20 | the eerie guilt

74 12 3
                                    

Ini akhir minggu di bulan Mei, yang artinya waktu berlalu terlampau cepat sampai-sampai aku tidak menyadarinya. Kurang dari dua bulan lagi ujian dan libur musim panas berlangsung, aku mana peduli? Ayah masih menghilang, suasana sekolah seperti yang kukatakan, menghadiri kelas konseling, lalu Kak Jisung dan usahanya tidak berubah. Beberapa hal cukup menggangguku, seperti sakit kepala dan suara-suara samar. Sekalipun aku mulai berjalan pada kebebasan, nyatanya aku tidak membuat perubahan apa pun; tetap hambar, melangkah maju beberapa langkah, lalu mundur dua kali lipat.

Namun satu hal, aku berhenti mengiris lenganku. Entah bagaimana terjadi begitu saja. Tidak ada yang menekan perasaanku sehingga aku merasa tak perlu melakukannya. Perubahan kecil itu kuanggap bukanlah apa-apa, sebab aku tidak yakin akan berlangsung lebih lama. Mari kuperjelas, aku belum menyerah untuk merealisasikan keinginanku.

Percayalah, aku bahkan tidak tahu mengapa masih menginjakkan kaki di dunia terkutuk ini.

Mungkin aku memang baik-baik saja, dengan sedikit kebebasan mutlak, tapi hati terisi kekosongan. Sekalipun aku masih hidup, aku tetap tak memiliki tujuan dan rencana masa depan. Sama saja tak berarti, bukan? Malahan rasanya lebih memuakkan tanpa kejujuran hati apa pun─maksudku tak ada tekanan yang menjadikan tangisan dan amarah, hanya keluhan sesaat. Bukannya aku merindukan mereka, kutahu seharusnya aku bersyukur hidupku berjalan datar tanpa hambatan. Nanti tatkala dihantam badai besar, hal tersebut bakalan menarik segala ucapanku.

Seiring berlalunya waktu, aku terus menghitung dan menunggu.

⊹⊹⊹

Sewaktu aku tengah membereskan rak piring, Ayah tiba-tiba pulang. Aku mendengar pintu menjeblak terbuka dan sepertinya rusak. Belum sempat aku keluar dari dapur untuk menghampirinya, Ayah yang berjalan sempoyongan mendatangiku duluan. Kondisinya jauh lebih menyedihkan dan berantakan dari yang terakhir kali kuingat. Wajah dan matanya tampak merah, kentara tidak tidur selama beberapa hari. Bau alkohol menguar tajam.

Lama tak berjumpa, sialan.

Ia bergeming di sana, hanya menatapku tanpa menghilangkan aura membunuhnya. Lantaran dapur sangat kecil, jarak kami terpaut tak begitu lebar. Aku meremas telapak tanganku yang berkeringat. Melihat eksistensinya di hadapanku setelah sekian lama tetap bikin kalut saja. Untuk membebaskan diri dari situasi tak mengenakkan ini, aku takut-takut berujar, "Ayah ... pulang? Mencariku?"

Namun sepertinya aku salah bicara─tidak, justru hukum anak selalu salah berlaku di rumah ini. Barangkali ucapanku barusan telah menyihirnya kembali ke sedia kala. "Pulang? Mencarimu?" Ia mendesah kasar, menjambak rambutnya, dan melangkah mondar-mandir. Ayah mulai mengoceh betapa hidupnya susah selama menghilang; begini, begini, terus begitu─umpatan, berhenti sejenak, banting gelas atau piring, lanjut─begitu, begitu, terus begini. Nada tingginya seolah menyalahkan kami, aku menyudutkan diri ke pojok.

Ayah terus mencerocos, semuanya berhubungan dengan uang (sumpah, aku muak mendengarnya). Kupikir kepulangannya bakalan merusak suasana sampai stadium akhir setelah sukses mengacaukan segala kengerianku di pembuka, tapi ia berbalik; punggungnya menjauh dan merosot ke dinding ruang tengah. Aku mengintip pelan sembari sesekali berkedip, kenapa dengannya? Dia tidak menghajarku? Serius? Habis terbentur benda keras di kepala? Jangan-jangan terhantam bagian depan truk?

Perlahan, aku menyelinap masuk ke kamar dan mengabaikan pecahan-pecahan di lantai. Sedikit tak dapat dipercaya untuk pertama kalinya aku lolos dari bogem maut kendati aura di dekatnya mencekam seperti biasa. Aku memeluk diriku sendiri, meringkuk di tempat tidur, kepala berputar-putar menikmati rasa pening, lalu setelahnya seolah menyatu sehingga tak dapat kugerakkan. Lewat jendela aku mendapati langit sudah larut dengan kegelapan. Alih-alih tenang, kekhawatiran tetap menyelimuti hati.

LunarcasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang