengan hati-hati aku duduk dan menjaga jarak dengannya. Dia membereskan mejanya sambil menunggu laptop-nya menyala. "Kalau kamu masih menulis di majalah musik, aku yakin kamu akan ditunjuk untuk menulis ulasannya."

"Kenapa kamu baru menulis ini sekarang?" tembakku langsung.

Ethan membuka satu fail berjudul Ulasan Ixora. "Kamu tidak tahu? Mereka, kan, merilis versi Twin dari Ixora. Setelah mendengarkannya, aku malah menemukan sebuah teori."

Kemudian, Ethan memaparkan pendapatnya tentang Ixora: bagaimana kalau Copeland ternyata memutarbalikan strategi dari musisi kebanyakan? Selepas Ixora, Copeland merilis versi 'kembar' dari album tersebut, Twin. Isinya masih sebelas lagu dari Ixora, tetapi dalam aransemen yang berbeda.

"Kalau Ixora dan Twin diputar bersamaan, akan muncul versi quadraphonic dari sebelas lagu tersebut." Ethan mengambil jeda. Melihatku yang terus diam, dia bertanya, "Kenapa, Wine? Kamu beneran belum dengar atau gimana?"

"Aku tahu soal Twin itu, tapi belum pernah mendengarkan versi kuadra-kuadra itu."

Ethan tersenyum, lalu mengambil iPad-nya dari dalam tas. "Kamu harus dengar. Satu hal yang menyebalkan, aku tidak bisa mendengarkan dua album itu seperti dulu lagi," imbuhnya. "Bagaimana kalau versi quadraphonic itu adalah versi sesungguhnya dari album kelima Copeland? Mereka memecah 70 persen ke Ixora dan 30 persen ke Twin, lalu saat digabungkan, kita mendapat bagian utuhnya."

Aku mengerjap tidak percaya. "Kamu berpikir sampai sejauh itu?"

"Musisi lain melempar versi utuh, lalu menyusul demo atau remix sebagai bonus. Tapi Copeland... aku rasa mereka berhasil melakukan kebalikannya." Ethan membuka folder berisi lagu-lagu Copeland dari album Ixora di laptop dan Twin di iPad. "Apa lagu favoritmu?"

"I Can Make You Feel Young Again." Lagu itu satu-satunya nomor paling optimis di tengah kesenduan yang ditawarkan lagu-lagu lain.

"Perhatikan." Ethan menekan tombol Play secara bersamaan di kedua gawai tersebut. dalam waktu beberapa detik, aku mendengar lagu tersebut dalam aransemen yang... bagaimana aku harus mendeskripsikannya?

Ethan benar. Sepertinya Ixora dan Twin adalah dua kepingan puzzle yang saling melengkapi.

"Is it a joke?" Aku tidak bisa menahan senyum kekagumanku. "What the hell, Aaron Marrsh."

"Benar, kan?" Ethan menutup aplikasi penutup musik dari gawainya. "Jadi, apa menurutmu aku bisa menulis teori ini dalam ulasanku?"

Aku mengangguk. "Lanjutkan."

Setelah itu, kami bersitatap dalam diam. Sekarang, kenapa aku yang tiba-tiba jadi pelupa? Bukankah aku punya sesuatu yang penting dikerjakan alih-alih mengobrol bersama Ethan?

"Wine, bukannya kamu mau pergi meliput?" tanyanya, memecah lamunan. "Atau masih ada yang ingin kamu sampaikan."

Oh. OH IYA. "Tidak, sudah cukup. Aku pamit pergi kalau begitu."

Ethan beranjak dari kursi untuk membukakan pintu. Aku menyapukan pandangan sekilas ke kamarnya—salah satu tempat yang menyimpan banyak kenangan tentang kami berdua. Dulu. Ketika kembali menoleh ke arah pintu, Ethan ternyata sedang bersandar memandangiku.

"Obrolan tadi... semoga aku bisa punya banyak waktu untuk mendapatkannya lagi."

"Jangan mellow gitu." Aku meraih pegangan pintu. "I'm—"

Belum sempat aku mengakhiri ucapan, Ethan menunduk dan meninggalkan satu ciuman di pipiku.

Oh.

Oh sial.

*

The PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang