26 | catastrophe

11 9 0
                                    

Coba katakan padaku, apa yang menarik dari wajahnya semenjak kepergian Ibu, dirundung teman, kondisi ekonomi, dan perubahan Ayah? Senyumannya telah menghilang. Tatapannya kering. Cahayanya redup. Langkah kakinya pun tak gagah. Dia sangat rapuh. Memori masa kecilnya yang berubah drastis terekam jelas, membekas dan entah kapan akan dimaafkan. Dia masih anak-anak yang belum sepenuhnya mengerti, soal dunia, soal keluarga, pertemanan, apa saja. Tentunya aku pun hanya anak-anak, yang tumbuh lebih cepat menjadi remaja, kemudian beranjak dewasa.

Aku cukup mengerti bahwa kehidupan itu bergulir. Tidak selamanya kebahagiaan menyertai, tidak pula dihantam kesedihan terus-terusan. Mereka akan silih berganti mengisi hidup masing-masing manusia, saling melengkapi. Tanpa salah satunya, kau tidak bakalan merasa hidup. Adikku mungkin saja terguncang, tapi sebentar lagi aku yakin dia akan menemukan sesuatu yang baru dan merasa lebih baik. Aku sengaja tidak banyak mengarahkan, sebab aku ingin dia menemukannya dan bangkit sendiri.

Hari itu, kuharap aku benar: hari di mana Minhyun membawa temannya ke rumah untuk pertama kali. Aku dapat merasakan pertemanan mereka tulus. Temannya itu tidak berniat buruk pada Minhyun─walaupun masa depan bisa jadi berubah, setidaknya untuk saat ini tidak. Dan, aku melihatnya, sosok Minhyun yang tak begitu pundung. Kabar bagus. Dia tidak sendirian lagi.

Aku tak yakin kapan gangguan-gangguan di sekolahnya dimulai dan mengakibatkan Minhyun ditusuk rasa kesepian. Dengan kehadiran satu orang teman saja, satu teman yang setia dan tidak bermuka dua, efeknya sangat luar biasa, tahu? Seperti aku dan Jaehwan selama bertahun-tahun sejak awal SMP. Ia bukan seseorang yang langsung menjadi sahabatku, tetapi bukan itu yang ingin kubicarakan. Yang kuinginkan adalah membicarakan beberapa hal tentang Minhyun, tentang temannya yang itu, tentang awan hitam yang menyelimuti hidup Minhyun.

Si teman memperkenalkan diri sebagai Kang Dae-in. Dia anak yang baik, sifatnya periang─betulan berbanding terbalik dengan Minhyun yang suram. Itu artinya pertemanan mereka saling melengkapi. Sesungguhnya aku telah banyak melakukan riset dan rata-rata orang berkata mereka baru menemukan teman sejati sewaktu masuk sekolah menengah. Pertemanan anak-anak kecil bisa saja kandas tanpa sebab dan tidak berlangsung lama, lebih riskan putus komunikasi lantaran melanjutkan studi ke sekolah yang berlainan gara-gara menurut orang tua.

Aku gembira dengan perkembangan Minhyun punya satu teman, tapi aku tetap mencemaskan kemungkinan mereka berpisah di sekolah menengah kelak. Aku menaruh atensi penuh cerita Minhyun tentang Dae-in yang kadang-kadang diceritakan saat makan malam. Dia tampak tidak terlalu stres lagi menghadapi gangguan-gangguan di sekolah. Semua berkat Dae-in. Mereka kian dekat, dan kuharap kekhawatiranku salah besar. Kalau mereka ingin sama-sama mendaftar SMP X, dengan senang hati aku akan mengizinkan. Aku bisa mengerti kondisi Minhyun yang sulit berteman.

Musim panas itu, tepat ketika naiknya udara panas dan bertahan setiap waktu, Minhyun mengatakan jika Dae-in mengajak kami liburan ke daerah Gurye-gun, Jeollanam-do, dan menginap di vila di dekat Gunung Jiri. Sungguh, butuh beberapa detik untuk menyadari Dae-in berasal dari keluarga kaya raya dan dia sudah berani mengajak temannya bermain di sana, di lingkungan keluarganya yang─katakanlah─elit. Jaehwan, sahabatku, dia memang kaya, tapi sekalipun mampu menyewa vila untuk liburan, ia tidak sepercaya itu sampai berani membawa pihak luar kalau-kalau kami bertemu sewaktu SD. Di usia kami yang sekarang, kurasa wajar-wajar saja (itu pun membayar masing-masing), tapi anak-anak di bawah sepuluh tahun ... aku sangat parno.

"Kakak tidak mengizinkan, ya. Aku sudah menduganya." Menyadari aku tak kunjung menjawab (aku terbengong-bengong lama sekali), Minhyun merajuk dengan nada sedih nan terluka. "Mungkin Kakak bisa bantu aku bicara padanya? Dae-in memaksa sekali aku harus ikut."

Adikku benar-benar ingin pergi, tentu saja, melepaskan diri sejenak dari rantai yang menjemukan di rumah; menghindari Ayah dan sumpah serapahnya, Ayah dan tindakan kasarnya, serta Ayah dan kejutan lainnya. Aku menatapnya penuh arti, berusaha memberi kesan bahwa bukannya tidak boleh, hanya bimbang. Sebelum memutuskan, aku menanyakan rencana liburan ke vila itu lebih lanjut: bagaimana kami pergi ke sana, biayanya, makanannya, segala macam. Minhyun menjawab dengan percaya diri, Dae-in akan mengurus semuanya.

LunarcasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang