13 | seems like he's desperate to choose

30 11 0
                                    

Keesokan paginya, aku memeriksa pesan masuk di ponsel jadulku yang sudah diisi daya baterainya. Kira-kira sesaat setelah terbangun pukul lima, aku langsung menyambungkan kabelnya ke stopkontak samping kasur. Benda canggih itu terasa asing di genggamanku─barangkali aku bagaikan anak era dinasti yang tersesat lewat mesin waktu. Sembari menunggu terisi penuh, aku berbaring tanpa suara, menatap langit-langit ruangan bernuansa merah, pokoknya penuh penghayatan serta keheningan.

Setidaknya pagi hari ini otakku terasa segar dan waras, seolah baru diprogram ulang. Aku pun tidak perlu mini cutter atau benda tajam lainnya untuk menyalurkan perasaan yang mengotori hati dan pikiran.

Tidak ada Ayah. Aku bebas. Kak Jaehwan menyelamatkanku.

Kembali pada pesan masuk, tentu saja yang terbaru dari Daniel, kemarin pukul 22.10. Minhyun? Kau menyalakan ponselmu? Kau tahu, aku minta maaf telah membuatmu ikut terluka. Terima kasih juga atas keberanianmu. Istirahatlah dan sampai jumpa ... lusa? Kemudian ada pesan baru lagi darinya, hari ini pukul 5.23. Masih belum balas? Jangan-jangan ponselmu kembali dimatikan?

Waktu saat ini pukul 6.40. Aku balas mengetikkan, Tak perlu minta maaf dan bilang terima kasih. Ponselku kemarin mati jadi kubiarkan begitu. Hari ini kau absen?

Aku memperhatikan jam dinding yang berdetak konstan dan lirih. Satu menit, dua, tiga, sepuluh. Kukatakan pada diriku sendiri barangkali dia sedang melakukan hal lain. Dan sebaiknya aku juga; merapikan kasur atau membasuh muka, misalnya. Tapi aku masih ingin sendiri. Barangkali ini bisa disebut kebebasan mutlak milikku yang tak kudapatkan di rumah.

Balasan masuk. Daniel menulis: Belum diputuskan. Aku ingin sekolah.

Oh, benar. Biar bagaimanapun Daniel seorang murid disiplin yang teladan. Aku memikirkan apa yang sebaiknya kutulis. Bagaimana kondisimu? Tak perlu memaksakan diri. Kita masih punya banyak waktu. Mendadak, aku tertawa sendiri. Kalimat terakhir sangat menyindir seorang Yeon Minhyun.

Daniel: Aku mudah bosan. Belajar di sini pada pagi dan siang hari tidak membantuku. Aku perlu bertemu orang lain.

Aku: Untuk mengomeli kesalahan mereka, ya kan.

Daniel: Yang benar mengoreksi dan aku bukannya sok-sokan berpatroli. Kadang melihat orang lain melanggar peraturan sangat menggangguku. Aku tidak bisa berhenti memberi penjelasan secara langsung.

Aku: Tidakkah kau sadar itu bisa menjadi sangat menjengkelkan?

Daniel: Mungkin.

Aku: Karena itulah mereka menghajarmu kemarin.

Daniel: Benar. Tapi itu lain hal. Aku bahkan tidak menumpahkan minumannya.

Aku bertanya-tanya apakah dia sudah menyadari betapa mengerikannya dunia sosial sekolah atau menjadi sedikit trauma. Namun kurasa itu tidak mungkin. Daniel bukanlah pengecut sepertiku. Ditinjau dari caranya berekspresi di pesan, dia tampak acuh tak acuh seperti biasa. Di lain kesempatan, sewaktu Jeon dan kawan-kawannya bertemu Daniel lagi, kira-kira apa yang akan terjadi? Para gangster itu telah memiliki catatan skors, mereka pasti dalam tahap percobaan dan harus menahan diri. Berita bagus. Kuharap mereka tidak menggangguku terlalu parah─bukannya aku pesimis, tapi mereka jelas bakalan selalu menyenggolku dalam permainan atau masalah.

Lantaran tak kunjung mengetikkan balasan, Daniel melanjutkan, Kau percaya rumor bodoh itu?

Perlu tiga menit untuk menjawab tidak. Tadinya aku kepingin bilang, aku tidak percaya pada segala celotehan penghuni sekolah. Tingkat khayalan mereka dalam menyakini sesuatu terlampau tinggi, yang kemudian berujung merajut fiksi. Aku bahkan sudah mengetiknya, meski akhirnya dihapus dan diganti kata tidak. Pernyataan tersebut terlalu ekstrim, soalnya aku juga masih percaya pada beberapa berita─yang tentu saja kebenarannya terbukti.

LunarcasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang