[4] Nachos & Guacamole

9.2K 882 27
                                    

[Ghina] Ino, ingat ya sore nanti kita ke restoran Meksiko. Aku udah kirim detailnya ke e-mail.

Air liurku nyaris menetes saat membayangkan burrito dan nachos.

Setelah memeriksa surel kiriman Ghina, mataku kembali memperhatikan tumpukan pakaian setengah basah di dalam keranjang cucian. Darn, selama tiga hari berturut-turut aku nyaris tidak melihat matahari karena hujan. Langit pagi maupun sore tidak jauh berbeda karena terus diliputi awan-awan kelabu. Ini berarti bencana bagi anak indekos yang ingin menjemur pakaian mereka saat sedang tidak sibuk. Aku terpaksa menggunakan jasa penatu.

Tapi, bagian terburuknya adalah... tidak ada baju yang tersisa selain satu celana jeans dan... pakaian dalamku. Aku berniat untuk pinjam satu atau dua potong pakaian Ghina sebelum ingat kalau ukuran baju kami sekarang jauh berbeda. Sambil memikirkan jalan keluar, aku merapikan kardigan dan jaket sampai menemukan sepotong kain berwarna biru langit. Setengah kebingungan, aku merentangkan kain tersebut.

Oh, kemeja. Kemeja laki-laki.

Kemeja Ethan.

Serta-merta pipiku memanas. Kalau sudah bertemu urusan begini, otakku malah dengan cepat memberitahuku bagaimana kemeja ini sampai ada di tempatku.

Tunggu, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Sejak dulu, aku suka kemeja laki-laki dan iri dengan koleksi Ethan. Salah satunya kemeja biru langit ini. Setelah memaksa, merengek, dan merajuk, dia akhirnya memberikan pakaian tersebut padaku. Selama beberapa bulan, aku sering memakainya untuk jalan-jalan sampai tidur.

Bahkan satu minggu pasca-putus pun masih kupakai.

Aku memandangi kemeja itu selama beberapa detik. Sekarang apa? Kalau seandainya aku punya pakaian lain, sudah kubuang kemeja ini ke tempat sampah.

Nyatanya, aku tidak punya pilihan lain sekarang.

*

"Aaah, aku suka makanan Meksiko," pekik Ghina begitu pesanan kami datang. Dua burritos beef memenuhi meja kami yang terlampau kecil untuk porsi sebesar ini. Ghina mengambil kameranya, lalu memotret burritos dari berbagai sudut. Tentu saja ini buat keperluan dokumentasi kami, bukan untuk ajang narsis di Instagram.

Ghina menyantap burritos-nya tanpa basa-basi. Aku, alih-alih ikut makan, malah membuka catatan dan menulis beberapa hal penting sebelum menguap karena kekenyangan. Cukup mengejutkan saat mendapati diriku mulai terbiasa dengan profesi ini. Sebelum bekerja di YummyFood, aku memperlakukan makanan laiknya kaus kaki—selama murah dan enak, aku pasti beli.

Namun, hal itu tidak berlaku sekarang. Lidahku harus kritis dengan rasa.

"Ino, kalau kamu enggak mau makan burritos-nya, aku gasak juga, lho," goda Ghina. Aku kaget mendapati piringnya yang separuh penuh. "Aku bakal kasih rating 5 buat tempat ini, bahkan sebelum aku icip taco-nya."

"Playlist-nya aku kasih 2.5. Harusnya mereka enggak masukin lagu Hellogoodbye." No offense, penggemar Hellogoodbye. Aku suka dengan nuansa tempat makan ini. Warna dinamis seperti merah, kuning, dan hijau mendominasi mural-mural pada tembok. Bahkan ada kutipan-kutipan dalam Bahasa Spanyol di beberapa sudut. Hanya saja, ya, mereka malah memutar lagu-lagu Top 40. Seandainya mereka memutar lagu khas Meksiko yang kaya akan alat musik seperti mariachi, rattle, dan drum, pasti rating-nya sudah 4.

Aku menutup buku, lalu mencicipi nachos dengan guacamole. Ghina malah cekikikan mendengar keluhanku. "Aku enggak peduli sama musiknya, yang penting makanannya enak."

Menit-menit selanjutnya kami habiskan dengan gumaman pujian di sela-sela santapan. Sesekali, sambil merasakan tekstur nasi, kacang merah, dan daging sapi, aku mencatat draf. Sebagai satu-satunya restoran Meksiko di Bandung, tempat ini berhasil membawa pengunjung ke negeri tersebut lewat hidangannya.

"Ino." Ghina mencondongkan kepalanya ke arahku. "Kamu pakai kemeja cowok, ya?"

"Uh?" Aku melirik kemeja biru langit yang kukenakan. Bagaimana Ghina bisa tahu kalau ini kemeja laki-laki? Padahal aku sudah menutupnya dengan jaket.

Ghina mengulurkan tangan dan menyentuh kancing teratas yang tidak dikaitkan. "Kancingnya ada di kanan. Kalau kemeja cewek pasti di kiri."

Ghina tahu aku pernah pacaran dengan Ethan. Tapi, kalau dia tahu ini kemeja milik mantanku, dia bisa ceramah tentang tips move on dua jam penuh. "Aku suka kemeja cowok. You know, it has no curves. Bisa menyembunyikan bentuk tubuhku yang enggak keruan."

"Oh." Ghina kembali duduk, lalu menyeruput jus jeruknya. Setelah semua makanan tandas, kami tidak bicara untuk mengistirahatkan perut. Kemudian, Ghina memecahkan keheningan dengan, "Aku enggak suka bilang ini, tapi, Ino... ini kali terakhir aku nemenin kamu liputan."

Aku nyaris terjengkang dari kursi. "Lho? Kamu mau ke mana?"

"Aku dan Leo kemarin konsultasi dan dokter nyaranin aku supaya cuti." Raut wajahnya yang tadi cerah jadi muram seketika. "Setelah syukuran nanti, aku ngurus kerjaan dari rumah. Enggak apa-apa, kan, No? Kamu udah bagus, kok."

Meski berat, aku mengiyakan dengan satu anggukan mantap. Ghina kembali tersenyum dan mengalihkan topik ke kelas-kelas yoga dan senam khusus ibu hamil yang akan dia ikuti. Lantas, seperti biasa, aku harus ikut terlibat dan menemaninya nanti.

Aku tidak banyak protes, karena itu memang janjiku: mendampingi Ghina sampai dia melahirkan.

*

The PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang