Seolah ciuman Ethan belum cukup buruk, aku dibuat kebingungan karena tidak mendapatkan banyak informasi tentang tempat makan yang akan kuliput. Bahkan surel dari Ghina tidak banyak membantu. Aku hanya mendapatkan informasi nama dan alamat tempat tanpa ada keterangan lain seperti blog atau situs resminya. Aku berasumsi kalau tempat makan ini masih terbilang baru, sangat baru sampai-sampai pemiliknya belum sempat membuat blog atau akun di jejaring sosial.
Nama tempat itu adalah No. 46 dan, menurut alamat yang dikirim Ghina, terletak di kawasan Dago. Sayangnya, No. 46 tidak terletak di pinggir jalan raya, tetapi menyempil di sebuah jalan kecil yang tidak dilalui angkot. Bagus. Sekarang, bermodal peta digital dan plang nama jalan, aku harus mencari tempat di antara rumah-rumah berpagar tinggi dan pepohonan besar.
Satu hal menyebalkan, nomor-nomor rumah di sini tersusun acak.
Baru sekitar setengah jam kemudian, aku menemukan rumah berlantai dua dengan angka 46 tertera di samping gerbang. Awalnya aku ragu jika tempat ini yang akan kuliput, sampai segerombolan pemuda—yang kuasumsikan mahasiswa—memasuki pekarangan. Aku lantas mengekor mereka. Ada beberapa motor dan dua mobil terparkir di sekitar garasi.
Sesampainya di teras, aku mendengar suara obrolan yang sesekali diselingi tawa, serta denting alat makan beradu. Ada meja kasir yang terletak tak jauh dari pintu dan seorang pemuda berkaus krem berdiri, lalu menyambutku dengan senyuman.
"Selamat siang," sapanya. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya Winona dari YummyFood." Aku menunjukkan ID card padanya. "Apa saya bisa bertemu pemilik tempat ini?" Astaga, aku canggung sekali. Meski sudah lama bekerja di majalah musik dan melakukan wawancara dengan banyak musisi terkenal, wilayah ini tetap baru bagiku.
Si pemuda kaus krem mengangguk. "Mari saya antar."
Sekilas, aku bisa menangkap kalau No. 46 adalah tempat makan dengan konsep homey. Ruangan di sini tampak luas karena kamar-kamarnya dihilangkan dan diisi dengan meja dengan sofa serta kursi kayu. Ada dua tempat lesehan yang menempati dua sudut ruangan. Untuk membatasi beberapa meja dengan kapasitas empat sampai lima orang, ada sekat yang terbuat dari rotan bermotif bunga.
Meski sudah mendekati makan siang, baru ada empat meja yang ditempati. Aku mengikuti si pemuda kaus krem ke bagian belakang; semakin jauh dari meja kasir. Dia ternyata membawaku ke sebuah pintu kaca dan dari sana, aku melihat mini bar yang diisi oleh sekelompok orang. Di bagian dalam bar, ada seorang pria yang sedang sibuk mengolah makanan sambil sesekali tertawa menanggapi obrolan dari kelompok tersebut.
"Silakan." Si pemuda kaus krem membukakan pintu. "Pak Aries ada di bar."
Eh, siapa? Alih-alih bertanya, aku hanya mengangguk dan membiarkan dia kembali ke pos tugasnya. Aku menghela napas panjang, lalu berjalan menghampiri mini bar tersebut. Sesaat, mereka tidak menyadari kehadiranku sampai seorang wanita berambut brunette mengalihkan pandangannya padaku.
"Permisi." Why Ghina has to take a rest when I need her the most? "Saya Winona dari YummyFood."
Serta-merta, mereka mengalihkan perhatian padaku. Sedangkan si pria di balik mini bar tersenyum hangat dan menyahut,
"Hai, Winona, kami sudah lama menunggumu."
*
Kami? Dan, apa yang menyambutku tadi adalah pemilik No. 46?
Pria di balik mini bar membisikkan sesuatu pada wanita berambut brunette. Selanjutnya, wanita itu mengisyaratkan teman-temannya untuk meninggalkan tempat. Aku lantas memberikan jalan untuk mereka menuju pintu kaca. Kecuali si rambut brunette, orang-orang di kelompok tersebut melempar senyum hangat padaku.
"Silakan, Winona." Si pria mini bar sekarang mengenakan kacamata berbingkai dan membuat bentuk wajahnya yang persegi semakin jelas. "Saya Aries, pemilik No. 46."
Aku segera mengambil tempat pada kursi yang menyajikan view dapur mungil di balik meja. Mini bar ini didominasi kayu solid dengan tambahan marmer berwarna krem kecokelatan. Hanya freezer-nya yang tampak futuristik karena bahannya terbuat dari stainless steel.
"Saya pikir kamu datang dengan Ghina." Aries mengejutkanku sambil membawak buku menu. "Dia sudah ambil cuti, ya?"
"Iya. Umh, kamu kenal Ghina?" Aku mengamati buku menu bersampul imitasi kulit di atas meja.
Aries hanya membalasnya dengan senyuman alih-alih menjawab pertanyaanku. "Maaf kalau kami membuatmu canggung tadi. Saya harap kalau mengobrol empat mata seperti ini, kamu bisa lebih leluasa untuk bertanya dan melakukan penilaian."
Indeed. Aku mulai memeriksa makanan dan minuman di dalam menu. "Jadi, namamu Aries? Maksud saya, Aries seperti nama rasi bintang itu?" Bukan hanya untuk kepentingan jurnalistik, tetapi aku penasaran karena dia melafalkan namanya dengan dua silabel—ar-yes. Bisa saja namanya Aryes, bukan Aries.
Pria di hadapanku mengangguk. "Namamu bagus juga. Winona artinya anak perempuan pertama, kan?"
Aku tersenyum hambar. Kenapa kami tiba-tiba jadi mendiskusikan nama? Lantas, aku kembali fokus mengamati menu dan mengambil nama paling familier supaya Aries bisa sibuk memasak. "Saya mau coba cokelat panas cinnamon dan jamur gorengnya dulu."
"Oke." Aries langsung membuka lemari penyimpanan dan mengeluarkan bahan-bahannya. Apa dia sengaja memasak demi liputan ini? Tidak mungkin, kan, dia memasak semua pesanan di No. 46 sendirian? Pasti melelahkan. Sambil menunggu pesananku datang, aku mengeluarkan buku catatan dan akan melakukan sesi penilaian terlebih dulu pada—
Hei.
Aku tertegun sejenak, lalu berusaha menajamkan pendengaran. Selain suara pisau yang sedang memotong cokelat dan sayup angin dari ruang terbuka di belakangku, apa tidak ada suara lain? Apakah telingaku bermasalah?
Mataku memandangi punggung Aries dengan rasa tidak percaya luar biasa.
Kenapa aku baru menyadarinya?
Di mana musik latarnya?
*
KAMU SEDANG MEMBACA
The Playlist
Roman d'amourWinona bukan hanya menilai presentasi dan rasa untuk ulasan kulinernya, tapi dia juga menambahkan opininya tentang musik latar yang diputar di tempat makan. Baginya, musik bisa mempengaruhi mood sedang makan. Semakin cocok suasana lagu dengan hidang...