[1] La Belle Luna

27.9K 1.2K 46
                                    

It's still five o'clock in the morning when I wake up.

Sayup-sayup, aku mendengar tetesan air hujan mendarat di berbagai tempat—atap, kosen, kaca jendela, panci bekas. Ritmenya membuatku tenang, sekaligus kesepian di waktu yang bersamaan. Kemudan, aku mengambil ponsel di atas nakas—membiarkan cahaya dari layar menjadi satu-satunya penerangan di dalam kamar.

Aku langsung membuka aplikasi pemutar musik dan memutar lagu yang terngiang sejak aku bangun tadi. Serta-merta, suara mendayu seorang pria bergabung bersama rinai hujan. Menciptakan suasana yang kian sendu.

Kemudian, dalam dekapan selimut tebal, aku mengambil posisi duduk dan menyingkap tirai. Alih-alih melihat sinar kemerahan dari ufuk timur, aku mendapati langit kelabu kehitaman di luar. Aku menyeka lapisan embun di jendela, lalu menyelia rumah-rumah beratap cokelat tua di bawah. Satu-satunya tanda kehidupan yang kutangkap hanya pendaran lemah lampu-lampu dari teras.

Pagi yang muram di pertengahan bulan November.

Kemudian, aku menoleh ke dalam kamar—tepat ke seberang ruangan. Dari pantulan cermin lemari, aku menangkap siluet tengah meringkuk. Aku tahu sosok itu tidak mengenakan apa-apa selain selimut yang melindungi tubuhnya. Kami bertukar pandang; tangan terulur seolah ingin menggapai satu sama lain.

Namun, kala udara dingin menerpa kulit, aku cepat-cepat menarik tanganku.

Aku mengambil napas panjang—menahan dorongan dari dalam dada. Get up, bisik sebuah suara dari dalam benakku. Diam seperti ini hanya akan menghancurkan pagimu. Setelah berhasil mengatur napas, aku mengambil kaus kebesaran dan pakaian dalam di ujung ranjang. Aku mengenakannya satu-satu sambil merapalkan doa untuk menenangkan pikiran.

Semuanya akan baik-baik saja.

                *            

Ketika aku keluar dari indekos menjelang siang, langit mulai berubah warna. Awan-awan kelabu tadi kini pecah menjadi gumpalan awan putih. Matahari menampakan diri dengan cahaya hangat. Sambil menapaki jalan, aku menghirup aroma perpaduan air hujan dan tanah—kadang sampah, kalau boleh kutambahkan.

Sambil menunggu angkutan umum, aku memeriksa notifikasi baru. Aku langsung membuka pesan dengan nama pengirim Ghina.

La Belle Luna, pukul satu.

Kebetulan sekali, aku sedang ngidam makan spaghetti bolognese.

Di dalam angkutan umum, aku mencari sejumput informasi mengenai La Belle Luna. Mesin pencari hanya menampilkan beberapa tautan valid—artinya tempat makan tersebut baru dibuka. Itu bukan berita bagus untukku, tetapi akan menjadi kebanggaan tempat kerjaku.

Setengah jam kemudian, aku sudah berdiri di depan La Belle Luna. Tempatnya mengingatkanku pada kafe-kafe mungil di pinggir kota Roma. Tanaman rambat menutupi dinding bangunan bata merah. Jendela-jendela terbuka; mengekspos furnitur kayu yang mendominasi. Di halamannya, ada meja piknik dan bangku panjang. La Belle Luna kontras sekali dengan bangunan ala Eropa di sisi kanan-kiri.

"Inooo!" Seorang perempuan berambut bob melambaikan tangan ke arahku. Senyuman kekanakkan terukir di wajahnya. "Aku kira kamu datang lebih awal."

"Traffic." Aku menaruh tas selempang di bawah meja. Kendati kami berkunjung di jam makan siang, sebagian besar meja di dalam ruangan masih kosong. "Hei, tempat ini baru buka atau gimana, ya?"

Ghina menghela napas berat. Salah satu tangannya mengelus perutnya yang kian besar. "Baru soft opening. Manajer restoran mengundang media-media kuliner, termasuk YummyFood buat mengulas La Belle Luna."

The PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang