02 | this is what school is like

65 20 4
                                    

Pukul 7.45 pagi. Aku berangkat sekolah naik bus dan satu-satunya agendaku hanyalah bertahan sampai petang hari nanti.

Sekolahku bukanlah sekolah favorit, bukan pula sekolah buangan tempat anak-anak dengan nilai terbelakang. Namanya SMA Kyori, terletak di tengah Distrik Geumcheon sehingga tak ada yang spesial untuk distrik yang penghasilan ekonominya rendah kendati menumpang di kota elit Seoul. Yang perlu murid-murid menyedihkan sepertiku lakukan di sana adalah mempertahankan nilai. Namun kurasa aku sudah lupa bagaimana caranya mentrasfer ilmu pengetahuan ke otak.

Tadinya aku berniat sekolah di SMA lain yang terbilang murah, tapi berhubung jaraknya jauh dan SMA Kyori dapat ditempuh dengan jarak 935 meter dari rumah, aku berubah pikiran. Kak Jisung pernah meminta maaf sebab tak bisa menyekolahkanku di sekolah bagus (padahal dia alumni SMA Kyori), tapi aku kan sudah kehilangan minat hidup bahkan untuk belajar sekalipun. Materi yang diberikan serupa, sistem pengajarannya saja yang berbeda. Aku tak masalah bila tempatku bersekolah tergolong bobrok, toh sejak awal di mataku tak ada masa depan cemerlang.

Pada tahun pertama, aku sudah menyesal duluan─sama seperti sebelumnya, sekolah dasar dan menengah pertama. Tempat terkutuk bernama sekolah di mana pun itu ... sama sekali tak cocok menjadi habitatku. Padahal aku berharap bisa pura-pura sibuk belajar dan menyandang gelar murid teladan, tapi bertahun-tahun aku sangat stres. Kebanyakan "teman"-ku yang kukenal dari zaman SD dan SMP di Distrik Geumcheon, masuk ke SMA Kyori. Kalau kau kenal mereka, kau akan tahu betapa ironisnya lagi-lagi berada dalam lingkungan yang sama. Mengingat aku adalah seonggok daging eksentrik yang patut dijauhi, maka secara tidak langsung gelar anak buangan sudah dikalungkan pada leherku.

Ada sekitar dua ratus orang lebih di setiap angkatan. Aku benci mengakuinya, tapi tak ada yang pernah mengulurkan tangannya padaku. Terkucilkan. Eksistensi yang tak diakui. Diinjak-injak. Menyapa dan mendekati mereka duluan? Tidak terima kasih. Selama hampir delapan tahun aku menahan perasaan ini; bagaimana lingkup sosial sekolah menjadikanmu ketakutan berjumpa manusia lain. Sugesti yang kuberikan mengenai sekolah masih menguntungkan dibanding rumah lamban laun pudar juga.

Kalau bukan karena Kak Jisung dan alasan berpura-pura belajar, aku pasti tak sudi menginjakkan kaki ke sekolah. Memangnya siapa yang berpikir aku mau terus-menerus menerima bom kesakitan ini? Aku tetap bertahan karena tak ada hal lain yang dapat kulakukan. Satu-satunya cara agar Kak Jisung tidak khawatir adalah melakoni hidup seperti orang lain.

Di SMA Kyori, tidak ada undian acak setiap tahun siapa-siapa saja yang akan menjadi teman sekelas. Semuanya sudah ditetapkan dari kelas 10. Selama tiga tahun kau harus bisa menahan rasa bosan sebab teman sekelasmu itu-itu saja. Bagiku, dimasukkan ke kelas B sungguh sebuah kesialan. Aku sekelas dengan hampir seluruh orang-orang yang hobi berperilaku buruk, dan aku mengenal mereka.

Riwayatku tamat. Tak ada yang bisa diharapkan dari situasi ini.

Aku sudah tiba di depan gerbang. Atmosfer kegelisahan menyelimuti hati. Aku tidak berani memandang wajah para murid yang melintas, sebab pasang mata mereka menakutkan. Mata yang bersinar merah itu pasti menertawakanku dan ingin aku segera menyingkir, seakan-akan eksistensiku di antara mereka termasuk dosa. Jadi sepanjang perjalanan menuju kelas di lantai tiga aku menundukkan kepala.

⊹⊹⊹

Ong Seungwoo mendorongku ke pojok begitu aku melangkah masuk ke kelas.

"Oi, sudah membuat esai bahasa Inggris?" semburnya, menengok sebentar ke belakang untuk memberi instruksi pada pasukan. Im Woojin dan Jeon Wonwoo pun ikut-ikutan mengerumuniku, sementara Han Sungwoon mengamati dari bangkunya.

"Dia tidak akan memberikan hasil kerja kerasnya pada kita," ketus si Jeon, tangannya terangkat memainkan dasiku dan tersenyum miring. "Ei, kira-kira apa yang harus kita lakukan?"

LunarcasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang